Cukai Rokok, Antara Pendapatan Negara dan Visi Kesehatan Pemerintah

Pemerintah akhirnya membatalkan rencana kenaikan tarif cukai rokok untuk 2019. Kebijakan ini melawan tren kenaikan cukai rokok rata-rata 10,5 persen.

Editor: Taufik Hidayat
Tribun Jabar/Ahmad Imam Baehaqi
Dadang Mulya (42), warga Desa Pancalang, Kecamatan Pancalang, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, mengaku sebagai sosok pria yang menggendong bayi pada bungkus rokok dan protes karena tak ada izin. 

“Bukan juga karena petani tembakau, jumlahnya sudah berkurang secara natural ratusan ribu orang,” kata dia.

Baca: Tembakau Hijau dari Gayo Mulai Mendapat Pasar di Jakarta, Jadi Souvenir Wisata Daerah

Sulit untuk membantah tudingan Faisal. Desakan untuk menangguhkan kenaikan cukai tahun depan datang bertubi-tubi dari kalangan industri tembakau yang didukung oleh Kementerian Perindustrian.

Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) pernah berkirim surat pada Menteri Keuangan dan Presiden Joko Widodo tentang hal itu.

Selain penundaan kenaikan cukai mereka juga meminta agar pemerintah penyederhanaan penghitungan cukai dengan menggabungkan golongan rokok sigaret kretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM).

Gappri juga meminta pemerintah meneruskan dukungannya yang sudah bisa membuat industri tembakau mandiri secara ekonomi, mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri serta mampu melibatkan banyak pemangku kepentingan, termasuk petani tembakau, cengkeh dan pekerja.

Menurut Faisal dengan konsumsi rokok yang tetap bahkan cenderung naik, Indonesia akan menghadapi masalah kesehatan yang pelik.

Laporan terakhir dari Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, pengelola jaminan kesehatan di Indonesia, menunjukkan bahwa lebih dari 30 persen pengeluarannya digunakan untuk membiayai pengobatan penyakit-penyakit terkait dengan rokok.

Penyakit-penyakit itulah yang membuat kinerja BPJS Kesehatan berdarah-darah dengan laporan defisit hingga Rp16,5 triliun pada akhir tahun ini.

“Perawatan penyakitnya mahal sekali. Degeneratif dan perlu penanganan lama serta macam-macam tindakan,” ujar Faisal.

Ketua Pengurus Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan dengan kebijakan tersebut, pemerintah menunjukkan dirinya tidak mempunyai visi terhadap kesehatan publik.

Cukai yang ajek, kata Tulus, membuat produksi rokok meningkat dan makin terjangkau oleh anak-anak, remaja, dan rumah tangga miskin.

Padahal cukai ditetapkan sebagai perlindungan baik perokok maupun calon perokok yang dibebankan pada konsumen.

“Cukai ini kan ditetapkan agar orang berhati-hati untuk tidak merokok. Dibayar oleh konsumen, bukan industri rokok,” ujar dia.

“Pemerintah menjerumuskan mereka dalam ketergantungan konsumsi rokok dan menjerumuskan mereka dalam jurang kemiskinan yang lebih dalam,” tambah dia.

Apalagi dengan izin untuk menjual “ketengan” atau membeli hanya satu batang, membuat rokok menjadi sangat murah dan mudah didapatkan bahkan oleh mereka yang belum berpenghasilan.

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved