Kebebasan Pers Indonesia Terancam, Wartawan Dibunuh Karena Beritakan Korupsi, Pelaku Dapat Remisi

Ratusan jurnalis di 15 kota di Indonesia menggelar aksi yang mengecam pemberian remisi bagi Susrama, otak intelektual pembunuhan jurnalis di Bali.

Editor: Taufik Hidayat
Foto kiriman warga
Peserta aksi menunjukkan suara protes dan kekecewaan atas kebijakan Presiden Jokowi atas pemberian remisi kepada I Nyoman Susrama, terpidana dalam kasus pembunuhan jurnalis Radar Bali AA Narendra Prabangsa pada aksi unjuk rasa di depan Masjid Raya Baiturrahman, Jumat (25/1/2019). 

Susrama sempat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Bali, namun tak beroleh hasil. Penolakan serupa diberikan Mahkamah Agung pada 24 September 2010 setelah Susrama mengajukan kasasi.

Vonis ini sempat memberikan angin segar bagi kebebasan pers di Indonesia. Pasalnya kasus Prabangsa hanyalah satu dari sederet kasus pembunuhan jurnalis yang diusut hingga tuntas.

AJI mencatat masih ada delapan kasus pembunuhan jurnalis lagi yang belum diusut tuntas.

Yaitu pembunuhan jurnalis Harian Bernas Yogya Fuad M Syarifuddin pada 1996, jurnalis lepas Harian Radar Surabaya Herliyanto pada 2006, jurnalis Tabloid Jubi dan Merauke TV Ardiansyah Matrais pada 2010, serta jurnalis Tabloid Mingguan Pelangi di Pulau Kisar (Maluku Barat Daya), Alfrets Mirulewan pada 2010.

Baca: Menyusup ke Sarang ISIS, Wartawan Perancis Ini Terkejut dengan Temuannya

Baca: Saat Pidato Kebangsaan Prabowo, Wartawan Asing Soroti Stasiun TV Kompas, iNews, Metro, dan tvOne

Baca: VIDEO - Kecam Kekerasan Terhadap Wartawan, Puluhan Wartawan Gelar Aksi di Nagan

Remisi penyubur iklim impunitas

AJI menilai remisi untuk Susrama itu tidak mencerminkan rendahnya semangat presiden untuk melindungi kebebasan pers di Indonesia.

“Kami kecewa, remisi ini melukai rasa keadilan tidak hanya keluarga korban, tapi jurnalis di Indonesia,” ujar Abdul Manan, Ketua AJI Indonesia.

AJI mendesak agar Presiden RI Joko Widodo mencabut Keppres pemberian remisi itu karena bertentangan dengan kebebasan pers.

AJI menilai pemberian keringanan hukuman pada pelaku pembunuh jurnalis akan menyuburkan iklim impunitas dan membuat para pelaku kekerasan tidak jera. “Hal ini bisa memicu kekerasan terhadap jurnalis terus berlanjut,” kata Manan.

Baca: Fakta-fakta Batalnya Pembebasan Abu Bakar Baasyir, Penyebabnya hingga Penjelasan Staf Kepresidenan

Baca: Video Detik-detik Truk Angkut Motor Alami Rem Blong, Berakhir Tabrak Truk Depannya

Baca: Sebentar Lagi, Aplikasi Instagram, WhatsApp dan Facebook Akan Disatukan

Tuntut presiden batalkan remisi

Direktur Pelaksana Federasi Wartawan Internasional (IFJ) Jane Worthington mengatakan bahwa remisi yang diberikan kepada Susrama menunjukkan bahwa upaya peradilan pembunuhan jurnalis Prabangsa berakhir pada kompromi.

Impunitas ini, lanjut Jane, harus segera diakhiri dan pelaku memperoleh hukuman setimpal. “Kami mendukung AJI dalam menuntut Presiden Joko Widodo agar mencabut atau membatalkan remisi,” ujar Jane.

Pada 2018, AJI mencatat setidaknya terdapat 64 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Meliputi pengusiran, kekerasan fisik, hingga pemidanaan terkait karya jurnalistik. Jumlah ini meningkat ketimbang tahun sebelumnya sebanyak 60 kasus.

Organisasi pemantau media yang berbasis di Paris Reporters Without Borders, pada 2018 menempatkan Indonesia pada peringkat 124 dari 180 negara terkait kebebasan pers. Posisi ini bahkan jauh tertinggal ketimbang Timor Leste yang berada pada peringkat 93.

Sedang IFJ mencatat terdapat setidaknya 94 jurnalis dan pekerja media lainnya yang tewas saat bertugas pada 2018. Angka ini naik ketimbang tahun sebelumnya sebanyak 82 orang.

Asia Pasifik merupakan wilayah dengan angka pembunuhan jurnalis tertinggi, sebanyak 32 kasus. Menyusul Amerika dengan 27 kasus, Timur Tengah 20 kasus, Afrika 11 kasus dan Eropa empat kasus.(Anadolu Agency)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved