Opini
Budaya Pop "Hasanah"
Beberapa bulan terakhir terjadi tren cukup menghebohkan di dunia fashion Aceh. Namun, fenomena ini tidak berhubungan dengan fashion
Penanda pertama ialah penggunaan pakaian adat yang sering dihubungkan dengan lingkaran kaum adat aristokrat mulai luntur, namun tidak bobot identitas sosialnya semakin mengental. Sebenarnya Serambi Indonesia telah memulai mendekonstruksi posisi kupiah meuketop ini dengan hadirnya sosok Gam Cantoi, tokoh karikatural rekaan Sampe Edward. Dulu hadirnya sosok jenaka ini selalu menarik perhatian pembaca koran ini. Sayang, dengan meninggalnya Sampe Edward, tokoh Gam Cantoi ini pun ikut terkubur. Kupiah meuketop bisa digunakan siapapun sehingga mendekonstruksi makna elitis dan eksklusifnya menjadi volksgeist : semangat kerakyatan yang bisa digunakan baik oleh pegawai honorer hingga rektor.
Penanda kedua ialah identitas kebudayaan yang dihadirkan melalui narasi atau gambar di beragam media melahirkan sifat "kepengarangan baru" (new authorship) tentang narasi dan nilai kepahlawanan. Di tengah tergilingnya kebanggaan atas politik Aceh, yang nyatanya tidak maju-maju, meskipun dilabeli demokrasi lokal khas Aceh, narasi yang dihasilkan oleh kupiah meukeutop ini luar biasa heroik. Banyak netizen yang melihat saya memakai kopiah ini tertarik bukan saja pada aspek fashionnya, tapi juga sejarah sang pengguna. Orang menyebut-nyebut nama Teuku Panglima Polim, Teuku Umar, Sultan Muhammad Daudsyah ketika menggunakan peci ini.
Penanda terakhir ialah pada aspek religiusitas. Pengguna kopiah ini mampu "mendemokratisasi" kesadaran teologis banyak orang di Aceh tentang selubung keislaman yang cenderung monolitik. Sang pengguna kupiah Aceh ikut membuka ruang narasi teologis yang lebih longgar bahwa simbol Islam itu tak musti harus berjubah atau bergamis, keffiyah, bercelana cingkrang yang serba Arabesque.
Berkupiah meuketop lebih khas islami dan etnografis Aceh dibandingkan orang-orang Aceh yang bergaya Arab. Hal ini sebenarnya sudah dicontohkan oleh Gus Dur yang memakai upia karanji, Soekarno yang memakai kopiah pengrajin asal Gresik, atau blangkon HOS Tjokroaminoto. Tentu apa yang mereka gunakan juga tidak asli Indonesia, tapi ada ruang estetika dan sejarah yang membuatnya menjadi Nusantara.
Boleh dikatakan, kupiah meukeutop ini meskipun disebut bagian dari budaya pop, termasuk budaya pop hasanah. Lebih banyak manfaatnya secara sosial-budaya dan ekonomis dibandingkan mudaratnya.