Kupi Beungoh
“Aceh Carong” Telah Pergi Bersama Irwandi ke Pulau Jawa (Bagian 1)
Ketika Irwandi & Nova ikut kontestasi, dan mengajukan tema besar kampanye “Aceh Carong”, saya berpikir itu tema kampanye orisinal Irwandi yang jenius.
Berita buruknya, menurut manual WHO dan berbagai “buku suci” penanggulangan Covid-19, operasi “gebrak masker” adalah sebuah pekerjaan yang tidak mesti melibatkan ASN tingkat I selama seminggu penuh, apalagi dikomandani oleh Gubernur langsung.
Ada pekerjaan lain yang amat sangat penting yang akan diterangkan setelah beberapa alenia di bawah ini.
Pekerjaan yang memang penting seperti masker dan dakwah syiar buruknya Covid-19 dapat dilakukan oleh berbagai jaringan pemangku kepentingan inti terutama pemerintahan tingkat II.
Selain itu berbagai pemangku kepentingan utama, para ulama, perguruan tinggi, tokoh adat, tokoh-tokoh berpengaruh, keuchik, dan teungku seumubeut juga dapat melakukannya.
LSM, Ormas Pemuda, perkumpulan santri dayah, organisasi perempuan, ketua pemuda gampong dan berbagai elemen masyarakat sipil lainnya siap melakukan hal yang seperti itu jika såja diminta.
Ini sebuah pekerjaan yang sangat besar, yang maaf, mustahil dilakukan sendiri oleh pemerintah daerah.
Potensi besar, kilat, cepat yang selalu siap 24 jam, seperti TNI-Polri dimana Pangdam Iskandar Muda dan Kapolda Aceh telah berkali-kali menyatakan kesiapan juga bisa berkontribusi besar untuk kampanye pembagian masker ini.
Bayangkan saja bila jaringan TNI yang sampai ke Babinsa gampong dikerahkan, bersama dengan kekuatan polisi dan para keusyik bersama aparat desa bekerja penuh untuk sosialisasi Covid-19 dan penggunaan masker.
Hanya dengan daring 2 jam, Gubernur, Panglima, dan jajarannya sampai ke Koramil, Kapolda dan jajarannya sampai ke polsek.
Lalu bupati-wali kota dan Apdesi sampai keusyik.
Langkah ini pasti akan jauh lebih efektif dibandingkan dengan ASN.
Apalagi kalau kedatangan rombongan pejabat dan ASN ini ditolak oleh masyarakat desa, tentu akan plonga-plongo dan salah-salah akan mengurangi immunitas tubuh masyarakat dalam menghadapi Covid-19.
Persoaalan besar yang kita hadapi sekarang adalah, kenapa setelah Covid-19 datang ke Aceh semenjak 6 bulan yang salu sampai hari ini, pemerintah daerah tidak pernah mengajak pemangku kepentingan untuk duduk bersama.
Kenapa konsolidasi kekuatan itu tidak dilakukan?
Kenapa belum sama persepsi tentang definsi “musuh” dan hakekat ancaman Covid-19?
Kenapa belum ada peta jalan yang disepakati bersama tentang strategi menyelamatkan rakyat Aceh?.
Kenapa tidak ada pembagian pekerjaan antar berbagai elemen yang semua sangat siap mengambil peran yang mulia ini, menyelamatkan nyawa manusia Aceh?
Apa yang terjadi ketika operasi gebrak masker dimulai dan ASN datang ke desa dan berpidato tentang Covid-19?
Yang terjadi adalah pengumpulan massa.
Kalau itu terjadi, maka kepala daerah telah mensponsori pengangkangan larangan berkumpul, membuat kerumunan yang jelas bertentangan dengan protokol Covid-19.
Dan kalau juga massa dikumpulkan ini jelas tindakan tidak carong.
Menurut sebuah bocoran, akan ada acara puncak hari H gebrak masker yang mustahil tidak akan ada pengerahan massa.
Jangankan rahmat untuk publik yang berdiam di rumah di tengah ganasnya pandemi, dengan pengerahan massa untuk kampanje masker akan semakin memperbanyak dan mempercepat penularan Covid-19.
Ini artinya pemerintah daerah dapat dipengadilankan oleh para aktivis dan pengiat hak asasi manusia.
Fakta tidak carong berikutnya adalah sepertinya pemeritah daerah tidak mempunyai ahli, apalagi para ahli dalam menangani Covid-19 ini.
Buktinya, sekiranya ada ahli maka setiap tahapan kegaitan preventif dan pengendalian yang dilakukan pasti akan merujuk “tunduk” menuruti “timing” perkembangan pandemi.
Peringatan Presiden Jokowi 4 hari yang lalu tentang pentingnya pelibatan pakar dalam pembuatan kebijakan dan keputusan penanganan Covid-19 jelas terbukti tidak diikuti oleh Gubernur.
Sebab, kalau ada pakar, bukan kegiatan gebrak masker yang akan ditonjolkan, melainkan test, tracing, isolasi, karantina adminstratif dan geografis. (Bersambung)
*) PENULIS Ahmad Humam Hamid adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.