Cukai Rokok, Antara Pendapatan Negara dan Visi Kesehatan Pemerintah

Pemerintah akhirnya membatalkan rencana kenaikan tarif cukai rokok untuk 2019. Kebijakan ini melawan tren kenaikan cukai rokok rata-rata 10,5 persen.

Editor: Taufik Hidayat
Tribun Jabar/Ahmad Imam Baehaqi
Dadang Mulya (42), warga Desa Pancalang, Kecamatan Pancalang, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, mengaku sebagai sosok pria yang menggendong bayi pada bungkus rokok dan protes karena tak ada izin. 

Dengan jumlah perokok mencapai 36,3 persen dari populasi atau sekitar 94 juta orang, kebijakan ini akan menimbulkan berbagai masalah.

Tingginya jumlah perokok seharusnya membuat pemerintah mengambil langkah progresif untuk memperlambat laju prevalensi perokok, seperti menaikkan cukai hingga 57 persen seperti yang diamanatkan undang-undang.

Baca: Daripada Makan Rumput, Kambing Ini Lebih Doyan Menyantap Rokok dan Tembakau

Persoalan bertambah karena rokok di Indonesia menempati pengeluaran kedua terbesar setelah beras, bahkan pada keluarga miskin, persisnya 27 persen untuk beras dan 10 persen untuk rokok.

Pengeluaran untuk rokok, enam kali lebih besar daripada belanja tempe, lima kali lebih besar dari belanja daging ayam dan tiga kali lebih besar dari belanja telur.

“Pengeluaran untuk racun lebih tinggi daripada protein. Gizi keluarga tidak terpenuhi karena rokok, padahal makanan bergizi kunci pembangunan sumber daya manusia,” ujar Faisal yang juga pengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI).

Bagi Faisal, pemerintah harus bersikap realistis terhadap industri rokok yang sebenarnya sudah menjadi sunset industry dengan berhenti “memanjakan mereka”.

Industri tembakau juga sudah menyadari kondisi ini dan berusaha mengalihkan bisnis ke berbagai sektor usaha.

Peranan industri tembakau pada gross domestic product (GDP) juga tidak terlalu tinggi, yaitu 0,9 persen, jauh di bawah industri kelapa sawit.

Dengan demikian, peranannya pada perekonomian nasional juga makin kecil.

Karena itu, pilihan untuk menurunkan industri tembakau bukan langkah yang tidak mungkin dan jika dilakukan dengan konsisten tidak akan menimbulkan masalah berarti.

“Kita tidak akan menghentikan industri tembakau, tapi menurunkannya secara bertahap tapi progresif, “ujar dia.

Menurut Faisal, industri nasional kini seharusnya sudah memulai transformasi menjadi “industri yang mengandalkan kemampuan manusia” dari “industri yang mengandalkan sumber daya alam”.

Namun, tembakau dan efek buruknya pada kesehatan adalah penghalang utama untuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusia Indonesia, ujar Faisal.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudistira mengatakan, penundaan kenaikan cukai ini akan membuat pemerintah harus bekerja keras mengejar target pendapatan dari cukai.

Baca: Bea Cukai Langsa Amankan KM Bermuatan Barang Selundupan dari Thailand, Petugas Lepaskan Tembakan

Ini karena produksi rokok memang turun secara konsisten dan ditambah outlook ekonomi yang masih stagnan pada angka 5,1 persen.

“Artinya tidak ada kenaikan permintaan pada barang kena cukai. Jadi satu satunya jalan adalah ekstensifikasi cukai tahun pada depan tiga barang sekaligus,” ujar dia.

Tiga barang tersebut bisa cukai plastik, kendaraan bermotor dan minuman dengan pemanis.

“Jika hanya satu barang, tidak akan mencapai target,” kata Bhima.

Tahun depan, penerimaan cukai hasil tembakau ditargetkan sebesar Rp158,8 triliun atau naik Rp10,6 triliun dibandingkan target tahun ini sebesar Rp 148,2 triliun.

Menurut Bhima, pemerintah harus berani mengambil langkah ini dengan menekan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mengesahkan aturannya.

“Perluasan basis cukai ini memang perlu dengan alasan pengendalian barang yang mempunyai eksternalitas negatif,” ujar dia.(Anadolu Agency)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved