Opini

Empat Tahap Membangun Aceh  

Saya menyimpulkan Aceh tidak terlihat maju, bila dibandingkan daerah-daerah lain, yang dulunya tidak lebih hebat dari Aceh

Editor: bakri
SERAMBINEWS.COM/MASRIZAL BIN ZAIRI
Muhammad Nur, Direktur Eskutif WALHI Aceh, Mahasiswa Magister FH Unaya Banda Aceh 

Oleh Muhammad Nur, Direktur Eskutif WALHI Aceh, Mahasiswa Magister FH Unaya Banda Aceh

Berapa orang sudah memimpin Aceh sejak Indonesia merdeka? Tapi apakah Aceh sudah maju? Saya menyimpulkan Aceh tidak terlihat maju, bila dibandingkan daerah-daerah lain, yang dulunya tidak lebih hebat dari Aceh. Kita seakan-akan setback. Menuju kemunduran. Walau pendapat ini dapat dinilai sangat lebay, tapi itulah pendapat saya, dengan tolok ukur yang tidak mengada-ada.

Sejak lama, para pemimpin selalu bicara tentang pembangunan yang ideal. Mereka merancangnya melalui visi dan misi yang luar biasa. Aceh yang bermartabat, sejahtera, berkeadilan dan mandiri berlandaskan undang-undang Pemerintahan Aceh sebagai wujud MoU Helsink. Kemudian direncanakan dalam program yang terstruktur, penganggaran yang melibatkan orang-orang hebat. Tapi, mengapa di level penerapan di lapangan, semua kegiatan pembangunan tidak berhasil mendapatkan out-put dan out come? What happen?

Belum lagi jika kita merujuk pada jumlah PAGU Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh tahun 2020 yang mencapai 17,279 triliun. Jumlah yang cukup besar jika dibandingkan dengan provinsi lain di Sumatera, bahkan terbesar di Sumatera. Jumlah anggaran yang besar tersebut ternyata tidak berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan masyarakat, justru banyak paradok yang terjadi, terutama tingkat kemiskinan. 

Ada beberapa jawaban atas pertanyaan tersebut. Pertama, sudah sejak lama kita kehilangan pemimpin yang ideal dan berpihak kepada rakyat. Hal ini tidak terlepas dari biaya politik yang tidak murah. Bahkan semakin ke sini, anggaran yang harus dikeluarkan oleh seseorang untuk berhasil duduk sebagai bupati/walikota, lebih lima miliar rupiah. Konon lagi ketika terpilih sebagai gubernur. Demikian juga ketika terpilih sebagai anggota parlemen. Tidak murah. Kondisi ini membuat tatanan Sunda Empire-eh salah, tatanan pemerintahan menjadi tidak sehat. Biaya politik yang mahal, menyebabkan penentuan kepala dinas dan jabatan-jabatan elit tidak gratis. Semua harus menyetor.

Kepala dinas tentu tiak mau rugi. Ia akan meminta dana dari kasi dan kabid. Demikian seterusnya sampai ke bawah. Efeknya, kegiatan pembangunan menjadi jauh panggang dari api. Kesuksesan pembangunan hanya di dalam buku laporan.

Kedua, akibat hal di atas, semua janji politik tidak dapat ditunaikan. Semua kegiatan pembangunan harus memiliki feedback ekonomi bagi pemimpin. Ia yang ketika kampanye bicara tentang pembangunan ideal, setelah berkuasa harus melakukan pekerjaan-pekerjaan keagenan agar dapat mengembalikan cost politik yang sangat besar.

Tapi, bergelut pada dinamika di atas, tidak akan pernah menemukan ujungnya. Akan menjadi debat kusir yang tidak pernah tuntas. Karena sistem mata rantai ekonomi politik sudah terbangun demikian. Lembaga penyelenggara pemilu pun tidak berdaya mengawasi, konon lagi publik, ya hanya bisa mengutuk saja.

Mendapatkan predikat sebagai daerah termiskin di Sumatera, dengan jumlah pengangguran yang tidak sedikit, angkatan kerja yang minim keahlian, serta jumlah penduduk terdidik di level universitas masih di bawah harapan, tentu merupakan beban Aceh yang belum selesai.

Akan tetapi, kita tidak boleh stagnan di sana. Kita harus melangkah maju, dengan berbagai tantangan dan risiko yang masti dihadapi. Kita tidak boleh berdiam diri, di tengah kondisi Aceh yang masih tidak normal dan kehidupan sosial ekonomi yang makin sulit, kita harus terus menyampaiakan gagasan, sebagai bentuk partisipasi publik dalam membangun Aceh. Partisipasi publik harus dibuka untuk memastikan program pembangunan yang dijalankan tepat sasaran.

Pertama, dalam membangun Aceh, Pemerintah Aceh dan level di bawahnya, haruslah melibatkan semua pihak di dalam perencanaan pembangunan. Penentuan pembangunan yang mengatasnamakan rakyat banyak haruslah sesuai dengan kehendak rakyat. Pemimpin di level gampong harus benar-benar dimintai masukan, apa saja yang dibutuhkan rakyat yang ia pimpin.

Kemudian mengakomodir semua informasi yang sifatnya kelemahan-kelemahan rakyat yang harus diperkuat pemerintah. Pemerintah harus benar-benar tahu kondisi masyarakatnya, mengetahui aspirasi mereka serta mengetahui potensi yang dimiliki masing-masing daerah.

Siapapun itu, termasuk pemerintah, tidak akan pernah bisa menghadang kemajuan zaman. Tapi pemerintah bisa melakukan penyesuaian melalui inovasi dan strategi pembangunan yang tepat. Di sinilah peran negara sebagai fasilitator untuk membawa segenap rakyat untuk dapat menyesuaikan diri dengan perubahan yang sedang dan terus terjadi melalui pelibatan semua komponen, mulai dari perencanaan sampai tahap implementasi program pembangunan serta tahap pengawasan.

Semua itu harus dilakukan secara bertahap. Pemerintah harus menyusun roadmap yang sistematis. Apalagi saat ini Aceh dan Indonesia sudah memasuki era bonus demografi, yang artinya jumlah tenaga produktif jauh lebih banyak dari tenaga nonproduktif. Di sini akan terjadi perebutan wilayah, perebutan peluang kerja. Ketika rakyat tidak disiapkan, maka apa yang akan terjadi?

Kenapa saya menggunakan kata bertahap? Bayangkan saja ketika kita membangun rumah, maka pembangunan itu tetap bertahap, begitu juga pembangunan lainnya tetap bertahap. Juga harus diimbangi dengan komitmen dan integritas pemimpin dalam memimpin Aceh. Akan tetapi tahapan yang disusun harus terus mengalami kemajuan, tidak hanya stagnan pada tahapan tertentu sehinga tidak terjadi perubahan.

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved