Opini
Qanun LKS dan Pola Pikir Regresif
Dalam beberapa hari terakhir, berita di media online dipenuhi lontaran pendapat pengamat, pengusaha, aktivis LSM dan akademisi
Dr. Hafas Furqani, M.Ec
Wakil Dekan I FEBI UIN Ar-Raniry Banda Aceh
Dalam beberapa hari terakhir, berita di media online dipenuhi lontaran pendapat pengamat, pengusaha, aktivis LSM dan akademisi tentang keberatan rencana konversi seluruh lembaga keuangan konvensional di Aceh menjadi lembaga keuangan Syariah seperti yang diamanahkan dalam Qanun Aceh No. 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS).
Walaupun agak aneh karena diutarakan ketika semua perbankan konvensional di Aceh sudah dalam persiapan akhir (finalisasi) pengalihan (migrasi) nasabahnya kepada perbankan Syariah, apa yang diutarakan terasa sangat mengganggu.
Ketika tahap awal Rancangan Qanun LKS diselesaikan dan dibawa ke Jakarta, ada kekhawatiran dari Pemerintah Aceh dan DPRA, Qanun ini akan dihambat. Isi Qanun LKS bukan remeh, menginginkan transaksi lembaga keuangan di Aceh patuh kepada hukum Syariat Islam. Dengan tegas Qanun meminta lembaga keuangan konvensional yang beroperasi di Aceh melakukan peralihan menjadi lembaga keuangan Syariah dalam jangka waktu tiga tahun sejak Qanun diundangkan atau tidak beroperasi lagi di Aceh.
Ternyata, respon Jakarta tidak seperti disangka. Justru, lembaga Negara seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) mendukung Qanun LKS dan menfasilitasi apa yang diamanahkan dalam Qanun. Sepertinya, Aceh menjadi harapan untuk mendorong perkembangan perbankan Syariah di Indonesia. Dengan kewenangan pelaksanaan Syariat Islam yang dimiliki, Aceh dianggap sebagai tempat terbaik mengimplemetasikan cita-cita ekonomi Syariah.
Aceh sebelumnya pada tahun 2016, juga sudah suskes melakukan konversi Bank Aceh. Bank milik pemerintah daerah ini sekarang menjadi contoh dan diikuti pemerintah daerah lainnya melakukan konversi seperti Bank NTB, Bank Nagari dan Bank Riau. Proses konversi bank Aceh juga telah mengeluarkan perangkap 5 persen market share asset perbankan Syariah nasional yang tidak terlewati selama dua puluh tahun. Kalau Qanun LKS berhasil dilaksanakan, aset perbankan Syariah nasional akan terus meningkat melebihi 6 persen.
Pola pikir regresif
Kalau kita membaca kembali keberatan yang disampaikan, di antara argumen yang dikemukakan adalah pertama, tidak ada negara di dunia yang menerapkan single financial system. Aceh menjadi daerah yang aneh karena menerapkan model lembaga keuangan tunggal dalam bentuk Syariah saja. Kedua, peralihan kepada lembaga keuangan Syariah akan mengakibatkan penurunan tingkat pertumbuhan ekonomi, di samping masalah baru peningkatan pengangguran karena akan ada karyawan yang di-PHK, dan ketiga, perbankan Syariah masih baru, belum siap, dan fasilitas masih minim.
Ketiga argument tersebut, sebenarnya bukan masalah yang berat yang akan menganggu perekonomian karena memang sudah dipikirkan langkah penyelesaiannya oleh pengambil kebijakan dan industri lembaga keuangan yang akan berkonversi tersebut.
Saat ini di dunia, hanya Iran dan Sudan yang menggunakan lembaga keuangan Syariah secara penuh tanpa ada konvensional. Aceh menempuh terobosan baru sebagai daerah di level provinsi pertama yang akan menerapkan sistem keuangan tunggal yang patuh Syariah. Memang ada kerisauan di pusat, provinsi lain akan mengikuti jejak Aceh, tetapi ternyata ini tidak menghalangi Otoritas Jasa Keuangan menyetujui Qanun LKS.
Sebelum itu, analisa terhadap dampak kepada perekonomian telah dilakukan. Menggunakan model keuangan tunggal tidak akan menimbulkan masalah pada perekonomian. Ini karena, perbankan Syariah memiliki fasilitas dan kemampuan yang sama dengan perbankan konvensional. Semua produk konvensional yang ada juga ada padanannya pada perbankan Syariah sehingga bisa memenuhi segala kebutuhan pembiayaan masyarakat.
Di samping itu, bank-bank umum Syariah juga memiliki fasilitas digital banking menggunakan mobile banking apps dengan fitur yang canggih yang bisa digunakan untuk transfer online, pembayaran tagihan bahkan untuk berinfak. Bank Syariah Mandiri misalnya dalam dua tahun terakhir sudah memiliki pengguna aktif hampir 2 juta nasabah. Sementara bank Syariah yang masih dalam Unit Usaha Syariah, seperti Maybank Syariah, BCA Syariah, Bank Permata Syariah, dan lain-lain bisa menggunakan fasilitas digital banking yang dimiliki perusahaan induk konvensional dengan biaya yang sama. Selanjutnya, anggapan bahwa Bank syariah mahal, juga tidak beralasan. Ini karena bank Syariah punya banyak produk dan bahkan sebagiannya lebih murah dari konvensional. Sangat disadari bahwa lembaga keuangan saling bersaing, karena itu, perbankan Syariah menghadapi ini dengan cara menurunkan berbagai kos dan meningkatkan efisiensi agar tidak kalah dengan konvensional.
Kekhawatiran para pengusaha bahwa Bank Syariah tidak mampu membiayai pembiayaan besar juga tidak ada dasarnya. Bank-bank Syariah, sudah terlibat aktif membiayai proyek-proyek besar APBN yang jumlahnya triliunan rupiah seperti pembangunan jalan tol, bandara, pelabuhan, dan lain-lain. Di samping itu, sindikasi pembiayaan beberapa bank Syariah dalam sebuah proyek besar juga bisa dilakukan.
Untuk kemampuan modal, dua bank Syariah, yaitu Bank BNI Syariah dan Bank Syariah Mandiri sudah masuk Buku 3 dan sudah menjadi Bank Devisa sehingga nasabah dapat bertransaksi luar negeri untuk fasilitas LC dan valas. Kalau rencana pemerintah Indonesia untuk melakukan merger bank-bank BUMN Syariah pada Februari 2021 terlaksana, tentu akan menjadikan kekuatan Bank Syariah semakin besar.