Jurnalisme Warga
Pengalaman Praktik Mengajar di Era ‘New Normal’
Melalui program ini akan terlihat tingkat kemampuan seorang calon pendidik dalam menyiapkan perangkat pembelajaran, menyampaikan materi

OLEH INTAN MAKHFIRAH, Mahasiswi Pendidikan Bahasa Indonesia dan Ketua Unit Kreativitas Mahasiswa (UKM) Jurnalistik STKIP Bina Bangsa Getsempena Banda Aceh, sedang mengambil program microteaching, melaporkan dari Banda Aceh
SETIAP mahasiswa yang kuliah di Jurusan Ilmu Pendidikan dan Keguruan pasti akan merasakan microteaching. Pembelajaran Mikro ini merupakan mata kuliah praktik mengajar bagi mahasiswa keguruan. Biasanya, mata kuliah ini terdapat di semester VI. Melalui program ini akan terlihat tingkat kemampuan seorang calon pendidik dalam menyiapkan perangkat pembelajaran, menyampaikan materi, mengelola kelas, dan menggunakan media pembelajaran.
Boleh dikata, dalam program ini mahasiswa mengajar ecek-ecek. Walau main-main, tapi pelaksanaannya tetap serius dan setiap tahapannya dinilai dan dievaluasi. Saat microteaching, siswanya adalah kawan seangkatan dan lokasinya masih di lingkungan kampus. Istilahnya, microteaching ini lebih difokuskan pada proses pembelajaran dalam ruang lingkup kelas.
Kalau lulus tahapan ini, mahasiswa bisa lanjut ke tahapan praktik pengalaman lapangan (PPL). Pada tahap ini, mahasiswa akan merasakan langsung atmosfer mendidik sebenarnya yang tidak hanya sebatas ruangan, tetapi juga kondisi lingkungan sekolah dengan segala aktivitas dan permasalahannya. Di sinilah supervisor dan pihak sekolah memberi penilaian terhadap peserta praktik. Bukan hanya di bidang mengajar, tetapi juga penilaian di bidang kemampuan berkomunikasi, interaksi siswa dan guru, mengatasi segala permasalahan, penilaian, keterlibatan, dan keaktifan terhadap segala macam kegiatan sekolah dan esktrakurikuler, dan sebagainya.
Kembali kepada microteaching. Sejak dulu kami sudah melihat kakak angkatan mengambil program ini. Terlihat mereka mengenakan seragam hitam putih sekali atau dua kali dalam seminggu. Saat itulah kami juga membayangkan nasib kami masing-masing nanti saat praktik mengajar dengan diliputi perasaan dag-dig-dug.
Waktu terus berlalu. Tanpa terasa kami sudah semester VI. Tibalah kami pada tahapan ini. Namun, saat mengambil program ini pada Maret lalu, pandemi mulai melanda Indonesia dan Aceh khususnya. Social distancing (menjaga jarak sosial) pun mulai diberlakukan. Aktivitas perkantoran mulai tutup. Perguruan tinggi juga terkena dampak yang sangat serius. Perkuliahan yang semula diadakan dengan tatap muka harus diganti dengan perkuliahan daring. Untuk mata kuliah teoretis saat perkuliahan jarak jauh ini memang tidaklah jadi masalah besar, akan tetapi untuk mata kuliah praktik kondisi ini tentu menjadi kendala serius, apalagi mata kuliah microteaching yang sangat menentukan seorang mahasiswa layak mengajar atau tidak.
Meski demikian, microteaching tetap dilaksanakan secara daring walau tidak maksimal. Memang banyak kendala yang dihadapi, di antaranya mahasiswa tidak bisa leluasa bergerak layaknya guru mengajar, tidak bisa berkomunikasi secara efektif, dan tak bisa menggunakan fasilitas dan media pembelajaran. Lebih fatalnya lagi adalah permasalahan teknis seperti jaringan internet yang terputus-putus. Tentu saja sangat mengganggu praktik mengajar. Apalagi kalau sedang mengajar tiba-tiba jaringan mati total. Terpaksa harus dimulai lagi dari awal.
Era new normal memberikan angin segar bagi kegiatan praktik mengajar. Apalagi Aceh ditetapkan sebagai zona hijau. Jadi, tentu saja penyelenggaraan kegiatan di perguruan tinggi mulai dilonggarkan, termasuk perkuliahan. Nah, dalam perjalanan pertengahan semester ini kami pun mulai merasakan sensasi praktik mengajar yang sebenarnya. Walau demikian, protokol kesehatan dalam praktik microteaching sangatlah ketat. Sebelum memasuki ruangan laboratorium microteaching, misalnya, semua peserta harus memakai masker. Di dalam ruangan juga dilarang berbicara yang tidak penting, kecuali mengajar dan memberi masukan.
Peserta juga harus menjaga jarak duduk. Saat ke luar, harus mencuci tangan di tempat yang telah disediakan. Semua peserta harus mengindahkan protokol kesehatan tersebut jika ingin program ini dilanjutkan. Alhamdulillah, mahasiswa dengan senang hati mematuhi aturan ini sehingga program ini tetap berjalan dengan lancar.
Mulai praktik
Baju putih, jilbab putih, rok hitam, dan sepatu hitam berhak agak tinggi, menjadi seragam kami kini. Semuanya tampak berwibawa dalam balutan busana ini. Layaknya guru yang akan mengajar, kami juga sudah siap dengan berbagai bahan ajar. Saya mulai praktik mengajar dengan masuk ke ruangan layaknya seorang guru. Para dosen dan teman-teman memperhatikan dengan saksama. Saya beri salam dan sapa siswa, dilanjutkan dengan penyampaian materi.
Teman-teman tampak antusias memainkan perannya sebagai murid. Usai mengajar, para dosen memberi penilaian. Teman-teman juga ikut memberi masukan guna meningkatkan kualitas mengajar personal kami agar lebih baik ke depannya.
Saat pertama mengajar, kami sedikit gugup. Apalagi harus mengajar di depan para dosen. Kepercayaan diri sangat diuji, apalagi nanti suasana di sekolah tentunya berbeda dengan kondisi riil kami di kelas. Maka dari itu, kami harus siap sedia dengan segala hal mengenai mengajar.
Perjuangan untuk dapat menjadi guru sangatlah berat. Ada banyak hal yang harus ditempuh. Berbagai tantangan dan rintangan juga harus dihadapi. Dalam mengajar, kami tidak hanya dituntut pintar dalam menyampaikan materi, tetapi juga harus terampil menggunakan media dan fasilitas pembelajaran. Beruntung, di kampus kami tersedia laboratorium microteaching yang canggih. Lab Microteaching ini dilengkapi dengan peralatan mutakhir. Tentunya sangat membantu kami dalam proses pembelajaran.
Belajar di lab ini menghadirkan sensasi tersendiri. Walau hati dag-dig-dug, tapi kami tetap optimis bakal berhasil melakukan pembelajaran praktik. Sungguh menyenangkan belajar di laboratorium ini. Apalagi di layar LED-nya kami bisa langsung menulis layaknya di papan tulis.