Opini

Sistem Pemilu Padat Modal

SISTEM pemilu yang diadopsi suatu negaramembawa pengaruh besarbagi kualitas pemilu, Pengalaman pemilu

Editor: bakri
Kompas.com/Fitria Chusna Farisa
Foto Desain Surat Suara Pilpres 2019 yang Diresmikan (Kompas.com/Fitria Chusna Farisa) 

Oleh Zahlul Pasha

SISTEM pemilu yang diadopsi suatu negaramembawa pengaruh besarbagi kualitas pemilu. Pengalaman pemilu Indonesia menunjukkan sistem pemilu telah menempatkan partai politik (parpol) tidak lagi sebagai pelaku utama dalam penentu caleg terpilih, peran itu kini digantikan oleh rakyat sebagai pemilih. Hal ini misalnya ditandai dengan perubahan desain surat suara yang tidak hanya mencantumkan nama partai politik, tetapi juga nama caleg DPR RI dan DPRD.

Dari sisi kualitas pemilu, pilihan sistem pemilu juga berkontribusi bagi praktik jual beli suara. Karenanya, sistem pemilu menjadi fondasi penting karena menentukan bagaimana suara pemilih akan dihitung dan bagaimana kursi akan dibagikan kepada parpol dan calon yang berhak.

Secara umum, terdapat beberapa varian sistem pemilu. Tulisan ini memfokuskan varian dari sudut pandang cara memberikan suara. Dari varian tersebut, sistem pemilu dibagi ke dalam dua jenis, sistem proporsional terbuka dan sistem proporsional tertutup.

Dalam sistem yang disebut pertama, seorang pemilih dimungkinkan memberikan suara lebih dari satu kali untuk setiap jenis pemilu. Pemilih dapat memberikan suara kepada caleg sesuai dengan urutan prioritasnya dan bisa juga tanpa preferensi urutan prioritas. Artinya, pemilih turut serta dalam proses penentuan urutan calon partai yang akan dipilih.

Sementara dalam sistem pemilu kedua, pemilih hanya diberi satu hak suara untuk masing-masing jenis pemilu sehingga pemilih hanya dapat memberikan suara satu kali kepada satu parpol atau caleg. Dengan kata lain, sistem ini mengizinkan anggota partai yang aktif atau pejabat partai dalam menentukan urutan calon dan sama sekali tidak memberikan kesempatan kepada pemilih untuk memengaruhi posisi calon.

Bertarung antarsesama
Pengalaman Indonesia, sebagaimana riset Muhtadi (2018) menunjukkan, sistem proporsional terbuka memberi kontribusi besar bagi praktik jual beli suara dan politik uang. Sebab dalam sistem ini, setiap caleg dipaksa bertarung antarsesama caleg dalam satu partai. Jika sistem pemilu proporsional daftar tertutup cenderung mendorong model kampanye yang bertumpu pada kinerja institusi parpol, maka sebaliknya, penerapan sistem pemilu proporsional daftar terbuka justru mendorong model kampanye caleg secara individual.

Karena persaingan internal parpol, para caleg dituntut membangun jaringan personal yang melampaui struktur partai. Bukan tanpa akibat, ketergantungan yang tinggi terhadap jaringan personalberdampak buruk. Banyak caleg dan timses yang sulit membedakan antara pemilih partisan dan pemilih mengambang. Akibatnya, operasi politik uang banyak yang salah target: maksud hati ingin menarget pemilih partisan yang loyal, apa daya pemilih non-partisan yang justru paling banyak menerima politik uang.

Memang, pada gilirannya, sebuah sistem pemilu akan ikut memengaruhi model pembiayaan kampanye. Mengenai hal ini, Collens (2014) mencatat, dalam pemilihan anggota kongres di Amerika Serikat misalnya, terjadi peningkatan pembiayaan kampanye seiring berubahnya orientasi keterpilihan ke arah politik yang berbasis pada caleg. Pemilihan anggota kongres AS yang berbasis perorangan, memakan biaya kampanye lebih besar dibandingkan jenis pemilihan umum lainnya.

Dalam momen inilah seringkali pihak ketiga masuk dan memainkan peranannya, caranya dengan memberikan sumbangan kepada para caleg. Pihak ketiga (penyumbang) dalam pemilu selalu dipengaruhi oleh mekanisme pasar yang memungkinkan terjadinya jual beli dan relasi saling menguntungkan antarcaleg dengan penyumbang. Hal ini ditentukan oleh seberapa besar kemungkinan caleg akan mendukung kepentingan penyumbang terkait kebijakan tertentu.

Penyumbang umumnya lebih tertarik untuk menyumbang caleg petahana dan caleg yang memiliki kesamaan kepentingan dengan penyumbang. Sementara pemilih, hanya akan menjatuhkan pilihan jika manfaat/keuntungan dan keputusan untuk memilih lebih besar dari ongkos yang dikeluarkan oleh pemilih untuk memilih.

Akibatnya, para caleg terperangkap dalam apa yang disebut Muhtadi (2018) sebagai kerangka dilema tahanan (prisoner’s dilema). Dalam kerangka ini, semua calon akan diuntungkan jika tak ada yang melakukan strategi politik uang. Tapi jika ada satu calon saja yang membeli suara pemilih, maka peluang kekalahan calon yang tidak melakukan politik uang makin besar.

Perangkap dilema tahanan ini makin terasa ketika pemilu tinggal menghitung hari. Semakin dekat dengan hari pencoblosan, ketidakpastian dan kecemasan para caleg makin membumbung tinggi. Akibatnya, tekanan dan dorongan melakukan operasi politik uang makin kuat. Apalagi jika mereka mengendus lawan yang juga melakukan cara yang sama. Ada asumsi umum yang dipercaya kuat bahwa caleg yang paling akhir menyebar uanglah yang paling diingat pemilih ketika berada di bilik suara.

Sebenarnya, ketika para caleg melakukan politik uang, mereka tidak yakin dengan respons balik yang akan diberikan oleh pemilih. Untuk mengantisipasi ketidakyakinan itu, lazimnya caleg membungkus pemberian lewat cara yang sesuai nilai-nilai kultural, misalnya, membungkus pemberian sebagai amal yang mengandung sanksi religius. Atau bisa juga dengan coba mengaktivasi norma-norma sosial tentang ucapan terima kasih, timbal balik, dan kewajiban personel sehingga mendorong para penerima pemberian untuk membalas pemberian.

Rawan kebocoran
Caleg sebenarnya sadar bahwa politik uang adalah strategi yang rawan kebocoran, tetapi mereka tak punya pilihan lain ketika caleg lain juga melakukan hal yang sama. Dalam hal ini, politik uang bukan semata-mata untuk membeli suara, tapi lebih dalam usaha menetralisir manuver lawan yang agresif melakukan politik uang. Politik uang memang bukan garansi kemenangan, tetapi jika tidak melakukan strategi tersebut caleg merasa sudah pasti akan kalah. Ditambah pula, dianutnya sistem pemilu proporsional terbuka makin menjebloskan para caleg melakukan segala cara dalam rangka mengalahkan rival separtainya.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved