Menkumham Yasonna Laoly Jelaskan RKUHP Pasal Kumpul Kebo: Jangan Diputar Balik Seolah Dunia Kiamat

Menkumham Yasonna Laoly menjelaskan secara lebih rinci soal Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), khususnya pasal menyangkut kohabitasi at

Editor: Faisal Zamzami
Kompas.com
Menkumham, Yasonna Hamonangan Laoly saat tiba di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Senin (3/7/2017). Yasona Laoly menjelaskan ketentuan itu berhubungan dengan seseorang yang dengan sengaja menujukkan alat kontrasepsi dan menunjukkan cara mendapatkannya bagi anak-anak. 

SERAMBINEWS.COM - Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), Yasonna Laoly menjelaskan secara lebih rinci soal Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), khususnya pasal menyangkut kohabitasi atau biasa disebut kumpul kebo.

Dikutip TribunWow.com dari Kompas.com pada Jumat (20/9/2019), Yasonna menjelaskan bahwa undang-undang itu merupakan delik aduan.

Sehinggga orang yang berhak melaporkan kasus kumpul kebo hanya orang-orang tertentu.

"Kohabitasi, ini merupakan delik aduan. Yang berhak mengadukannya hanya dibatasi hanya suami, istri, anak, dan orangtua," ungkap Yasonna dalam konferensi pers di Kemenkumham, Jakarta, Jumat (20/9/2019).

Sehingga, misalnya kasus kumpul kebo dilaporkan oleh pejabat desa maka harus mendapat persetujuan orang-orang yang disebutkan di atas.

"Jadi kalaupun dilakukan (diadukan) oleh pejabat desa, itu harus dengan izin tertulis orang tua, anak, istri, dan pengaduan dapat ditarik oleh yang bersangkutan," ungkapnya.

Menteri asal Sumatera ini kemudian menyinggung soal kumpul kebo bagi warga asing yang berada di Indonesia.

"Itu yang kita tidak mau dipersepsikan salah, seolah negara kita ini akan menangkapi orang seenak udel sampai jutaan orang masuk penjara hanya karena kohabitasi, kan itu delik aduan," kata Yasonna.

Sehingga, Yasonna meminta agar masyarakat jangan salah mengartikan bahwa setiap kasus kumpul kebo bisa dipidana.

"Jadi kalau orang asing dituduh kohabitasi nanti di Bali, misalnya, harus datang orang tuanya harus datang anaknya mengadukan. Jadi jangan di-twist (putar balikkan) seolah dunia akan kiamat karena kita tangkapi semua orang," ungkap Menkumham 66 tahun ini.

Pasal soal kohabitasi atau kumpul kebo itu termuat dalam Pasal 418 Ayat (1).

Burbunyi, Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.

Dalam Ayat (2) tertulis tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) tidak dapat dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, orang tua atau anaknya.

Lalu pada Ayat (3) yang menyatakan, pengaduan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) dapat juga diajukan kepala desa atau dengan sebutan lainnya, sepanjang tidak terdapat keberatan dari suami, istri, orang tua atau anaknya.

Jokowi Tunda Pengesahan RKUHP

Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) memutuskan untuk menunda pengesahan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), setelah banyaknya penolakan yang bermunculan.

Dengan menunda pengesahan RUU KUHP, Jokowi berharap dapat dilakukan pengajian ulang mengenai seluruh materi di dalamnya.

Hal itu disampaikan melalui tayangan langsung di Kompas TV, Jumat (20/9/2019).

Jokowi secara resmi menyampaikan bahwa pengesahan RUU KUHP akan ditunda.

Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) meminta dilakukan penundaan pada pengesahaan RUU KUHP. (YouTube KOMPASTV)
Menurut penuturannya, Jokowi ingin persoalan RUU KUHP dilanjutkan oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI periode selanjutnya.

"Selaku wakil pemerintah untuk menyampaikan sikap ini kepada DPR RI yaitu agar pengesahan RUU KUHP ditunda dan pengesahannya tidak dilakukan oleh DPR periode ini," ucap Jokowi.

Selain itu Jokowi juga berharap agar seluruh anggota DPR bisa menerima keputusannya.

"Saya berharap DPR juga mempunyai sikap yang sama, sehingga pembahasan RUU KUHP bisa dilakukan oleh DPR RI periode berikutnya," ujar Jokowi.

Selama penundaan pengesahan RUU KUHP, Jokowi meminta menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly untuk melakukan pengajian ulang.

Ia berharap dari penundaan itu, masukan dari kalangan masyarakat dapat menjadi pertimbangan, dalam pembuatan revisi RUU KUHP.

"Saya juga memerintahkan menteri hukum dan HAM untuk kembali menjalin masukan-masukan dari berbagai kalangan masyrakat sebagai bahan untuk menyempurnakan RUU KUHP yang ada," jelas Jokowi.

Jokowi mengaku sudah melihat substansi dari RUU KUHP yang telah dibentuk oleh anggota DPR RI.

"Tadi saya melihat materi-materi yang ada, substansi yang ada kurang lebih 14 pasal," ujar Jokowi.

Pada RUU KUHP itu akan kembali dilakukan pembahasan mengenai isi dari setiap pasal.

Tentunya dalam pembahasan RUU KUHP, presiden berharap agar melibatkan berbagai kalangan masyarakat.

"Nanti ini yang akan kami komunikasikan baik dengan DPR maupun dengan kalangan masyarakat yang tidak setuju dengan materi-materi yang ada," jelas Jokowi.

Adanya RUU KUHP yang dilakukan oleh anggota DPR cukup meresahkan masyarakat.

Seorang pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar juga memberikan penilaian tegas terkait RUU KUHP.

Dikutip TribunWow.com dari Kompas.com, Jumat (20/9/2019), menurut Fickar, RUU KUHP adalah bentuk dari kurangnya sosok negarawan yang bijak.

"Saat ini kita sedang mengalami krisis kenegarawanan yang bijaksana dan akomodatif terhadap masyarakatnya, yang banyak sekarang oligarki, yang hanya peduli pada kepentingan kelompoknya," kata Fickar, Kamis (19/9/2019).

Bahkan ia menilai kekurangan pemimpin yang bijak tidak hanya terjadi di ibu kota, namun di semua posisi jabatan.

"Kita krisis kepemimpinan yang negarawan pada semua level jabatan, termasuk yang tertinggi," tambahnya.

Ia juga menyinggung satu pasal yaitu Pasal 167 yang berkaitan dengan makar.

Pengertian makar pada pasal tersebut adalah 'Niat untuk melakukan suatu perbuatan yang telah diwujudkan dengan adanya permulaan pelaksanaan perbuatan tersebut'.

Menurut Fickar pengertian dari makar pada pasal tersebut tidak sesuai dengan arti kata yang sesungguhnya.

"RKUHP cenderung mendefenisikan makar menjadi pasal karet yang dapat digunakan untuk memberangus kebebasan berekspresi dan berpendapat," ujar Fickar. 

Simak video ini:

Baca: Kasus Anak Disuruh Mengemis dan Dirantai, Ortunya Diduga Gunakan Uang Beli Sabu dan Berjudi

Baca: Rantai, Gembok, Palu, dan Gelas, Jadi Barang Bukti Pada Kasus Bocah Disuruh Mengemis Sama Ortunya

Baca: Senyum Bahagia Pelajar Pedalaman Aceh Utara Ketika Bersekolah dengan Mobil Patroli Polisi

Artikel ini telah tayang di Tribunwow.com dengan judul Menkumham Jelaskan RKUHP soal Pasal Kumpul Kebo: Jangan Diputar Balik Seolah Dunia akan Kiamat

Penulis: Mariah Gipty

Sumber: TribunWow.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved