Jurnalisme warga
Kisah Parang Sikureung dan Inspirasi Kehidupan
PENAMAAN suatu daerah biasanya diawali dengan berbagai cerita rakyat yang terkadang tidak terekam dalam sejarah

OLEH CHAIRUL BARIAH, S.E., Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Almuslim, Matangglumpang Dua, Peusangan, Bireuen, melaporkan dari Peusangan
PENAMAAN suatu daerah biasanya diawali dengan berbagai cerita rakyat yang terkadang tidak terekam dalam sejarah, tetapi dipercaya secara turun-temurun oleh penduduknya. Ada kisah heroik atau perjuangan, kisah sedih, dan kisah cinta yang sering disebut dengan legenda seperti asal mula nama Tapaktuan di Aceh Selatan, Tangkuban Perahu di Jawa Barat, dan masih banyak lainnya. Namun, ada juga penamaan suatu daerah yang ditabalkan dari nama orang yang pertama membuka atau merintis jalan ke permukiman baru.
Nah, terkait penamaan desa, salah satu desa yang membuat saya penasaran adalah Gampong Parang Sikureung yang berada di Kecamatan Kutablang, Kabupaten Bireuen, Provinsi Aceh. Parang Sikureung bermakna sembilan bilah parang.
Didorong oleh keinginan yang kuat dan kesempatan yang ada, saya mengajak pria yang sudah 23 tahun setia menemani saya dalam suka maupun duka (sang suami -red ) untuk pergi ke Gampong Parang Sikureung. Saat itu jarum jam menunjunjukkan pukul 14.25 WIB.
Menuju gampong ini bukanlah hal yang mudah. Kami harus melewati lima gampong lainnya terlebih dahulu, mulai dari Gampong Cot Tunong dan akhirnya Gampong Paloh Raya, barulah tiba di Gampong Parang Sikureung.
Jalanan yang kami lewati berliku, mendaki, dan menurun. Hanya ± 1,5 km yang diaspal. Bagaikan sedang bermain dalam mobil simulator, kendaraan kami terus melaju meskipun sesekali miring ke kanan dan kiri mengikuti kondisi jalan yang belum diaspal.
Waktu tempuh dari ibu kota Kecamatan Kutablang ke Gampong Parang Sikureung ± 35 menit. Walau badan terasa lelah, tapi melihat anak-anak sedang berlarian di atas pematang sawah ditambah dengan kepakan sayap bangau putih (burung kuntul) dan suasana desa yang asri, memburatkan kedamaian di hati. Rasa lelah pun sirna seketika.
Saya bertanya mengapa gampong/desa ini diberi nama Parang Sikureung kepada salah seorang warga yang sedang bersiap menuju sawah. “Itu cerita zaman dulu, Bu. Untuk lebih jelasnya Ibu bisa bertanya kepada Pak Keuchik,” kata Bu Juwo, salah satu keturunan dari pendiri gampong ini.
Saya pun bergegas menuju lokasi yang dia tunjuk, tak seberapa jauh dari tempat saya berdiri. Dengan sedikit rasa waswas karena harus melewati jalan rabak beton yang mendaki dan hanya dapat dilalui satu kendaraan saja, kami terus melaju. Di kanan kiri jalan membentang persawahan.
Saat kami tiba di kediaman kepala desa, ternyata beliau sedang tak di tempat. Lalu saya manfaatkan waktu berbincang-bincang tentang mengapa desa ini disebut Parang Sikureung dengan Hafsah selaku maklot (adik) dari Pak Keuchik.
Menurut Hafsah, awalnya desa ini adalah hutan belantara yang sama sekali tak ada penghuninya. “Kemudian saat itu warga yang berasal dari beberapa desa di Kutablang seperti Teupin Siron, Tingkeum, termasuk ayah saya, berinisiatif untuk membuka desa baru. Mereka pun yang jumlahnya sembilan orang mengasah parang, lalu menuju hutan dan membabat perlahan dengan masing-masing membawa parang tajam, sehingga hutan itu dapat ditempati. Kemudian desa ini dinamakan Parang Sikureung,” ungkap Hafsah, kelahiran 1 Juli 1953. Dia adalah orang kelima yang lahir di Gampong Parang Sikureung.
Konon, parang yang digunakan untuk membabat atau menebang hutan waktu itu disimpan oleh masing-masing keturunan para perintis yang membabt hutan sehingga menjadi permukiman, termasuk Tgk Adibin, kakek dari Keuchik Parang Sikureung. Tapi sayangnya sekarang tak diketahui lagi di mana parang tersebut disimpan.
Menurut Keuchik Gampong Parang Sikureung yang telah mengemban tugas sejak Mei 2018, sebagai penduduk asli dia bertanggung jawab terhadap perkembangan Gampong Parang Sikureung.
Jumlah penduduk desa itu saat ini 47 KK, terdiri atas 159 jiwa. Sebagian besar warganya adalah petani. Tak heran jika perkebunan sawit, cokelat, dan tanaman holtikultura lainnya banyak kita jumpai di desa ini. Cuma sayangnya perkebunan sawit yang ada di desa ini bukan milik warga setempat, melainkan milik warga dari desa lain. Mereka hanya sebagai pekerja.
Hanya satu orang penduduk desa ini yang berprofesi sebagai aparatur sipil negara (ASN), yaitu sekretaris. Ada juga satu bidan desa, tapi belum ASN, masih berstatus pegawai tidak tetap (PTT).