Breaking News

Video

VIDEO – Kondisi Terkini Kompleks Karantina Haji Pertama di Indonesia, di Pulau Rubiah Sabang

Kompleks Karantina Haji pertama di Indonesia ini dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda di Pulau Rubiah yang berada di Sabang.

Penulis: Zainal Arifin M Nur | Editor: Zaenal

Para jamaah terlebih dulu menginap di pulau Rubiah, baru nantinya akan diantar dengan kapal menuju kapal yang besar.

Ini Jumlah Wisatawan ke Sabang Selama Covid-19, Jumlahnya Turun Drastis Dibandingkan Tahun Lalu

Destinasi Wisata di Tengah Pandemi, Tiga Bulan Sepi Kini Sabang Berdenyut Lagi

Cegah Penyakit dan Kepentingan Politik

Literatur lain menyebutkan bahwa pusat karantina haji ini didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk kepentingan ekonomi dan politik.

Pendiri Sabang Heritage Society (SHS), Albina Ar Rahman seperti dikutip dari website Kemenag Aceh mengatakan, gedung karantina haji ini dibangun untuk menarik simpati masyarakat Aceh.

Ia menuturkan, seluruh jamaah haji yang baru pulang dari Tanah Suci di karantina selama 40 hari dengan tujuan mencegah kemungkinan membawa penyakit menular atau wabah.

"Dulu belum ada vaksin seperti sekarang. Jadi orang yang pulang antar negara itu (dianggap) bawa pulang penyakit. Jadi harus dikarantina dan itu wajib," kata Albina saat ditemui tim Kemenag Aceh pada 2019 silam.

Sumber lainnya, seperti dicatat di Wikipedia.org menyebutkan, selain untuk kepentingan mencegah wabah penyakit, pusat karantina haji ini dibangun oleh Belanda untuk memudahkan mengidentifikasi orang-orang Indonesia yang menjadi jamaah haji.

Sebabnya, pemimpin militer Belanda melihat beberapa kasus perlawanan melawan penjajah di berbagai daerah digerakkan oleh orang-orang yang pernah pergi ke Tanah Suci.

Karenanya, orang-orang yang pulang dari Tanah Suci di Arab Saudi dicurigai sebagai antikolonialisme, dengan pakaian ala penduduk Arab yang disebut oleh VOC sebagai “kostum Muhammad dan serban”.

Gelombang propaganda anti-VOC pada 1670-an di Banten, ketika banyak orang meninggalkan pakaian adat Jawa kemudian menggantinya dengan memakai pakaian Arab, pemberontakan Pangeran Diponegoro di Jawa Tengah, serta Imam Bonjol di Sumatera Barat, memaksa pemerintah Hinda Belanda menjalankan politik Islam, yaitu sebuah kebijakan dalam mengelola masalah-masalah Islam di Nusantara pada masa itu.

Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintahan Belanda Staatsblad tahun 1903.

Maka sejak tahun 1911, pemerintah Hindia Belanda mengkarantina penduduk pribumi yang ingin pergi haji maupun setelah pulang haji.

Petugas Belanda mencatat dengan detail nama-nama dan asal wilayah jamaah haji.

Oleh pihak Belanda, orang-orang yang baru pulang dari menjalankan ibadah haji di Tanah Suci ini ditambahi dengan gelar haji di depan namanya.

Sehingga begitu terjadi pemberontakan di sebuah daerah, Pemerintah Hindia Belanda dengan mudah menemukan orang yang diduga sebagai tokoh pemberontakan di daerah tersebut.

VIDEO - Efek Covid-19, Sudah Tiga Bulan Penginapan di Sabang Nyaris Tanpa Tamu

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved