Opini
Ada Apa dengan Bank Syariah?
Menarik mencermati opini saudara Agus Fiauddin, Haramkah Bekerja di Bank Syariah? (SI; 28/6/2019)
Oleh Hanif Sofyan, Magister Ekonomi Islam UIN Ar-Raniry
Menarik mencermati opini saudara Agus Fiauddin, Haramkah Bekerja di Bank Syariah? (SI; 28/6/2019). Sebuah pertanyaan sederhana mewakili banyak pemikiran yang menghinggapi masyarakat luas. Argumentasinya menjadi wacana menarik yang perlu dikaji dan dicermati secara serius. Persoalan ini menjadi salah satu akar masalah yang mendasari masih rendahnya kepercayaan publik mengakses dan bertransaksi serta menjadi nasabah di bank syariah.
Berbagai alasannya karena pertimbangan sistem perbankan syariah yang diyakini masih bercampur dengan sistem bank konvensional, sistem bagi hasil yang dianggap masih belum menguntungkan menjadi salah satu alasan munculnya fakta 60 persen masyarakat Aceh masih menjadi nasabah di bank konvensional. Dengan kata lain kehadiran bank syariah menjadi alternatif sekaligus wujud islamisasi sistem niaga (muamalah) di Aceh, tidak serta merta menjadikan bank syariah menjadi pilihan masyarakat Aceh yang notabene menerapkan konsep syariah.
Persoalan ini menjadi sangat substantif dan menarik, karena setelah dua tahun (2016-2018) paska konversi Bank Aceh ke sistem syariah masih belum mencapai hasil yang menggembirakan. Meskipun kerja keras pihak perbankan mendorong publik ke arah tersebut memang bukan pekerjaan mudah, karena juga berkaitan dengan perubahan mindset (pola pikir).
Berbagai upaya pencerdasan secara inklusi keuangan telah digagas, termasuk yang mutakhir oleh Dinas Syariat Islam, perwakilan BI Aceh, dan OJK Aceh. Forum diskusi ini menarik karena Pemerintah Aceh sedang getol-getolnya sosialisasi Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2018 Tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang ditetapkan pada Desember 2018 dan diundangkan dalam lembaran Aceh pada 2019.
Secara khusus telah digelar seminar “Implementasi Qanun LKS Momentum Mengakselerasi Ekonomi dan Keuangan Syariah di Aceh”. Kehadiran dan manfaat keberadaan qanun LKS nantinya akan mendorong masyarakat lebih terkoneksi dengan sistem dan institusi keuangan syariah. Bahkan sebagai bentuk komitmen mendorong perkembangan bank syariah di Aceh, Pemerintah Aceh mensahuti salah satu dari tujuh rekomendasi “Dialog Ekonomi; Pembangunan Aceh Hebat” dalam Forum Aceh Meusapat 2019 dengan mereformasi dan menghadirkan wajah baru Bank Aceh Syariah (BAS) menjadi lebih bersih, transparan, dan mengubah portofolionya menjadi bank yang mengalokasikan pembiayaan maksimal pada sektor ekonomi prioritas, di antaranya pertanian, perkebunan, perikanan dan pariwisata.
Langkah tersebut secara tidak langsung juga akan berdampak mengurangi jumlah uang beredar di luar Aceh berkaitan dengan transaksi perdagangan reguler maupun pengeluaran belanja rutin pembangunan dari APBA. Realitasnya berbagai transaksi tunai maupun nontunai melalui transfer dana keluar Aceh akibat transaksi bisnis antara pelaku usaha di Aceh dengan pihak luar menyebabkan setidaknya Rp 3 triliun uang tunai keluar dari Aceh untuk tahun 2018 saja dari total Rp 5 triliun uang yang dikeluarkan BI ke perbankan dan masyarakat.
Padahal Aceh sebagai provinsi dengan APBD terbesar di Sumatera semestinya bisa memaksimalkan perputaran dananya di tingkat lokal untuk mendorong pertumbuhan daerah dengan mengalokasikan pada sektor-sektor potensial dan unggulan yang akan ber-multiple effect pada daya ungkit perekonomian Aceh. Ketidakefektifan penggunaan APBA justru dapat menyumbang angka kemiskinan yang dipicu oleh salah satunya tidak berputarnya dana APBA di Aceh. (SI; 29/6/2019)
Realitas berikutnya yang tidak kalah penting berkaitan dengan jumlah nasabah bank Syariah yang terserap institusi keuangan. Jika nasabah bank konvensional berjumlah 3,92 juta rekening, jumlah rekening bank syariah hanya 2 juta. Dengan kata lain sebagian masyarakat di Aceh masih belum memaksimalkan penggunaan sistem syariah atau secara teknis masih memiliki akses ke beberapa rekening dan belum menutup sebagian rekeningnya dibank konvensional dengan tetap memiliki akses ke bank syariah. (SI:11/7/2019).
Qanun LKS memuat ketentuan yang sudah diatur dalam perundangan-undangan nasional yang tetap berlaku sepanjang belum diatur secara spesifik di Aceh. Di samping itu qanun juga mengatur beberapa aturan yang sangat khusus bagi LKS dan masyarakat Aceh. Prinsipnya dibutuhkan perhatian dalam tiga hal penting implementasi Qanun LKS meliputi; menjaga stabilitas sistem keuangan yang baik secara makro maupun individual, kenyamanana nasabah dan perlindungan konsumen, serta mitigasi risiko dari praktik tata kelola yang tidak baik.
Bahkan mulai tahun 2020, seluruh lembaga keuangan, baik perbankan maupun perkreditan rakyat yang berkantor di Aceh wajib memberlakukan sistem syariah dalam pengelolaan keuangan. Ketentuannya diatur dalam Qanun LKS dalam BAB XI Ketentuan Peralihan Pasal 65 yang menyebutkan. “Pada saat qanun ini berlaku, lembaga keuangan yang beroperasi di Aceh wajib menyesuaikan dengan qanun ini paling lama tiga tahun sejak qanun ini diundangkan”. Pelanggaran atas ketentuan ini dapat berupa sanksi denda uang, peringatan tertulis, pembekuan kegiatan usaha, pemberhentian direksi dan atau pengurus LKS hingga pada sanksi pencabutan izin usaha.
Qanun LKS ini menjadi bagian dari panjangnya kisah implementasi gagasan mengatur sistem dan lembaga keuangan berdasarkan prinsip syariah secara nasional di Indonesia yang telah diinisiasi sejak tahun 1988. Ketika pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Oktober (PAKTO) yang mengatur deregulasi industri perbankan di Indonesia yang mendasari kelahiran bank bebas bunga (non ribawi).
Pada tahun 1992 disusun undang-undang no 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan. Di dalam UU tersebut, operasionalisasi perbankan dengan prinsip bagi hasil (profit-loss sharing) mulai diterima. Dengan kata lain, UU Perbankan tersebut telah mengakomodir prinsip syariah dalam operasionalisasi perbankan di Indonesia, dan menjadi momentum penting bagi sejarah perbankan syariah di Indonesia.
Berikutnya pada 2004 dilakukan revisi terhadap UU No. 23 Tahun 1999 menjadi UU NO 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia. Revisi tersebut memuat cara dan mekanisme pengendalian moneter dapat dilakukan berdasarkan prinsip syariah dan Bank Indonesia dapat memberikan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah kepada bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek. Pada 16 Juli 2008 lahir UU No. 21 tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah yang menjadi landasan hukum kuat bagi pembangunan dan pengembangan perbankan syariah di Indonesia.
Komitmen berubah
Berbagai trend berkaitan dengan bank syaraiah yang berkembang, mendorong institusi perbankan dan pelaku industri keuangan bersiap menghadapi paradigma bisnis yang kemungkinan besar akan bergeser ke syariah. Namun di balik perubahan paradigma tersebut, masih diikuti berbagai persoalan yang dicari solusi terbaiknya. Realitas ini harus menjadi perhatian penting untuk mendorong pertumbuhan industri perbankan syariah.
Pertama; persoalan kerangka dan perangkat pengaturan perbankan yang belum komprehensif dan lengkap. Inisiasi qanun LKS adalah salah satu wujud komitmen mengatasi persoalan tersebut. Kedua; cakupan-cakupan segmentasi pasar yang masih terbatas bahkan eksklusif; terutama ketika menyasar berbagai permasalahan perbankan menyangkut sistem investasi yang melibatkan pihak ketiga yang lebih rumit.
Ketiga; kurangnya pengetahuan dan pemahaman tentang produk dan pelayanan perbankan syariah, berkaitan dengan kondisi paska konversi. Keempat; institusi pendukung yang belum lengkap dan efisien. Kelima; tingkat efisiensi operasional perbankan syariah yang masih belum optimal. Keenam; porsi skim pembiayaan bagi hasil dalam transaksi bank syariah masih sedikit serta. Ketujuh; kemampuan untuk memenuhi standar keuangan syariah antarbangsa (BI; 2002)
Untuk mengatasi berbagai persoalan tersebut antara lain dengan penguatan daya saing industri perbankan oleh para pemangku kepentingan (stakeholder) untuk mendorong peningkatan perbaikan sekaligus percepatan industri perbankan syariah. Termasuk komitmen Pemerintah dengan kapasitas fiskal dan keuangan Aceh yang relatif baik dengan sinergi dan kolaborasi semua pihak, utamanya Pemerintah, swasta, dan badan usaha.