Jurnalisme Warga
Wisata Religi ke Makam Habib Bugak
Jika sebelumnya kita bisa menghabiskan liburan di berbagai tempat keramaian tanpa perlu khawatir terhadap sesuatu apa pun

OLEH MIRNANI MUNIRUDDIN ACHMAD, M.A., Guru MIN 13 Pidie Jaya, alumnus Pascasarjana UIN Ar-Raniry, dan Anggota FaMe Chapter Pidie Jaya, melaporkan dari Desa Pante Peusangan, Bireuen
MENGHABISKAN liburan sekolah di tengah pandemi Covid-19 terasa berbeda dari liburan-liburan sebelumnya. Jika sebelumnya kita bisa menghabiskan liburan di berbagai tempat keramaian tanpa perlu khawatir terhadap sesuatu apa pun, kini tidak lagi.
Pada liburan kali ini kami berinisiatif mengunjungi tempat-tempat yang bisa mendekatkan diri kepada Allah serta bisa menambah kecintaan kita terhadap hamba Allah yang menghabiskan masanya di dunia dalam melakukan kebaikan yang bermanfaat bagi orang lain.
Lokasi yang kami datangi adalah makam bersejarah sang pewakaf tanah dan rumah (Baitul Asyi) di Kota Mekkah Al-Mukarramah, yaitu Habib Bugak Aceh.
Profil Habib Bugak yang masih samar-samar akhirnya terungkap ketika tim yang dipimpin Hilmy Bakar Al Hasany Al-Mascaty membuat penelitian sejak tahun 2007 yang akhirnya mengungkap sejarah hidup, perjuangan, dan jasa Habib Bugak.
Jadilah yang pertama dalam berbuat kebaikan! Ini slogan biasa yang bisa berefek luar biasa. Menjadi inspirasi kebaikan bagi orang lain merupakan suatu prestasi yang membanggakan. Inspirator yang bisa menggerakkan orang di sekitar kita untuk melakukan hal yang sama, menjadi teladan, dan sebuah penggugah jiwa yang bisa mengubah seseorang ke arah yang lebih baik. Hikmah pembelajaran inilah yang bisa kita ambil dari Habib Bugak Aceh yang bernama asli Habib Abdurrahman bin Alwi. Beliau berasal dari Mekkah yang bersambung garis keturunannya dengan Rasulullah saw. Beliau menginjakkan kakinya di bumi Serambi Mekkah, Aceh, sekitar tahun1760 bersamaan dengan masa pemerintahan Sultan Ala’addin Mahmud Syah (1767-1786).
Beliau menetap di Aceh bahkan menjadi kepercayaan sultan untuk menjadi Teungku Chiek, Teungku Qadhi-Khatib, dan sebagai Wakil Sultan di wilayah kekuasaan sebelah utara kekuasaan Kerajaan Aceh yang berpusat di Mon Klayu dengan Kota Syahbandar di Kuala Ceurape.
Namun, tahun1220 H atau sekitar tahun 1880 M, Habib Bugak kembali ke Mekkah mengunjungi tanah kelahirannya. Ketika berada di Mekkah itulah beliau mewakafkan sebidang tanah beserta rumah yang bersebelahan dengan Masjidil Haram untuk masyarakat Aceh.
Berdasarkan ikrar wakaf Habib Abdurrahman ibn Alwi Al-Habsyi ke Mahkamah Syari’ah Mekkah Al-Mukarramah Kekhalifahan Ustmaniyah pada 18 Rabi’ul Akhir 1224 H/1809 M, tanah dan bangun itu ditujukan sebagai tempat tinggal jamaah haji asal Aceh (Biladil Asyi), sebagai tempat tinggal orang asal Aceh yang menetap di Mekkah. Kemudian, jika seandainya tak ada lagi orang Aceh yang yang datang ke Mekkah untuk berhaji, maka rumah wakaf ini digunakan untuk tempat tinggal pelajar Jawi (muslimin Asia Tenggara) yang belajar di Mekkah. Sekiranya pelajar Jawi pun tak ada lagi yang belajar di Mekkah, maka rumah wakaf tersebut diserahkan kepada Imam Masjidil Haram untuk membiayai kebutuhan Masjidil Haram (Al-Awqaf Al-Asyi, Makkah Mukarramah, 1981).
Dalam ikrar wakafnya itu, Habib Abdurrahman tidak menggunakan nama aslinya, melainkan nama samaran, yaitu Habib Bugak yang tak lain adalah nama kota asalnya di Aceh, Bugak. Ini menandakan beliau adalah orang yang zuhud dan tidak mengharapkan sanjungan serta pujian dari manusia, selain mengharap balasan dari Allah semata dan lambang keikhlasan dalam beribadah.
Setelah mewakafkan hartanya, beliau kembali meninggalkan tanah kelahirannya untuk mengembangkan dakwah Islam sampai akhir hayatnya di bumi Serambi Mekkah. Beliau wafat sekitar tahun 1880 M dan dimakamkan di Dusun Pante Sidom, Kecamatan Peusangan, Bireuen. Jarak untuk sampai ke makam Habib Bugak sekitar 4,2 km dari jalan Medan-Banda Aceh. Tidak ada rintangan yang berarti ketika kami bergerak ke tempat tersebut. Hanya saja kami merasa agak terkejut ketika hendak memasuki Dusun Pante Sidom sekitar 500 meter di mana posisi makam berada. Kami jumpai ruas jalan yang terkesan “sangat tidak layak” dengan apa yang telah Habib Bugak berikan kepada bangsa Aceh khususnya, walau beliau tak pernah mengharap balasan dari manusia.
Menurut Habib Alwi, Juru Kunci/Penjaga Makan Habib Bugak, yang juga salah satu keturunan Habib Bugak di generasi selanjutnya, mengatakan bahwa Haji Saifannur, mantan bupati Bireuen yang juga telah meresmikan makam pada Januari tahun 2019 pernah berencana ingin membangun jalan dan memugar kembali area makam, tapi belum terwujud sampai akhirnya beliau pun menghadap Yang Mahakuasa tahun lalu.
Namun, dibandingkan dengan kondisi sebelumnya, area makam ini terlihat sudah sangat lebih baik. Makam memang telah dipugar dan direhab pada Opster TNI Tahun Anggaran 2018 dengan bangunan berlantaikan granit dan beratapkan genteng metal, serta ukiran di tiang beton pintu masuk yang bertuliskan nama Habib Bugak Aceh. Semua ini menambah asri pemandangan makam ini.
Ketika sampai di sini, kita akan disambut angin sepoi-sepoi yang membuat mata seketika mulai terlena, karena memang area makam terletak tepat di ujung desa yang tiga penjuru makam dikelilingi oleh persawahan warga.
Menurut juru kunci makam, dulunya di sekiling makam merupakan lahan berkebun masyarakat, namun sedikit demi sedikit warga mengubahnya menjadi persawahan. Hanya tersisa di sisi kanan makam yang masih bertahan sebagai kebun kelapa warga. Seandainya itu pun dijadikan persawahan, maka jadilah area makam tepat di tengah-tengah persawahan.
Secara keseluruhan, kondisi makam sudah layak, tapi masih kurang dengan kondisi pagar yang masih memakai pagar kawat yang banyak ditumbuhi tumbuhan liar. Banyak warga yang ingin mengunjungi makam ini, tapi terkendala oleh kondisi jalan yang masih berupa tanah dan sangat susah untuk dilalui kenderaan roda empat. Apalagi jika musim hujan yang membuat kondisi jalan tergenang air dan membuat jalan licin sehingga rawan kecelakaan.
Kita harapkan semoga ke depannya makam ini akan diperhatikan sepenuhnya, mulai dari jalan untuk menuju ke makam maupun prasarana dan sarana lainnya yang memang dibutuhkan. Apalagi mengingat makam ini sudah dijadikan situs cagar budaya bersejarah.
Sebagai warga Aceh, kita patut bersyukur karena memiliki wakaf Habib Bugak yang memang diperuntukkan bagi bangsa Aceh dan manfaatnya tak akan pernah teputus selama Allah masih mengizinkan kita untuk mengunjungi Mekkah. Seperti kita ketahui bahwa setiap tahunnya saat menunaikan ibadah haji, warga Aceh yang menunaikan haji akan diberikan uang pengganti sewa rumah dari pengelola Baitul Asyi, yakni sekitar Rp 4,5 juta/jamaah. Ini merupakan berkah tersendiri yang diberikan Allah kepada warga Aceh melalui hamba-Nya yang tak lain adalah Habib Bugak Aceh yang berhati dermawan.
Untuk berterima kasih kepada beliau, bisa kita lakukan dengan menziarahi makamnya, mendoakan untuk kebaikan yang telah beliau berikan kepada kita, awak Aceh. Juga mendoakan diri sendiri agar bisa menapakkan kaki di Mekkah, sehingga dapat merasakan manfaat dari kedermawanan seorang Habib Bugak. <19910815nani@gmail.com>