Bendera Aceh

Surat Dianggap tak Ada, YARA: Mendagri tak Berwenang Batalkan Qanun Bendera dan Lambang Aceh

DPRA menganggap, surat yang muncul tiba-tiba itu janggal, meski dikeluarkan pada Juli 2016 dan ditembuskan ke DPRA, namun hingga kini DPRA belum pern

Penulis: Subur Dani | Editor: Ansari Hasyim
MENATAPACEH.COM/MUHAMMAD NASIR
Ketua YARA, Safaruddin membentangkan bendera Aceh, saat mendaftarkan gugatan terhadap Gubernur dan DPRA di Pengadilan Negeri Banda Aceh, Selasa (12/4/2016). 

Laporan Subur Dani | Banda Aceh

SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Setelah mendesak Plt Gubernur Aceh dan DPRA untuk mengeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub) untuk pelaksanaan Qanun Bendera dan Lambang Aceh, Yayasan Advokasi Rakyat Aceh juga angkat bicara terkait surat Mendagri yang membatalkan qanun itu.

Ketua YARA, Safaruddin mengatakan, terhadap surat pembatalan qanun dari Mendagri yang bulan lalu sempat beredar dianggap tidak berwenang membatalkan Qanun Bendera dan Lambang Aceh.

"Qanun itu tak berwenang membatalkan Qanun Bendera Aceh apalagi surat tersebut telah ditolak keberadaannya oleh Pemerintah Aceh dan DPRA karena sampai saat ini surat aslinya belum diterima, baik oleh Pemerintah Aceh maupun DPRA," kata Safaruddin kepada Serambinews.com, Minggu (6/10/2019).

Bahkan YARA menganggap surat Mendagri tentang pembatalan Qanun Bendera dan Lambang itu sudah dianggap tidak ada.

Baca: YARA Desak DPRA Panggil Plt Gubernur untuk Terbitkan Pergub Qanun Bendera, Ini Alasannya

Baca: Hendra Budian: Bicara Aceh Tidak Hanya Bendera dan Lambang

Baca: BREAKING NEWS: Sejumlah Ketua DPD PAN Buka Segel Kantor DPW PAN Aceh

"Selain tidak ada kewenangannya untuk membatalkan qanun juga surat tersebut diragukan keberadaannya apalagi Pemerintah Aceh dan DPRA sampai saat ini belum menerima surat asli tersebut," tutup Safar.

Seperti diketahui, polemik Qanun Bendera dan Lambang Aceh cukup menyita perhatian publik di Aceh dan selalu menjadi isu menarik dibahas.

Polemik ini kembali hangat saat dua bulan lalu, soft kopi surat atas nama Kemendagri beredar di dunia maya.

Surat Nomor: 188.34/2723/SJ itu dikeluarkan 26 Juli 2016 dan menyatakan membatalkan Qanun Nomor 3 tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh.

Sontak, surat itu mengagetkan publik di Aceh, terutama para politisi Partai Aceh yang selama ini vokal memperjuangkan bendera dan lambang Aceh.

DPRA menganggap, surat yang muncul tiba-tiba itu janggal, meski dikeluarkan pada Juli 2016 dan ditembuskan ke DPRA, namun hingga kini DPRA belum pernah menerimanya.

Begitu juga pihak Pemerintah Aceh, Plt Gubernur Aceh juga mengaku dalam sebuah rapat di DPRA belum pernah melihat fisik surat tersebut. 

Sebelumnya Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh Safaruddin mendesak Plt Gubernur Aceh segera menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) untuk pelaksanaan Qanun Nomor 3 tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh.

Safaruddin juga mendesak anggota DPRA untuk memanggil Plt Gubernur Aceh guna membahas dan meminta agar Pergub Qanun Bendera segera diterbitkan.

Menurut YARA, polemik Qanun Bendera selama ini cukup menguras energi, waktu, dan biaya dibanding qanun lainnya.

