Jurnalisme Warga

Kosmologi Singkil; Menjadi Manusia dengan Tulak Bala  

Modernisasi adalah hal yang tak bisa dilawan. Semakin canggih alat komunikasi dan teknologi alih-alih membuat hidup kita semakin bermakna

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Kosmologi Singkil; Menjadi Manusia dengan Tulak Bala   
IST
NURHALIMAH ZULKARNAIN, S. Sos., pegiat budaya, penari tarian tradisional, dan alumnus Sosiologi Agama di Universitas Islam Negeri UIN Ar-Raniry, melaporkan dari Cibubuken, Aceh Singkil

OLEH NURHALIMAH ZULKARNAIN, S. Sos., pegiat budaya, penari tarian tradisional, dan alumnus Sosiologi Agama di Universitas Islam Negeri UIN Ar-Raniry, melaporkan dari Cibubuken, Aceh Singkil

Modernisasi adalah hal yang tak bisa dilawan. Semakin canggih alat komunikasi dan teknologi alih-alih membuat hidup kita semakin bermakna, ia malah membuat hidup kita hampa, berjarak, dan penuh prasangka. Namun, di Aceh Singkil teknologi apa pun tidak bisa menggantikan tradisi yang satu ini, yakni  tulak bala.

Secara etimologis, tulak bala  bermakna menolak hal-hal yang jelek atau buruk (bala). Bala bisa diartikan sebagai kata benda dan kata sifat. Bala bisa jadi musibah, juga bisa orang jahat seperti begal, pembalak hutan, maling, pemerkosa, koruptor, mafia hukum, dan lainnya.

Tulak bala adalah kosmologi manusia Singkel/Singkil, ia berperan sebagai muatan sosial. Istilah milenialnya, ‘social upgrade’. Bencana atau musibah kemanusiaan dan alam memang harus ditengarai dengan introspeksi hubungan sosial. Kira-kira, begitulah gambaran sederhana mengapa tradisi tulak bala dicipta dan terus dipertahankan di tanah kelahiran ulama Aceh tersohor, Syekh Abdurrauf As-Singkily ini.

Rabu, 23 Oktober lalu, tradisi tulak bala  itu kembali dilakoni masyarakat Singkil. Di pengujung bulan yang masih diguyur hujan deras, ternyata tidak sedikit pun menyurutkan semangat warga Singkil untuk berbondong-bondong ke pinggir sungai atau pantai untuk menjalani tradisi yang turun-temurun ini.

"Ayo, buruan sedikit, nanti kita kehujanan," ucap ibu kepada saya agar segera bergegas pergi ke pekan (pasar) harian dan berharap hujan jangan turun dulu.

Saya mengikuti ritual  tulak bala  sudah bertahun-tahun lamanya, sejak saya SD. Tradisi yang sama dilakoni masyarakat Aceh Barat Daya tapi dengan nama lain: uroe pajoh-pajoh. Dengan sedikit varian, hari tulak bala memang dirayakan oleh sebagian masyarakat di kawasan barat-selatan Aceh (Barsela).

Kami di Singkil, bisa disebut merupakan orang-orang yang “taat” dalam menjalani tradisi ini, terlebih ibu saya. Dalam budaya orang Singkil, tulak bala  dilakukan setiap tahun, tepatnya pada hari Rabu terakhir bulan Safar. Konon, masyarakat percaya bahwa hari Rabu adalah hari di mana semua bala dan segala macam marabahaya berkumpul.

Dengan pemahaman seperti itu, maka upaya mengusir atau menolak bala adalah ikhtiar yang masuk akal dan harus dilakukan. Dan itu tak cukup sekali, melainkan setiap tahun, karena bencana pun bisa terjadi setiap tahun.

Cuaca tentu saja bukan masalah bagi warga yang memiliki pemahaman tentang pentingnya bencana ditolak atau dihindari. Antusiasme itu tergambar dari bagaimana masing-masing warga menyembelih ayam piaraannya atau pun membeli ayam potong di pasar sejak pagi-pagi sekali. Saya tentu saja tak bisa mendeskripsikan sebagaimana antropolog dan para orientalis memaknai hal ini. Namun, kesemarakan dan keindahan tradisi alang gegoh (gotong royong) dalam rangka tulak bala tampak sangat indah sebagai asupan sosial dan penting kiranya saya gambarkan dengan naratif-deskriptif agar jleeb masuk ke hati para pembaca, bukan sebagai deskripsi akademik.

Persis bagaikan menyambut hari raya, masakan dengan berbagai macam ragam terhidang saat tulak bala dan yang paling penting adalah kebiasaan masyarakat yang pergi silaturahmi ke tempat Pak Imam (pemimpin agama) agar membacakan doa kepada keluarga, meminta kepada Tuhan supaya diberikan kelapangan kubur dan keselamatan serta keberkahan dalam menjalani hidup.

Islam Singkil adalah Islam yang sederhana, hal ini menjadi landasan moral bagi manusia Singkil untuk bersosial dan membangun hubungan dengan Sang Pencipta.

Sore menjelang waktu Asar, hujan rintik-rintik sedari siang juga tak kunjung reda, tulak bala juga sebentar lagi dimulai. Terlihat satu keluarga yang akan pergi mengikuti ritual  tulak bala ke pinggir sungai, walaupun hujan, mereka tetap pergi menggunakan alat pembantu penangkal hujan, yakni mantel dan payung, karena jarak yang ditempuh pun tidak terlalu jauh. Sebab, setiap kampung punya tempat tulak bala masing-masing, meski paling sering dilaksanakan di pinggir sungai atau di pinggir pantai sambil piknik dan makan-makan. Misalnya di Pantai Pulo Sarok, Pantai Cemara Gosong Telaga, atau ke Pasi Tangah.

Ibu menyuruh saya menyiapkan lae tepung tawakh (air peusijuek) dan berangkat pergi ke tempat tulak bala. Dalam kepercayaan warga setempat yang dipegang kukuh, lae tepung tawakh  ini juga dipercayai berkhasiat untuk menenangkan hati bagi yang meminumnya. Hal tersebut bagi saya amat menarik, karena ternyata fenomena sosial dan bencana tak hanya berdasar pada penyelesaian materiel, tetapi juga melalui penyelesaian batin pada pribadi masing-masing warga Singkil.

Sesampai di tempat ritual tulak bala, hujan semakin deras. Jamaah yang mengikuti shalat  tulak bala  berpakaian bersih, terlihat rapi dan wajah-wajah penuh kedamaian melengkapi suasana yang sakral ini.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved