Salam
Kita Apresiasi Pejabat yang Mengaku Covid-19
Harian Serambi Indonesia edisi Minggu kemarin mewartakan bahwa Bupati Simeulue, Erli Hasim MIKom dinyatakan positif Covid-19
Harian Serambi Indonesia edisi Minggu kemarin mewartakan bahwa Bupati Simeulue, Erli Hasim MIKom dinyatakan positif Covid-19 berdasarkan hasil tes polymerase chain reaction (PCR) yang dikeluarkan oleh Laboratorium Penyakit Infeksi Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala.
Pada hari yang sama dikabarkan pula bahwa Bupati Aceh Barat, Ramli MS reaktif Covid-19 berdasarkan hasil rapid test. Kemudian, setelah ditindaklanjuti dengan uji swab, hasilnya positif Covid-19, sebagaimana diberitakan LKBN Antara kemarin sore.Sehari sebelum Bupati Erli Hasim terkonfirmasi positif Covid-19, Wakil Bupati Simeulue, Hj Afridawati sudah duluan positif Covid.
Sebelas hari lalu, tepatnya 10 September 2020, Wakil Bupati Pidie, Fadhlullah TM Daud ST yang mengaku positif Covid-19. Sebelum Wakil Bupati Pidie, duluan Wakil Wali Kota Banda Aceh, Drs Zainal Arifin yang dinyatakan Covid-19.
Jauh sebelumnya Bupati Aceh Singkil, Dulmusrid juga positif Covid- 19. Ia bahkan sudah sembuh setelah melakukan isolasi mandiri 14 hari di Pendopo Bupati Aceh Singkil.
Sudah banyak kepala dan wakil kepala daerah yang terinfeksi virus corona di Aceh.Tapi kita bersyukur karena dalam waktu singkat semua mereka sembuh. Sejauh ini, dari kalangan elite pemerintahan di Aceh hanya Sekda Aceh Besar, Drs Iskandar MM yang tak terselamatkan nyawanya setelah terinfeksi Covid-19.
Nah, apa yang diperlihatkan oleh para bupati/wakil bupati ini berbanding terbalik dengan yang dilakoni pejabat di jajaran Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA). Para pejabat provinsi yang positif Covid-19 rata-rata sangat menutup diri.Informasi sakitnya rata-rata diredam agar tak diketahui bawahannya, apalagi publik.
Kalaupun ada yang mengaku, itu biasanya dilakukan setelah sembuh. Yang berkembang kemudian di kalangan insan pers dan masyarakat adalah sas-sus tentang berapa orang sebetulnya kepala dinas, Asisten Sekda Aceh, dan wakil direktur RSUZA yang terinfeksi Covid? Di mana mereka dirawat atau menjalani isolasi mandiri dan apakah isolasi mandiri mereka diawasi dengan ketat oleh tenaga medis yang ditunjuk?
Bukan apa, kita wajar khawatir karena akibat ketertutupan informasi ini bisa saja banyak orang yang tetap berinteraksi dengannya dan ujung-ujungnya memicu klaster pejabat, seperti terjadi di sejumlah kementerian dan lembaga di Jakarta.
Keterbukaan itu tentu saja perlu mengingat mereka pejabat publik yang digaji dengan uang rakyat. Adalah penting bagi publik apakah mereka sudah sehat. Kapan mereka kembali bertugas untuk melayani publik. Dan sudah bisakah orang lain berdekatan atau berinteraksi kembali dengan mereka.
Seharusnya, berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, informasi-informasi seputar kondisi kesehatan pejabat publik bukanlah informasi yang dikecualikan.
Sebaliknya, Pejabat Pengelola Informasi dan Data (PPID) di badan publik tempat para pejabat yang Covid itu bekerja harus terbuka menyampaikan kondisi terkini tentang para pejabatnya yang positif Covid, karena hal ini tergolong informasi yang serta-merta, bukan informasi yang dikecualikan dari publik. Apalagi Covid bukanlah aib, seperti dikatakan Wakil Bupati Pidie.
Ke depan Dinas Kesehatan Aceh, terutama Jubir Covid-19 Aceh yang selama ini sangat tertutup dengan informasi jika yang positif Covid itu adalah pejabat di lingkungan Pemerintah Aceh, sudah seharusnya mengumumkan siapa saja pejabat yang positif Covid-19.
Dengan publik tahu, publik akan berempati, memberi dukungan, bahkan ikut mendoakan kesembuhannya. Jika terus ditutup-tutupi, sikap ini akan kontraproduktif dengan upaya bersama dalam menahan laju persebaran Covid di Aceh.
Ketertutupan informasi tentang pejabat mana yang positif Covid-19 serta lemahnya sistem komunikasi pemerintah dalam tata kelola Covid-19 di Aceh berujung pada merebaknya infodemik. Ini hal yang sama bahayanya dengan pandemi itu sendiri. Situasi ini bisa menggerus kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.
Jika itu terjadi, maka apa pun yang dikatakan pemerintah rakyat tak lagi percaya.Apa pun yang diserukan pemerintah, sulit bagi rakyat untuk mengikutinya, karena mereka tahu pemerintah menutupi banyak hal dari mereka. Alhasil, Covid yang semula menyebabkan krisis kesehatan, lalu merembet ke krisis tata kelola, dan kini berujung pada krisis kepercayaan.
