Opini
Makan Sate Tak Perlu Piara Kambing?
Ketika itu sebuah media online memberitakan bahwa Abuya Syarkawi, Bupati Bener Meriah, menyatakan mengundurkan dari jabatan
Membuka catatan sejarah Aceh paska kemerdekaan, ada suatu masa kepemimpinan politik Aceh berada di tangan ulama. Tokoh ulama itu adalah Tgk Muhammad Daud Beureu'eh. Paska Abu Beureu'eh lama sekali tidak ada lagi kepemimpinan politik di Aceh yang diwakili ulama.
Abu Beureu'eh ditunjuk Jakarta menjadi Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo tahun 1947-1949. Kemudian setelah pembentukan Provinsi Aceh Abu Beureu'eh kembali ditunjuk sebagai Gubernur Aceh ke-3 tahun 1950-1951.
Saat ini juga ada ulama yang terlibat dalam kepemimpinan politik di Aceh. Mereka adalah Abuya Syarkawi, Bupati Bener Meriah, dan Waled Husaini, Wakil Bupati Aceh Besar. Pertanyaannya adalah apakah ini pertanda dukungan kepemimpinan politik ulama kembali bersemi, atau faktor kebetulan saja?
Jika ini kebetulan, kemudian kepemimpinan politik kedua ulama ini mampu menginspirasi dan menghadirkan harapan baru, maka peluang kepemimpinan politik ulama di Aceh ke depan akan disambut antusias dengan karpet merah. Sebaliknya, bila representasi kepemimpinan politik ulama yang ada saat ini prestasinya biasa-biasa saja, maka ekspektasi masyarakat akan berbanding terbalik.
Belajar dari kesempatan Abu Beureu'eh menjadi pemimpin politik, ternyata bukan hanya perkara momentum an-sich, tetapi bersamanya ada ikhtiar atau konsolidasi yang dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif melalui Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA).
Dalam amatan selama ini--bila kepemimpinan politik ulama itu benar sebuah etos yang muncul dari harapan baru masyarakat--maka konsolidasi sebaimana dulu dilakukan Abu Beureu'eh menjadi keniscayaan. Dan ini belum dilakukan memadai. Ini penting, karena ketika momentum ada sedangkan konsolidasi tiada, maka momentum yang ada akan sia-sia.
Setelah Abu Beureu'eh tidak lagi gubernur, sampai puluhan tahun kemudian tidak pernah ada lagi kepemimpin politik dari kalangan ulama. Bukan hanya tidak pernah ada lagi, bahkan sejak itu cenderung ulama dan masyarakat tidak bergairah melakukan konsolidasi.
Kondisi ini diperparah lagi pada masa 32 tahun rezim Orba yang otoriter. Selama Orba sangat sulit bagi ulama untuk muncul sebagai pemimpin politik. Karena ketika itu, pranata dan jaringan politik Orba sangat kuat dan terstruktur sampai ke tingkat bawah. Ketika itu para ulama dan kelompok Islam lainnya cenderung dipinggirkan.
Paska reformasi harapan akan kepemimpinan politik ulama mulai ada. Ini antara lain tercatat dalam sejumlah dokumen perihal adanya inisiasi dari Allahyarham Abu Panton bersama belasan ulama besar lainnya mendirikan partai lokal berbasis dayah untuk konsolidasi kepemimpinan politik ulama.
Namun, dalam perjalanannya harapan itu tidak terkonsolidasi dengan baik. Sampai akhirnya para ulama deklarator partai itu melupakan secara alamiah ikhtiar politik yang pernah dilakukan itu.
Sikap para ulama di atas seakan mengonfirmasikan adanya dua kutub konsepsi terkait kepemimpinan politik ulama. Pertama, ada yang beranggapan bahwa pemerintahan ini akan baik dan sejahtera bila dipimpin ulama. Alasannya jelas karena mereka adalah warashatul anbiya serta paham persoalan dan kebutuhan umat.
Sedangkan konsepsi kedua cenderung pesimis dengan kepemimpinan politik ulama di Aceh. Kutub kedua ini justru meyakini bahwa dua otoritas-agama dan pemerintahan-harus dipisahkan dan dikelola secara profesional sesuai keahlian masing-masing.
Bukan digenggam satu tangan, tapi oleh dua tangan yang saling bersinergi berjabat erat dalam berkerja sama. Siapa saja boleh pegang otoritas pemerintahan, tapi ada semacam "kontrak politik" dengan otoritas agama. Ada kesepahaman untuk tidak mengabaikan agama dalam pemerintahan.
Sayid Qutb, Rais Am Ikhwanul Muslimin misalnya, termasuk yang mendukung ulama harus menjadi pemimpin politik. Dalam bukunya Kerangka Ideologi Islam, dia menyebutkan bahwa ulama harus memegang kekuasaan karena beberapa perkara.
Salah satunya, untuk menegakkan amar ma'ruf nahyi `anil mungkar.