Jurnalisme Warga

Dari Kawasan Pantang ke Konservasi di Laut Sabang

Diawali prakarsa adanya kawasan pantang yang kemudian diperkuat dengan pengakuan dan penetapan Kementerian Kelautan

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Dari Kawasan Pantang ke Konservasi di Laut Sabang
IST
MUHAMMAD TAUFIK ABDA, Anggota Dewan Pakar Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA), melaporkan dari Kota Sabang

OLEH MUHAMMAD TAUFIK ABDA, Anggota Dewan Pakar Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA), melaporkan dari Kota Sabang  

KOTA Sabang memiliki kawasan laut dengan pantai yang indah dan aneka jenis ikan, terutama ikan hias. Ini karena masih terjaganya lingkungan dan ekosistem terumbu karang. Salah satu pihak yang berperan penting menjaga kawasan laut tersebut adalah lembaga adat panglima laot lhok. Diawali prakarsa adanya kawasan pantang yang kemudian diperkuat dengan pengakuan dan penetapan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebagai kawasan konservasi perairan.

Jumat pagi (24/1/2020) lalu, bertepatan dengan uroe pantang meulaot (hari pantang melaut), saya menjumpai Panglima Laot Lhok Anoi Itam, Ikhsan untuk mempelajari proses dan manfaat adanya kawasan pantang di wilayah adat laot lhok  mereka.

Menurut Ikhsan, kawasan pantang di Wilayah Adat Laot Anoi Itam sudah ada puluhan tahun lalu guna menjaga kelestarian terumbu karang dan ketersediaan sumber daya ikan secara berkesinambungan. Di kawasan pantang, siapa pun boleh mengakses atau melintas di atasnya, tapi yang dibatasi hanya penggunaan alat dan cara menangkap ikan saja. Alat tangkap yang dibenarkan hanya dengan memancing, selain itu dilarang. Malah di kawasan pantang tertentu yang disebut Cot Geulumpang, memancing pun tidak dibenarkan. Hal ini karena kawasan tersebut ditetapkan sebagai kawasan perlindungan plasma nutfah ikan yang dianggap sebagai “rumah ikan” sehingga bibit ikan dan potensi sumber daya ikan dapat tersedia setiap waktu di kawasan laut lhok  mereka.

“Sebenarnya, kami belajar dari kesalahan pascatsunami. Sebelum tsunami alat tangkap yang dibenarkan hanya memancing saja. Namun, pascatsunami masyarakat nelayan mulai ada yang memakai jaring. Dari satu kasus jadi dua, sehingga menjadi banyak. Terumbu karang mulai ada yang rusak sehingga memengaruhi jumlah potensi ikan di kawasan laut Anoi Itam. “Jumlah tangkapan pun makin menyusut,” ujar Ikhsan di sela-sela pembicaraan.

Tahun 2010, ada tim Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang melakukan kunjungan ke Anoi Itam dan membicarakan rencana adanya kawasan konservasi di perairan laut Sabang. “Pucuk dicinta, ulam tiba,” beberapa tokoh nelayan Anoi Itam membatin saat itu. Dengan adanya kawasan pantang yang ditetapkan menjadi kawasan konservasi, legitimasi hukum pun menjadi sangat kuat. Hal ini karena selain berkonsekuensi hukum adat, juga memiliki konsekuensi hukum positif.

Setelah bermusyawarah rutin hampir setiap Jumat, disepakatilah oleh masyarakat nelayan setempat adanya kawasan pantang yang menjadi zona inti, zona budi daya, dan zona pemanfaatan berlanjutan. Zona inti sama sekali tak boleh dimanfaatkan menangkap ikan dengan menggunakan alat tangkap apa pun, hanya dibolehkan mengakses atau melintas saja.

Setelah kawasan pantang diakui dan ditetapkan KKP menjadi kawasan konservasi perairan pada tahun 2013, banyak manfaat yang diperoleh nelayan setempat. Sebelum kawasan pantang berlaku efektif, jenis ikan besar jarang ditemui di pinggir pantai. Setelah efektif berlaku hingga sekarang, ragam jenis ikan besar juga sering ditemui di pinggir pantai dan banyak yang berhasil dipancing warga. Ini karena, ikan besar mengiringi ikan-ikan kecil yang banyak berenang di pinggir pantai sebagai makanannya. “Sekarang, sekitar satu jam saja  kita memancing ikan di kawasan laut kami, hasil tangkapannya sudah lumayan,” tambah Ikhsan.

Sependapat dengan Panglima Laot Anoi Itam tersebut, di tempat terpisah Panglima Laot Ie Meulee, Saiful Bahri yang akrab disapa Yah Ngah, juga menegaskan banyak sekali manfaat adanya kawasan pantang. Baik bagi pelestarian ekosistem terumbu karang yang menjadi “rumah ikan”, maupun manfaat berupa jumlah tangkapan nelayan yang memadai dan kadang-kadang juga melimpah. Di kawasan pantang Wilayah Adat Laot Lhok Ie Meulee, alat tangkap yang dibenarkan hanyalah pancing. Menjaring, apalagi penggunaan alat tangkap yang merusak lingkungan--seperti pukat jepang (muroami), pukat harimau (trawl), bom, dan meracun ikan–sama sekali tidak diperkenankan.

Ada sanksi adat kalau ada yang melanggar adat laot di Wilayah Adat Laot Ie Meulee. Mulai dari teguran lisan, teguran tertulis, hingga membuat perjanjian untuk tidak melakukan pelanggaran lagi. Bahkan ada juga sanksi berupa denda sesuai dengan hasil sidang peradilan adat laot setempat.

Kawasan pantang di Wilayah Adat Laot Ie Meulee juga telah diakui dan ditetapkan KKP sebagai kawasan konservasi perairan pada tahun 2013 bersamaan dengan Lhok Anoi Itam juga. Bedanya dengan kawasan pantang Anoi Itam, kawasan pantang di Ie Meulee tidak terdapat zona inti. “Ini sesuai dengan musyawarah semua nelayan kami waktu itu yang tidak setuju adanya zona inti di wilayah adat laot mereka. Itu karena, ada pembatasan pemanfaatan,” demikian penjelasan Yah Ngah. “Dengan adanya pengakuan dan penetapan kawasan pantang laot menjadi kawasan konservasi perairan, maka semakin memudahkan pengawasan, terutama menghadapi oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab,” tambah Yah Ngah.

Ditambah lagi, panglima laot lhok di Kota Sabang, termasuk Ie Meulee juga merangkap sebagai Ketua Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) yang dibentuk oleh Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kota Sabang. Tujuannya adalah untuk melakukan pengawasan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan.

Ditemuai terpisah, Kepala DKP Kota Sabang, Zulfan SPi menyatakan bahwa panglima laot di Kota Sabang merupakan mitra penting Pemko Sabang dalam pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan berbasis adat. Seluruh panglima laot lhok dan panglima laot danau menjadi model integrasi dengan Pokmaswas, baik untuk lingkup Aceh maupun nasional.

Tahun 2019, Pokmaswas Pante Jaya yang ketuanya dijabat Panglima Laot Lhok Ie Meulee menjadi Pokmaswas Teladan untuk Aceh dan masuk nominasi empat besar tingkat nasional.

Sehari sebelumnya, Kamis (23/1/2020), di sela-sela diskusi kelompok terfokus “Studi Peran Panglima Laot dalam Pengelolaan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan” yang dilaksanakan  DKP Kota Sabang bersama Widlife Conservation Society (WCS) di Aula Kantor Wali Kota Sabang, Panglima Laot Kota Sabang, M Ali Arani, menjelaskan bahwa di Sabang terdapat sebelas panglima laot lhok dan satu panglima danau. Masing-masing panglima laot lhok dan danau tersebut, memiliki peran dan mekanisme pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan yang beragam, khas dan unik, sesuai dengan karakter alam dan sosialnya. Juga tergantung nilai-nilai spiritual yang dianut, sistem pengetahuan, dan kearifan yang berlaku, serta musyawarah-mufakat nelayan setempat. Itu semua berdampak baik bagi kelestarian terumbu karang dan sumber daya ikan di kawasan laut Sabang.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved