Kupi Beungoh

Virus Mental, Virus Biologi, dan Nasib Rakyat (II)

Karakter Trump di AS, Boris Jhonson di Inggris, dan Bolsanero di Brazil memberikan penjelasan kenapa negara mereka gagal dalam menangani pandemi

Editor: Zaenal
KOLASE SERAMBINEWS.COM
Ahmad Human Hamid, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

Oleh: Ahmad Human Hamid*)

BETAPA pun buruknya, dalam setiap kejadian apapun, sikap mental pemimpin selalu menjadi tolok ukur dalam keberhasilan dan kegagalan.

Karakter Trump di AS, Boris Jhonson di Inggris, dan Bolsanero di Brazil memberikan penjelasan banyak kenapa negara mereka gagal dalam menangani pandemi.

Cara berpikir mereka yang menganggap enteng virus dan pengetahuan, menomorsatukan ekonomi dari biologi, dan menyebarkan informasi palsu dan bohong membuat rakyatnya sangat menderita.

Perilaku mereka dalam perkembangannya menjadi benih awal virus yang kemudian menyebar, menular, menginfeksi, dan kemudian menggandakan dirinya menjadi virus berbahaya.

Sama seperti virus biologi dan virus digital, virus mental pemimpin itu kemudian mengagandakan dirinya secara cepat kepada politisi, birokrasi, tokoh masyarakat, bahkan sebagian ilmuwan.

Tidak hanya itu, virus mental pemimpin yang rusak itu kemudian mempengaruhi pikiran masyarakat, sehingga apapun langkah pengendalian yang dipercayai ampuh dan dilakukan oleh sekelompok orang baik,menjadi tak berarti.

Virus Mental, Virus Biologi, dan Nasib Rakyat (I)

Reproduksi Virus Mental dan Indikator

Virus mental itu telah berbiak dengan sangat cepat, mereproduksikan diri sendiri, dan berkembang dalam sebuah ekosistem yang bahkan telah berobah menguasai menjadi sebuah sistem besar masyarakat.

Birokrat yang mempunyai pengetahuan yang benar tidak berani mengajukan kebenaran, politisi yang plin-plan menjadi takut untuk bersikap.

Tidak berhenti pada tataran struktural kekuasaan, virus mental pemimpin membuat tokoh masyarakat menjadi terbelah, dan para pencari untung tak pernah silap menumpangkan dirinya pada virus mental pemimpin yang buruk itu.

Itu semua terjadi pada tataran global, itu terjadi pada taturan nasional, dan itu juga terjadi pada tataran lokal, seperti kita di Aceh ini.

Apakah itu mungkin terjadi di Aceh?

Jawabannya bukan mungkin, tetapi sedang dan telah terjadi.

Apa buktinya?

Publik masih ingat Covid-19 telah berjalan lebih dari 7 bulan di Aceh, kasusnya terus naik, awalnya lambat, kemudian agak cepat, dan kini semakin cepat.

Aceh butuh waktu 111 hari untuk mencapai angka 100 pertama kasus positif.

Hari ini Aceh hanya butuh waktu 9 hari untuk mencapai angka 1000 kasus ke lima.

Dapat diasumsikan, kalau tidak ada upaya yang sungguh-sunguh, Aceh sedang menuju kasus 1.000 positif per hari di bulan-bulan mendatang.

Fakta tentang ledak biak Covid-19 di Aceh tidak berhenti di tingkat penularan saja.

Kajian indikator Covid-19  Aceh yang dibuat oleh Prasetyo dan Mulyadi (2020) pada tanggal 7 Oktober menemukan 3 hal penting yang menunjukkan keparahan pandemi sudah melewati titik normal yang serius.

Rasio Lacak dan Isolasi adalah 0,6, yang berarti tingkat tracing Aceh di bawah angka satu.

Artinya, praktis setiap satu kasus positif, tingkat pelacakannya yang seharusnya menurut standar WHO adalah 20-30 orang, di Aceh nilainya kurang dari 1 orang.

Ini juga berarti mustahil berharap ada upaya isolasi atau karantina yang serius.

Indikator kesembuhan juga menunjukkan di bawah angka normal standar WHO.

Kepala Dinas Kesehatan dan Dua Asisten Setdakab Bener Meriah Terkonfirmasi Positif Covid-19

Aceh hanya 60 persen sembuh dari kasus positif, padahal standar WHO adalah 73,9 persen.

Indikator fatalitas atau indikator kematian 4 persen juga berada diatas angka WHO 3 persen.

Artinya adalah setiap 100 kasus positif maka tingkat kematian di Aceh adalah 4 korban.

Indikator lain yang tersedia dari gugus tugas Covid-19 Aceh dan dari Laboratorium Covid-19 Universitas Syiah Kuala adalah positivity rate, yakni jumlah kasus positif dibagikan dengan jumlah total pemeriksaan pada satu waktu tertentu per minggu.

Angka yang dikemukakan oleh kedua lembaga itu berkisar di sekitar 30 persen, yang berarti setiap 100 orang yang diperiksa, maka 30 orang adalah positif.

Yang paling mengenaskan adalah indikator kematian tenaga kesehatan dibandingkan dengan jumlah kasus positif.

Aceh sampai kemarin telah menderita 8 tenaga kesehatan, 6 dokter dan 2 perawat meninggal dalam tugas memberi pelayanan kepada pasien Covid-19.

Jika angka ini dibandingkan dengan jumlah kasus positif dan dikonversikan kepada angka per 100.000 kasus maka angkanya adalah 141.

Artinya, jika tidak ada upaya pengendalian yang serius dan perlindungan ketat terhadap para tenaga kesehatan seluruh Aceh, jika angka 100.000 kasus positif Aceh tercapai, peluang korban pekerja kesehatan Aceh adalah 141 orang.

Angka ini mengantarkan Aceh menjadi salah satu juara global korban tenaga kesehatan, menggeser Indonesia, pada posisi dunia.

Pakar Psikologi Ini Ungkap Kunci Kesembuhan Pasien Covid-19, Ternyata Simpel dan Mudah Dilakukan

Donald Trump: Saya Kebal Covid-19

Laporan Amensty Internasonal pada pertengahan September 2020, menunjukkan 4 negara tertinggi kematian tenaga kesehatan per 100.000 kasus positif adalah  Mexico (234), Inggris (219), Mesir (166), dan Indonesia (94).

Angka Aceh yang berada pada 141 jelas menggeser angka nasional dan sekaligus merapat ketat kepada angka korban tenaga kesehatan Mesir.  

Jika Anda Mengidap Penyakit Asam Urat, Jangan Coba-coba Konsumsi 12 Makanan & Minuman Ini

Covid-19 dan Mental Bencana Alam Biasa

Kecepatan pertumbuhan angka penyebaran yang semakin cepat yang terpantau dengan indikator yang bartuk nampaknya tidak ditanggapi secara cepat juga oleh pemerintah daerah, baik di tingkat kabupaten kota maupun propinsi.  Kecuali untuk sejumlah kecil  kepala daerah tingkat II yang sangat terbatas, hampir semua pemda di Aceh pada dua tingkatan ini belum menunjukkan suatu sikap kedaruratan, sikap publik dalam bahaya, dan sikap darurat. 

Ada kesan yang tertangkap, pandemi ini dianggap tak lebih seperti penanganan bencana alam banjir atau bencana demam berdarah biasa yang pada akhirnya akan selesai sendiri.

Ini terbukti dengan ungkapan optimisme salah seorang kepala daerah tingkat II baru baru ini yang dengan gagah berani menyebutkan status daerahnya akan kembali ke status warna hijau.  

Alasannya hanya satu, pada beberapa hari terakhir laporan kasus positif di wilayah adminstratifnya menurun, dan itu membuat dia optimis bahwa daerahnya akan segera hijau.

Padahal, yang terjadi pemerintah dibawah kewenanganya sampai hari ini sama sekali belum melakukan test yang agresif, tracing yang intensif, yang kemudian diikuti dengan isolasi mandiri, ataupun karantina terstruktur oleh pemerintah. 

Statemen itu adalah sampel yang sangat khusus dan bukan kasus, karena bagi pemerintah daerah lainnya di Aceh walaupun tidak berujar seperti itu, namun tindakannya juga mencerminkan apa yang diucapkan oleh sejawatnya.

Praktis di seluruh Aceh hari ini, imbauan Presiden Jokowi untuk test dan tracing tidak dilakukan secara sungguh-sungguh.

Test tidak lebih hanya sebuah kegiatan menunggu di rumah sakit, dan tentunya hanya ditujukan kepada yang datang dengan gejala.

Jika gejala tidak ada, kadang-kadang bahkan tidak dilayani.(Bersambung)

*) PENULIS adalah Sosiolog, Guru Besar Universitas Syiah Kuala

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved