Opini
Menguatkan Ibadah; Menghilangkan Wabah
Wabah Corona (Covid-19) kini telah mencapai puncak dalam penyebarannya, kita belum mengetahui secara pasti kapan pandemi

Munawir Umar
Awardee Kemenkeu pada Program Magister Tafsir Interdisiplin UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
Wabah Corona (Covid-19) kini telah mencapai puncak dalam penyebarannya, kita belum mengetahui secara pasti kapan pandemi ini akan berakhir. Berdasarkan pada data akhir hingga hari ini, telah terinfeksi 3.172.146 jiwa manusia di seluruh dunia, dengan jumlah meninggal 212.317 jiwa, sedangkan yang telah sembuh berjumlah 916.027 jiwa. Dalam konteks Indonesia, hari ini korban yang terinfeksi telah mencapai 9.511 jiwa, dengan jumlah meninggal 773, dan dinyatakan sembuh sebanyak 1.254 jiwa (28/04/2020).
Para ilmuwan dan ahli medis dari berbagai belahan dunia pun telah berusaha semaksimal tenaga dengan ilmu yang mereka punya dalam rangka mencari penawar atau vaksin untuk menyembuhkan seluruh penderita wabah. Namun hingga hari ini belum ditemukan secara pasti apa jenis vaksin yang dapat membunuh mata rantai virus tersebut yang kian hari semakin membahayakan kehidupan manusia.
Kenyataan ini membuktikan kepada kita bahwa betapa lemahnya kita sebagai manusia di hadapan Allah Swt sebagai pencipta dan penggerak segala sesuatu yang ada di muka bumi ini. Sebab, jika kita membawa ini pada arah dan cakupan dimensi teologis (tauhid) maka bisa dipastikan secara mutlak bahwa apa yang terjadi adalah sesuai dengan skenario Allah Swt, sedangkan manusia pun tak bisa menghindar dari ketentuan itu.
Hal itu menjadi konkrit dengan memperhatikan firman Allah Swt dalam Al-Qur'an, "Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya, kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang berguguran melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)." (QS. Al-An'am: 59).
Berdoa dan berusaha
Kita selaku hamba-Nya hendaklah senantiasa bertafakur dengan merenung bahwa barang kali wabah ini adalah ujian Ilahi atau boleh jadi ini adalah teguran bagi kita yang begitu lalai dengan hiasan keduniaan dan melupakan perintah Tuhan. Sebab, sejatinya bagi orang yang beriman apapun yang terjadi adalah menjadi bahan ujian diri untuk terus menempa diri menjadi hamba yang paling berbakti di sisi Ilahi.
Sedangkan bagi meraka yang melanggar aturan Ilahi maka hampir bisa diputuskan bahwa setiap fenomena yang terjadi adalah barangkali azab dari Allah Swt. Berdoa serta memperkuat ibadah kepada Allah adalah menjadi cara paling ampuh dalam setiap kondisi dan keadaan, baik dalam keluasan agar kita tidak sombong dengan segala apa yang kita miliki, dan juga dalam kesempitan agar kita merasa diri bahwa yang Maha memberi keluasan adalah Allah semata.
Meskipun begitu, ada dimensi lain yang harus senantiasa dilakukan oleh manusia, yaitu beriktiar dan berusaha dengan semaksimal tenaga, agar pandemi Corona bisa hilang dengan segera yang juga menjadi bagian dari aspek teologis kita, yaitu dengan mengikuti protokol pemerintah dan juga ahli medis kedokteran. Hal ini mengingatkan kita pada sebuah kaidah dan falsafah kehidupan yang sering kali diucapkan bahwa, "Doa tanpa usaha adalah dusta, sedangkan usaha tanpa doa adalah kesombongan belaka".
Imam Al-Ghazali mencoba menjelaskan arti sebuah doa di tengah ketentuan Allah untuk manusia. Baginya, bahwa perintah doa adalah sebagai sebuah ibadah tersendiri di sisi Allah Swt. Upaya Imam Al-Ghazali ini pula berangkat dari keresahan sebagian orang terkait hubungan doa dan ketentuan Allah. Sebagian orang mengatakan bahwa adalah hal yang sulit dimengerti, sedangkan Allah telah menentukan takdir kepada manusia.
Imam Nawawi dalam al-Adzkar memberikan sebuah ilustrasi menarik terkait urgensi doa dalam kehidupan manusia. Ia berkata "Ketahuilah bahwa menolak bala melalui doa merupakan bagian dari qadha secara global. Doa menjadi sebab menolak bala dan juga menurunkan rahmat-Nya sebagaimana perisai menjadi sebab penolak senjata dan air menjadi sebab tumbuhnya tanaman di tanah. Hal itu juga bisa diibaratkan laksana perisai yang menolak anak panah sehingga keduanya saling berlawanan sebagimana halnya pula doa dan bala. Boleh juga kita berkata mengosongkan tangan dengan sengaja tanpa dibekali oleh senjata bukanlah termasuk dan tidak menjadi syarat atas pengakuan iman kepada qadha dan qadar Allah Swt."
Dalam firman Allah disebutkan, "Dan hendaklah mereka waspada dan siapkan senjata." (QS. An-Nisa': 102). Allah telah menentukan segala sesuatu, tetapi Ia juga menjadikan sebab dan musababnya.
Momentum Ramadhan
Di bulan yang penuh dengan kemuliaan yang dipersembahkan oleh Allah kepada setiap hamba-Nya yang beriman meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan. Karena sejatinya keimanan seorang hamba seringkali tergoyahkan dengan situasi lingkungan yang berada di sekitarnya. Dalam makna yang lain "Iman itu bisa bertambah dan bisa pula berkurang". Demikian disebutkan kurang lebih dalam sebuah redaksi hadis Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad dalam kitab sunannya.