Berita Ekonomi
RI Bersiap Resesi, Utang Meroket, Menkeu Sebut Kuartal III Ekonomi Minus 2,9 Persen
Realisasi pertumbuhan utang dalam membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 mencapai Rp 693 triliun per akhir Agustus 2020.
SERAMBINEWS.COM, JAKARTA - Perekonomian Indonesia akan segera memasuki masa resesi.
Diprediksi pada kuartal III perekonomian RI mengalami kontraksi hingga minus 2,9 persen.
Angka tersebut jauh dari perkiraan sebelumnya yakni minus 2,1 persen hingga 0 persen.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut secara keseluruhan, pertumbuhan ekonomi hingga akhir tahun akan berada di kisaran minus 1,7 persen hingga minus 0,6 persen.
Sebelumnya, proyeksi Sri Mulyani berada di kisaran minus 1,1 persen hingga positif 0,2 persen.
"Kementerian Keuangan merevisi forecast untuk September, sebelumnya untuk tahun ini minus 1,1 persen hingga positif 0,2 persen. Forecast terbaru September untuk 2020 di minus 1,7 persen hingga minus 0,6 persen," ujar Sri Mulyani, Selasa (22/9/2020).
• Ekonomi Timor Leste Makin Terpuruk, Organisasi Ini Keluarkan Sumbangan Besar untuk Bumi Lorosae
• Sri Mulyani Pastikan Indonesia Terjun ke Jurang Resesi, Anda Harus Persiapkan Ini dari Sekarang
Dengan revisi proyeksi pertumbuhan ekonomi yang cenderung negatif di akhir tahun, Sri Mulyani mengatakan pada kuartal III dan IV maka pertumbuhan ekonomi juga bakal negatif.
Sebelumnya, Sri Mulyani selalu optimistis pada kuartal IV perekonomian masih bisa tumbuh positif. Meski, pemerintah masih mengupayakan pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV mendatang bisa mendekati 0.
"Ini artinya negatif teritori kemungkinan akan terjadi pada kuartal III dan juga masih akan berlangsung kuartal IV, yang kita upayakan untuk bisa dekati 0 atau positif," kata dia.
Bendahara Negara merinci berdasarkan komponen pendorong pertumbuhan ekonomi, untuk konsumsi rumah tangga diperkirakan masih akan negatif di kuartal III yaitu minus 3,0 persen hingga minus 1,5 persen. Sebelumnya di kuartal II, konsumsi juga minus 5,6 persen.
Hanya komponen konsumsi pemerintah yang diperkirakan masih positif 9,8 persen hingga 17 persen di kuartal III. Sebelumnya di kuartal II, konsumsi pemerintah minus 6,9 persen.
Investasi diperkirakan minus 8,5 persen hingga minus 6,6 persen di kuartal III. Begitu juga dengan ekspor yang diperkirakan minus 13,9 persen hingga minus 8,7 persen. Impor juga diperkirakan minus 26,8 persen hingga minus 16 persen.
Utang Meroket
Menkeu juga mencatatkan realisasi pertumbuhan utang dalam membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 mencapai Rp 693 triliun per akhir Agustus 2020. Angka itu naik 143,3 persen dari periode yang sama tahun lalu yang sebesar Rp 285,1 triliun. Sri Mulyani menuturkan realisasi pembiayaan utang pada akhir Agustus 2020 setara dengan 56,8 persen dari target revisi pembiayaan utang pemerintah yang mencapai Rp1.220,5 triliun pada APBN 2020.
"Beban APBN luar biasa berat dan ini terlihat dari sisi pembiayaan," ujar Menkeu.
Sri menjabarkan utang untuk membiayai APBN tersebut terdiri dari penerbitan surat berharga negara (SBN) sudah mencapai Rp 671,6 triliun guna membiayai APBN tahun ini. "Pembiayaan dengan defisit yang tadi mencapai Rp 500 triliun, pemerintah sudah menerbitkan SBN secara neto sebesar Rp 671,6 triliun," ujarnya.
Selain itu, Sri Mulyani menjelaskan, pemerintah juga mengambil pinjaman sebesar Rp 22 triliun, sehingga total utang pembiayaan APBN Rp 693,6 triliun.
• Aceh Bisa Ikut Terimbas Resesi
• Hari Ini, Korea Selatan Resmi Alami Resesi Akibat Covid-19, Pertama Kalinya dalam 17 Tahun Terakhir
• Amerika Serikat Alami Resesi, Terburuk Sepanjang Sejarah Ekonomi AS
" Juga menarik pinjaman neto sebesar Rp 22 triliun, sehingga pembiayaan utang kita sudah mencapai Rp 693,6 triliun dari yang akan diperkirakan mencapai Rp 1.220 triliun," katanya.
Eks direktur pelaksana Bank Dunia itu menambahkan, realisasi pembiayaan utang tersebut cukup besar yakni melesat 131 persen.
"Ini kenaikan yang luar biasa untuk SBN kita yaitu 131 persen dibandingkan tahun lalu yang hanya Rp 290,7 triliun. APBN kita luar biasa berat dan ini terlihat dari sisi pembiayaannya," pungkas Sri Mulyani.
