JURNALISME WARGA
Keilmuan Abdurrauf dan Titik Nol Terjemahan Quran di Singkil
HARI ini, 27 April 2020, warga Aceh Singkil, merayakan hari ulang tahun (HUT) daerahnya yang ke-21. Ulang tahun berdasarkan penetapan Singkil

SADRI ONDANG JAYA, guru di Aceh Singkil, melaporkan dari Singkil Utara
HARI ini, 27 April 2020, warga Aceh Singkil, merayakan hari ulang tahun (HUT) daerahnya yang ke-21. Ulang tahun berdasarkan penetapan Singkil menjadi daerah otonomi oleh Pemerintah RI.
Tapi sesungguhnya, Singkil itu sudah lama ada, jauh sebelum abad ke-17. Sejarah membuktikan, pada abad ke-17 saja di Singkil sudah lahir dan berkiprah sosok putra terbaik Nusantara, ulama besar, Syekh Abdurrauf As-Singkily. Siapa Syekh Abdurrauf? Dia adalah putra Singkil kelahiran tahun 1105 H atau 1615 M (ada juga yang menyebut 1620 M).
Sejak belia, Abdurrauf gemar menuntut ilmu. Termasuk kepada ayahnya, Ali Fansuri maupun pada pamannya, Syekh Hamzah Fansuri. Juga pernah berguru pada ulama besar, Syamsuddin As-Sumatrany di Mon Geudong, Samudera Pase, Aceh Utara, Aceh. Beliau bahkan melanglang buana, menggali ilmu selama 19 tahun kepada 30 guru di Timur Tengah.
Saat ia kembali ke Aceh, Kerajaan Aceh Darussalam sedang dipimpin Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin. Karena ketinggian ilmunya, Syekh Abdurrauf dinobatkan menjadi Qadhi Malikul Adil di Kerajaan Aceh. Beliau juga memainkan peran sebagai ulama mumpuni di pentas Nusantara.
Syekh Abdurrauf ketika itu tergolong ulama yang berkaliber. Fatwa-fatwanya selalu diikuti oleh petinggi kerajaan dan rakyat jelata. Ia ulama yang sangat produktif dan top dalam menulis.
Banyak kitab yang lahir dari tangan dinginnya. Mulai dari kitab ilmu tasawuf hingga ilmu fikih. Ada sekitar 22 buah karya masterpiece yang ditulisnya, versi lain menyebutkan hingga 74 karya, meliputi kitab tafsir, kitab hadis, kitab fikih, dan sisanya kitab tasawuf.
Adapun karya-karya Syekh Abdurrauf yang sempat dipublikasi murid-muridnya, antara lain, Mir’at al-Thullab fi Tasyil Mawa’iz al Badi’rifat al-Ahkam al- Syari’yyah lil Malik al-Wahhab. Karya di bidang fikih atau hukum Islam ini ia tulis atas permintaan Sultanah Safiatuddin.
Karya berikutnya, Tarjuman al-Mustafid, naskah pertama tafsir Alquran yang lengkap berbahasa Melayu. Kemudian, terjemahan hadis Arba’in, karya Imam al-Nawawi. Kitab ini ditulis atas permintaan Sultanah Zakiyyatuddin, ratu pengganti Sultanah Safiatuddin.
Karya berikutnya adalah Mawa’iz al-Badi’. Berisi nasihat penting dalam pembinaan akhlak. Kelima, Tanbih al-Musyi, naskah tasawuf yang memuat tentang martabat tujuh.
Keenam, Kifayat al- Muhtajin ila Masyarah al- Muwahhidin al-Qailin bi wahdatil Wujud, memuat penjelasan tentang konsep Wahadatul Wujud.
Umumnya, kitab-kitab itu ditulis Abdurrauf dalam bahasa Arab dan Melayu. Termasuk kitab tafsirnya yang berjudul Turjuman al-Mustafid.
Kitab pertama
Banyak sarjana dan ulama di dunia mengakui kitab Tafsir Turjuman al-Mustafid sebagai kitab tafsir pertama yang dihasilkan di Indonesia dengan bahasa Melayu, kendati terjemahannya al-Mustafid masih kurang sempurna bila ditinjau dari sisi ilmu bahasa Indonesia modern.
Namun, Syekh Abdurrauf bisa dikatakan orang yang pertama kali atau tokoh pelopor penerjemahan Alquran dalam bahasa Melayu (Indonesia), sehingga saat itu kehadiran tafsir Alquran pertama di Nusantara itu disambut umat Islam dengan gegap gempita dan antusias.