Qanun ini juga telah mempengaruhi kinerja legislatif periode lalu sehingga YARA ingin anggota DPRA yang baru saja dilantik bisa fokus pada proses pembangunan dan pengentasan kemiskinan di Aceh.

"Kami mendesak Plt Gubernur agar segera mengeluarkan Pergub Qanun Bendera agar energi anggota DPRA yang baru tidak dihabiskan ke qanun bendera yang sudah disahkan bertahun lalu. Kita ingin dewan yang baru ini fokus pada percepatan pembangunan dan pengentasan kemiskinan,” ujar Safaruddin kepada Serambinews.com, Minggu (6/10/2019).

Safar menyampaikan bahwa Plt Gubernur tidak perlu ragu untuk menerbitkan Pergub tersebut karena sudah ada qanunnya.

"Qanunnya sampai saat ini juga masih sah secara hukum, Pergub untuk qanun ini kami nilai penting karena dalam pasal 1 angka 11 disebutkan bahwa Bendera Aceh adalah salah satu simbol pemersatu masyarakat Aceh sebagai lambang yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan Aceh," katanya.

Jika Plt Gubernur menolak mengeluarkan Pergub, menurut Safaruddin sama saja Plt Gubernur menolak lambang yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan Aceh

“Plt Gubernur mempunyai kewenangan mengeluarkan Pergub, apalagi semua telah diatur dengan qanun. Menolak melaksanakan qanun yang telah disahkan sama saja dengan menolak lambang keistimewaan dan kekhususan Aceh sebagaimana diatur dalam Qanun Bendera dan Lambang tersebut," tegas Safar.

YARA juga mengingatkan, bahwa sesuai dengan pasal 2 Qanun Bendera dan Lambang disebutkan, pengaturan bendera dan lambang Aceh bertujuan untuk melambangkan syiar Islam, memastikan bahwa Aceh berhak menentukan dan menetapkan bendera dan lambang yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan.

Kemudian mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi dan golongan, meningkatkan ketentraman dan ketertiban dalam mewujudkan kedamaian Aceh, memperkuat persatuan dan kesatuan masyarakat Aceh dalam kebhinnekaan.

Selanjutnya, menjunjung tinggi kehormatan dan martabat rakyat Aceh, dan menjadikan kilas baru sejarah perjalanan kehidupan masyarakat Aceh yang serasi, selaras dan seimbang dengan daerah-daerah lain menuju keadaan yang damai, adil, makmur, sejahtera dan bahagia.

"Oleh sebab ini, DPRA perlu segera panggil Plt Gubernur untuk tuntaskan Qanun Bendera dengan Dewan yang baru ini. Maka sudah seharusnya Plt mengeluarkan Pergub ini, dan DPRA juga sesuai dengan kewenangannnya bisa mempertanyakan ke Plt Gubernur," kata Safar.

Seperti diketahui, polemik Qanun Bendera dan Lambang Aceh cukup menyita perhatian publik di Aceh dan selalu menjadi isu menarik dibahas.

Polemik ini kembali hangat saat dua bulan lalu, soft kopi surat atas nama Kemendagri beredar di dunia maya.

Surat Nomor: 188.34/2723/SJ itu dikeluarkan 26 Juli 2016 dan menyatakan membatalkan Qanun Nomor 3 tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh.

Sontak, surat itu mengagetkan publik di Aceh, terutama para politisi Partai Aceh yang selama ini vokal memperjuangkan bendera dan lambang Aceh.

DPRA menganggap, surat yang muncul tiba-tiba itu janggal, meski dikeluarkan pada Juli 2016 dan ditembuskan ke DPRA, namun hingga kini DPRA belum pernah menerimanya.

Begitu juga pihak Pemerintah Aceh, Plt Gubernur Aceh juga mengaku dalam sebuah rapat di DPRA belum pernah melihat fisik surat tersebut. (*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved