Wawancara Eksklusif
Ojong Berintegritas, Media Sekarang Tersesat
Sebagai orang yang lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 25 Juli 1920, wajar makanan favorit PK Ojong masakan padang
Dulu beliau di Star Weekly, itu majalah Tionghoa-Indonesia, dulu masih campur-campur. Ada berita, berita detektif, soal perempuan, tapi di Star Weekly pernah ada laporan panjang membahas filsafat pemikiran sejarah Arnold Toynbee. Suatu hal yang langka majalah seperti itu membahas sejarah pemikiran dan itulah ciri khas Pak Ojong karena beliau mencintai ide-ide.
Dan memang waktu Star Weekly dibreidel, beliau baru membangun keterampilan perusahaan. Sebelumnya tidak peduli. Pak Ojong itu kalau soal bisnis itu dia tidak mau peduli, hanya nulis. Tapi ketika pabriknya dibreidel, karyawan butuh hidup, maka memikirkan mencari nafkah.
Di situ terlihat bahwa dia berkorban, misalnya juga waktu saya diajak bertemu Mochtar Lubis. Saya tidak kenal Mochtar Lubis, waktu itu dia dipenjara. Pak Ojong datang bawa buku. Pak Ojong mengusahakan orang-orang yang ditahan karena urusan politik tetap mendapat buku, tahanan politik Bung Karno itu mendapat buku. Jadi Mochtar Lubis diupayakan mendapat buku.
Beliau sangat percaya dan sayang pada Arief Budiman, sehingga Arief Budiman bisa menulis dua halaman di Kompas. Tidak ada koran di Indonesia seperti itu, dan ini sangat bagus. Sayangnya ini tidak ada lagi. Dari semua wartawan senior, hal ini sekarang sudah tidak ada lagi.
Nilai yang menginspirasi dari PK Ojong sebagai insan pers?
Yang tadi saya sebut bahwa pertama ketika saya tanya mau mendirikan majalah Tempo, yang dijawab saya harus bekerja 7 hari 24 jam. Buat saya itu benar, saya pegang sampai hari ini. Etos kerja itu dipertahankan, tidak boleh melawan kerja, ga boleh menolak tugas, seperti tentara dan tentu saja integritas dan kecerdasan.
Banyak wartawan yang tidak baca, tapi beliau tidak pernah menilai orang. Tetapi kelihatan bahwa beliau sangat menghargai orang yang membaca dan ingin tahu. Dan majalah Star Weekly begitu banyak untung karena ada PK Ojong. Mana ada majalah seperti itu memuat panjang lebar mengenai sejarawan Arnold Toynbee.
Nilai hidup Pak Ojong yang lain, apa yang menginspirasi?
Saya mencontoh PK Ojong banyak, di dalam organisasi pimpinan jangan mementingkan diri sendiri. Jadi ada kesetaraan dalam manajemen, itu memperkuat tim. Jadi itu yang terus saya pakai, bahkan di Tempo saat ini pemimpin redaksi itu bukan dewa. Bisa salah, boleh dibantah, bisa diketawain, bisa diajak diskusi.
Perpaduan duo PK Ojong dan Jakob Oetama bagaimana?
Karena saya tidak dekat dengan (Jacob Oetama), saya sudah di Tempo, jadi saya tidak tahu. Saya kira bukan karena perbedaan soal Jawa dan Minang, soal karakter. Keduanya rendah hati, PK Ojong itu tidak ada sombong-sombongnya. Sama saya saja baik kok, pernah makan-makan, saya diperlakukan sama saja.
Hal lain yang menginspirasi dari sosok PK Ojong?
Ya itu tadi kesederhanaan, rendah hati dan keseriusan bekerja. Pak Ojong bukan orang yang tertawa-tawa terlalu banyak, tidak pernah berpidato, sangat agak pemalu. Mungkin kedalaman filsafatnya juga bebas, tapi pandangan moralnya sangat mengakar.
Sosok PK Ojong di mata Anda?
Pertama beliau tidak memburu kekayaan, kekayaan itu by product, beliau kan tidak. Kedua beliau itu membuat kita bisa mengawal kemerdekaan. Kalau orang bernafsu kaya kan mudah dibeli. Wartawan Kompas dan Tempo terkenal tidak menerima suap, tidak ada kompromi soal itu. Ketiga ya bekerja keras dan belajar terus, dan itu yang mungkin tidak ada sekarang, kerja keras dan belajar terus, karena mudah.