Citizen Reporter
Cara Taiwan Tangani Pendatang dan Cegah COVID-19, Home Quarantine dan Self-Health Management
Perjalanan saya ke Taiwan harus transit di Bandara Kuala Lumpur 2 Malaysia selama 1 hari penuh, karena penerbangan yang lebih awal dibatalkan.
Muhammad Zulfajri, S.Pd., M.Sc. Mahasiswa Doktoral Medicinal and Applied Chemistry, Kaohsiung Medical University melaporkan dari Taiwan
MENINGGALKAN keluarga di tengah-tengah merebaknya kekhawatiran penyebaran Coronavirus disease 2019 (COVID-19) di Indonesia adalah bukan hal mudah.
Namun, mau tidak mau saya harus kembali lagi ke negeri Formosa (Taiwan) untuk melanjutkan pendidikan doktoral saya.
Sebab jadwal perkuliahannya sudah aktif sejak tanggal 3 Maret 2020.
Dengan jadwal tersebut, saya seharusnya sudah berangkat pada tanggal 28 Februari 2020.
Namun, karena satu dan lain hal, baru pada tanggal 15 Maret 2020 saya berangkat dari Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda Banda Aceh.
Saya diantar langsung oleh Ketua Rumoh Umat Indonesia (RUI) Tgk. Mustafa Husen Woyla.
Sesampai di bandara, petugas di pintu masuk mengecek suhu tubuh setiap calon penumpang yang akan berangkat.
Suhu tubuh di bawah ambang toleransi diperbolehkan berangkat.
Amatan saya, jumlah penumpang dari Banda Aceh ke Malaysia normal seperti biasanya.
Tiba di Bandara Internasional Kuala Lumpur 2 Malaysia, saya tidak ke luar dari bandara dan langsung masuk ke ruang tunggu penerbangan antarbangsa untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan adanya kendala bila harus ke luar melalui jalur imigrasi.
Perjalanan saya ke Taiwan harus transit di Bandara Kuala Lumpur 2 Malaysia selama 1 hari penuh, karena penerbangan yang lebih awal dibatalkan.
Akhirnya saya baru berangkat ke Taiwan pada hari Senin tanggal 16 Maret 2020, atau beberapa jam sebelum pengumuman lockdown Malaysia oleh PM Muhyiddin Yassin.
Setelah menempuh jarak sekitar 4 jam lebih, saya tiba di Bandara Internasional Taoyuan Taiwan.
Para penumbang wajib mengisi COVID-19 Health Declaration Card (form kartu deklarasi kesehatan COVID-19).
Semua penumpang wajib melaporkan riwayat kesehatannya meliputi riwayat demam, batuk, dan sesak napas selama 14 hari sebelumnya.
Selain itu, penumpang juga harus melaporkan tentang riwayat perjalanannya 14 hari sebelumnya ke negara Tiongkok, Hong Kong, Macau, Korea, Italia, Iran, Inggris, Irlandia, Dubai, atau negara lainnya.
Setelah diisi, form kartu tersebut akan dicek oleh petugas khusus dari Central Epidemic Command Center di bandara.
Loket ini berada sebelum loket imigrasi.
Saat hendak keluar dari bandara, seluruh penumpang dicek suhu tubuh dengan menggunakan thermoscan.
Pengecekan suhu tubuh kembali dilakukan saat naik bus menuju rumah.
• Selama Masa Isolasi 14 Hari, Sebaiknya Tunda Periksa Kehamilan dan Pap Smear
• Positif Corona, Pelatih Sepakbola di Spanyol Francisco Garcia Meninggal Dunia di Usia 21 Tahun
• Covid-19 Bertambah, Ini 6 Negara yang Lakukan Lockdown karena Pandemi Virus Corona
Karantina di rumah
Di bandara ini saya juga mendapatkan informasi bahwa Taiwan memberlakukan home quarantine (karantina di rumah) dan self-health management (manajemen kesehatan diri sendiri) bagi penumpang dari luar negeri.
Masa home quarantine dan self-health management ini adalah selama 14 hari.
Untungnya tidak semua penumpang asal luar negeri yang harus melakukan kedua hal tersebut.
Home quarantine diberlakukan untuk pendatang dari negara-negara level 3 (tinggi) wabah corona seperti Tiongkok, Hong Kong, Macau, Korea, Iran, dan Italia.
Sedangkan penumpang yang berasal dari negara-negara level 1 (rendah) dan 2 (sedang) maka harus melakukan self-health management.
Saya masuk kategori kedua, yaitu harus melakukan self-health management.
Pemerintah Taiwan selalu mengupdate daftar negara-negara yang masuke ke level 1, 2, dan 3 yang dapat di cek di website www.cdc.gov.tw.
Untuk home quarantine, selama periode karantina, pendatang harus berada di dalam rumah, tidak boleh meninggalkan negara atau ke luar negeri, atau menggunakan transportasi publik.
Sedangkan untuk self-health management, meskipun pendatang tanpa gejala-gejala demam, batuk, dan sesak nafas, maka disarankan untuk menghindari tempat-tempat umum.
Namun, apabila memang sangat diperlukan untuk ke luar rumah, maka harus memakai masker.
Sedangkan, untuk pendatang yang memiliki gejala-gejala demam, batuk, dan sesak napas, maka wajib memakai masker, segera menghubungi dokter dengan memberitahukan riwayat kontak dengan siapa saja dan riwayat perjalanan.
Sekaligus memberitahukan apakah ada orang-orang di sekitarnya yang mengalami gejala yang sama.
Setiba di Taiwan, saya memperoleh pemberitahuan dari Kampus melalui email, bahwa saya harus melakukan self-health management selama 14 hari ke depan, dimulai 16 Maret 2020 sampai 29 Maret 2020.
Saya harus memberikan laporan suhu tubuh 2 kali sehari yang diinput ke dalam sistem health care akun mahasiswa.
Saya juga diingatkan agar tidak lupa mencuci tangan selalu, menggunakan masker, dan membersihkan tempat tinggal terutama gagang pintu dengan pembersih.
Berdasarkan aturan self-health management, saya masih diperoleh untuk belanja di sekitar rumah atau kegiatan lainnya kalau diperlukan dengan tetap memakai masker.
Metode mengurung diri di rumah ini dinilai sukses diberlakukan di Taiwan, karena sistem informasi dan kesehatan yang tergolong canggih dan bagus.
Apalagi pada Taiwan merupakan negara terbaik pelayanan kesehatan melalui sistem asuransi kesehatan nasionalnya.
Pemerintah Taiwan juga mampu melacak dan memantau para pendatang.
Taiwan juga memiliki CCTV yang ada di mana-mana.
Hampir semua tempat ada CCTV-nya.
Bagi yang melanggar aturan karantina maka dikenakan sanksi membayar denda sebesar 15.000-1.000.000 NTD (sekitar 7.5-500 juta rupiah) yang dinaikkan dari sebelumnya 10.000-150.000 NTD.
Sampai saat ini sudah lebih 70 orang yang didenda dengan jumlah uang yang bervariasi.
Dengan keberhasilan metode ini, maka sampai saat ini Taiwan belum memberlakukan lockdown negaranya, meskipun pernah meliburkan sekolah dan kampus selama 2 minggu sejak 17 Februari-2 Maret 2020.
Kebijakan libur sekolah dan kampus ini didasari banyaknya mahasiswa asal Tiongkok yang kembali ke Taiwan setelah libur semester.
Mereka harus menjalani karantina di rumah.
Setelah itu, kegiatan sehari-hari di Taiwan normal seperti biasanya termasuk kegiatan sekolah, kuliah, kantor, pasar, dan lainnya.
Namun, dengan kesadaran yang tinggi, masyarakat Taiwan sudah tidak banyak lagi yang berpergian bila tidak mendesak.
• VIDEO - Ketua Komunitas Mahasiswa Aceh di Taiwan Imbau Warga Jangan Dulu Pergi ke China
• Dampak Virus Corona, Warung Indonesia di Taiwan Tutup
Pelajaran untuk Pemerintah Aceh
Belajar dari itu, Pemerintah Aceh dengan self-government-nya dapat melakukan berbagai langkah preventif tersendiri dengan belajar langsung ke beberapa negara yang sudah sukses menekan penyebaran COVID-19, meskipun perlunya koordinasi dengan pemerintah pusat.
Salah satu metode terbaik selain lockdown yang saat ini disuarakan oleh sebagian masyarakat, adalah dengan menerapkan sistem karantina untuk semua pendatang, melalui jalur darat maupun jalur udara, perjalanan internasional maupun nasional.
Saat ini, para warga yang pulang dari Jakarta, Jabar, Jateng, Banten sudah seharusnya diberlakukan karantina di rumah dengan pemantauan yang ketat.
Dasarnya, karena penyebaran COVID-19 di provinsi-provinsi tersebut sudah mengkhawatirkan.
Apalagi banyak daerah di Aceh belum memiliki peralatan dan sumber daya manusia yang terlatih untuk pengecekan langsung COVID-19.
Kebijakan ini diyakini dapat menenangkan kepanikan masyarakat Aceh ditengah langkanya masker dan juga hand sanitizer.
Langkah selanjutnya adalah menjamin ketersediaan masker dan hand sanitizer yang dapat dibeli dengan mudah.
Taiwan juga mempunyai aturan tersendiri tentang penjualan dan pembelian masker yang teratur.(*)
PENULIS adalah Mahasiswa Doktoral Medicinal and Applied Chemistry, Kaohsiung Medical University, Dosen Universitas Serambi Mekkah Aceh, Guru Dayah Darul Ihsan Teungku Haji Hasan Krueng Kalee, Ketua Komunitas Mahasiswa dan Masyarakat Aceh di Taiwan, dan Koordinator Rumoh Umat Indonesia (RUI) bidang Luar Negeri.