Opini
Memburu Lailatul Qadar
Salah satu keistimewaan Ramadhan dibandingkan bulan lainnya adalah malam seribu bulan atau yang lebih dikenal sebagai Lailatul Qadar

Oleh M. Anzaikhan, S.Fil.I., M.Ag, Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar-Raniry, Banda Aceh
Salah satu keistimewaan Ramadhan dibandingkan bulan lainnya adalah malam seribu bulan atau yang lebih dikenal sebagai Lailatul Qadar. Dikatakan seribu bulan, sebab apabila seorang hamba beribadah sepanjang malam itu, maka ia mendapatkan rahmat berupa pahala yang setara dengan seribu bulan. Itu berarti sama halnya dengan mendapatkan pahala jika beribadah selama 83 tahun, subhanallah.
Tidak heran jika Ramadhan tiba, khususnya di sepuluh malam terakhir, seluruh muslim di penjuru dunia akan berlomba-lomba menghidupkan malam dengan beribadah guna memburu Lailatul Qadar. Apalagi rata-rata usia umat Nabi Muhammad berkisar antara 60 tahun, tentu secara matematis satu kali saja ia memperoleh rahmat di malam mulia tersebut maka sudah cukup untuk menjadi media penolong agar selamat di akhirat kelak.
Pertanyaan selanjutnya, ketika seorang hamba memperoleh Lailatul Qadar, apakah ia dapat melihatnya atau justru tidak ada petunjuk apapun? Apakah Muslim yang tidak melihat atau tidak merasakan tanda-tanda Lailatul Qadar berarti ia tidak memperoleh pahala seribu bulan?
Mungkin sudah tidak asing bagi umat Islam, bahwa di saat malam Lailatul Qadar kabarnya ada beberapa petunjuk yang mencolok, seperti pepohonan yang bengkok (seolah rukuk), air sumur yang mengental, bahkan permukaan tanah yang serasa digenangi air. Lebih jelasnya lagi, mereka yang beruntung dapat melihat bentuk fisik malaikat yang turun, baik dalam bentuk cahaya ataupun menyerupai manusia. Sebuah kejadian luar biasa yang didambakan Muslim pada umumnya.
Meskipun begitu, pribadi Muslim jangan kecewa jika tidak mengalami hal luar biasa pada malam Lailatul Qadar. Banyak riwayat mengatakan bahwa seorang Muslim tetap memperoleh kebaikan Lailatul Qadar meskipun tak melihat apapun. Sikap ingin melihat tanda Lailatul Qadar itu sendiri justru bisa membuat seorang Muslim pesimis jika tidak mengalaminya. Bahkan, Rasulullah sekalipun tidak mencari tanda-tanda itu.
Rasulullah hanya fokus meningkatkan intensitas ibadah malam pada sepuluh malam terakhir Ramadhan. Nabi mengencangkan ikat pinggangnya, menunda hubungan suami istri dan membangunkan istri-istrinya untuk beribadah pada malam-malam terakhir tersebut. Fenomena ini menunjukkan bahwa beribadah di sepuluh malam terakhir sangat dianjurkan melebihi ibadah lainnya.
Terkait pengalaman luar biasa, atau penampakan Lailatul Qadar, hal tersebut merupakan misteri yang Allah ciptakan, agar hamba-Nya senantiasa beribadah semaksimal mungkin. Disembunyikan-Nya malam Lailatul Qadar (tanpa petunjuk yang pasti) secara tidak langsung memotivasi umat Muslim agar menghidupkan semua malam Ramadhan. Jika Allah mengambarkan dengan jelas, malam tersebut jatuh pada hari dan tanggal berapa, tentu kebanyakan Muslim hanya beribadah di satu malam saja.
Begitu juga hikmah yang dapat dipetik bagi para pemburu Lailatul Qadar yang mungkin selama sebulan penuh beribadah, namun tidak mengalami tanda apapun. Semua itu dapat memotivasi seorang hamba agar meningkatkan intensitas ibadah pada Ramadhan tahun depan. Perkara pahala sejatinya adalah urusan Allah, Muslim sejati hanya berfikir bagaimana memperoleh ridha-Nya tanpa terlalu menghitung-hitung jumlah pahala yang sudah dikumpulkan. Sebab, jika Allah sudah ridha, pahala dan dosa bukan lagi sebuah indikator.
Lagi-lagi, pahala itu adalah perkara ghaib yang hanya Allah yang lebih tahu diterima atau tidaknya sebuah ibadah. Seorang hamba hanya dituntut berusaha untuk bertakwa semaksimal kemampuan, karena manusia tidak pernah tahu pada ibadah yang mana rahmat Allah diturunkan. Sebagaimana Nabi Muhammad, meskipun beliau maksum, sudah dijamin masuk syurga, namun Baginda Nabi tetap beribadah dengan totalitas bahkan hingga lututnya memar.
Tidak hanya itu, meskipun Nabi bebas dari perbuatan dosa namun Nabi senantiasa bertaubat setiap hari. Kendatipun perkara taubatnya Nabi di level yang berbeda dengan manusia biasa, namun cara Nabi beribadah bisa menjadi panutan untuk diikuti dan diamalkan.
Terkait malam ganjil terakhir yang kabarnya diletakkan Lailatul Qadar, saya rasa tidak selamanya demikian. Meskipun banyak hadis yang menjelaskan itu, namun genap atau ganjil itu tergantung persepsi manusia yang memilih dan meyakini kapan jatuhnya puasa pertama Ramadhan.
Sebagaimana kita ketahui, masing-masing mazhab dan aliran Islam memiliki jadwal yang variatif dalam memulai awal puasa Ramadhan. Tentunya ini akan mempengaruhi genap-ganjil yang variatif pula. Ada baiknya menghidupkan seluruh malam dengan ibadah terbaik tanpa pandang genap atau ganjil.
Menjelang akhir
Kabarnya, semakin akhir puasa Ramadhan maka pahalanya semakin besar dan berlipat ganda. Saya sepakat dengan ini, sebab semakin akhir suatu Ramadhan maka akan semakin sulit untuk dilaksanakan. Pada awal Ramadhan, mesjid tidak muat menampung jamaah tarawih, mereka ada yang shalat di teras, bahkan halaman mesjid. Ketika menjelang akhir, jamaah hilang entah kemana bahkan satu shap-pun terkadang tidak terpenuhi.