Pendapatan Kontraksi
Realisasi pendapatan negara dan hibah sampai akhir bulan Agustus 2020 tercatat telah mencapai Rp 1.034,14 triliun atau 60,83 persen dari target.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, pertumbuhan pendapatan negara mengalami kontraksi sebesar negatif 13,11 persen dibanding periode sama tahun lalu (year on year/yoy).
"Secara detil, realisasi pendapatan negara yang bersumber dari penerimaan perpajakan mencapai Rp 798,1 triliun dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) mencapai Rp 232,07 triliun. Sementara, realisasi hibah mencapai Rp 3,97 triliun," ujarnya.
Adapun pertumbuhan pendapatan negara yang bersumber dari penerimaan perpajakan dan PNBP juga mengalami kontraksi berturut-turut sebesar negatif 13,39 persen dan negatif 13,48 persen yoy.
Komponen pendapatan negara dari perpajakan dan PNBP masing-masing capaian realisasinya terhadap APBN Perpres Nomot 72 Tahun 2020 tercatat mencapai 56,82 persen dan 78,90 persen.
Secara lebih detil, realisasi penerimaan perpajakan yang berasal dari penerimaan pajak telah mencapai 56,47 persen terhadap target.
• Banyak Negara di Dunia Mengalami Resesi, Ekonomi Korea Utara Malah Tumbuh Positif
"Hampir seluruh jenis pajak utama mengalami kontraksi pada Januari hingga Agustus 2020.
Disebabkan oleh perlambatan kegiatan ekonomi akibat Covid-19 dan pemanfaatan insentif fiskal dalam rangka pemulihan ekonomi nasional, kecuali PPh OP yang masih tumbuh tipis sebesar 2,46 persen yoy," kata Sri Mulyani.
Sementara itu, realisasi penerimaan perpajakan dari kepabeanan dan cukai telah mencapai 58,91 persen terhadap target atau tumbuh melambat sebesar 1,83 persen yoy.
"Penerimaan cukai didorong HT yang tumbuh 4,93 persen yoy akibat limpahan penerimaan tahun sebelumnya (efek PMK-57).
Sementara, penerimaan bea masuk (BM) dan bea keluar (BK) tertekan masing-masing minus 9,55 persen dan minus 6,94 persen yoy, terdampak pelemahan perdagangan internasional maupun aktivitas ekonomi nasional," kata Sri Mulyani.
Terakhir, dia menambahkan, realisasi PNBP sampai dengan akhir Agustus 2020 mencapai Rp 232,07 triliun atau 78,9 persen terhadap target atau lebih rendah 13,5 persen yoy.
"Namun realisasi PNBP dari pendapatan BLU sampai dengan akhir Agustus 2020 masih mencatat pertumbuhan positif sebesar 36,5 persen yoy, terutama berasal dari pendapatan dana perkebunan kelapa sawit dan peningkatan pendapatan pengelolaan dana pengembangan pendidikan nasional," pungkasnya.
Bank Indonesia (BI) menyatakan, perekonomian global dan domestik secara bertahap mulai membaik dengan stabilitas makroekonomi Indonesia tetap terjaga.
Kepala Departemen Komunikasi BI Onny Widjanarko mengatakan, perekonomian global secara bertahap mulai membaik, terutama didorong oleh perbaikan pertumbuhan ekonomi di China dan Amerika Serikat (AS).
"Sementara, kinerja perekonomian Eropa, Jepang, dan India belum kuat," ujarnya.
Kemudian, Onny menjelaskan, sejumlah indikator dini pada Agustus 2020 sebelumnya mengindikasikan prospek positif pemulihan ekonomi global.
Di antaranya meningkatnya mobilitas, berlanjutnya ekspansi PMI manufaktur dan jasa di AS dan Tiongkok, serta naiknya beberapa indikator konsumsi.
Disisi lain, ketidakpastian pasar keuangan global masih tinggi dipengaruhi oleh isu geopolitik China dan AS, China dan India, dan di Inggris.
Adapun, dia menyampaikan, erekonomian domestik secara perlahan juga membaik, meskipun masih terbatas sejalan mobilitas masyarakat yang melandai pada Agustus 2020.
Prospek berlanjutnya pemulihan ekonomi domestik banyak dipengaruhi perkembangan mobilitas masyarakat sejalan dengan penerapan protokol Covid-19 di sejumlah daerah.
Lalu, juga adanya percepatan realisasi anggaran pemerintah pusat dan pemerintah daerah, kemajuan restrukturisasi dan penjaminan kredit, serta akselerasi ekonomi dan keuangan digital khususnya untuk pemberdayaan UMKM.
Ketahanan perekonomian Indonesia tetap baik tercermin dari neraca perdagangan yang tetap mencatat surplus, peningkatan cadangan devisa, nilai tukar rupiah relatif terkendali di tengah tingginya tekanan pada Agustus hingga September 2020. Selain itu, Onny menambahkan, laju inflasi juga tetap rendah sejalan dengan permintaan yang belum kuat dan pasokan yang memadai.
"Kondisi likuiditas lebih dari cukup, sehingga terus mendorong penurunan suku bunga dan kondusif bagi pembiayaan perekonomian. Stabilitas sistem keuangan tetap terjaga, meskipun risiko dari dampak meluasnya penyebaran Covid-19 terhadap stabilitas sistem keuangan terus dicermati," pungkasnya.(Tribun Network/van/wly)