Viral Medsos
Kisah Yaidah yang Sulit Urus Akta Kematian Anaknya, Ngadu ke Jakarta Hingga Kemendagri Angkat Bicara
Yaidah memerlukan akta itu untuk mengurus asuransi sang anak dan di beri waktu selama 60 hari, jika tidak ada surat kematian maka asuransi akan hangus
Penulis: Agus Ramadhan | Editor: Safriadi Syahbuddin
SERAMBINEWS.COM – Kisah pilu seorang Ibu bernama Yaidah, asal Kota Surabaya yang sulit mengurus akta kematian anaknya hingga harus mengadu ke Jakarta.
Yaidah (51), dari Desa Lembah Harapan, Lidah Wetan, Surabaya, Jawa Timur, merasa dipersulit untuk mengurus akta kematian anaknya di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil kota Surabaya.
Bahkan, wanita ini sampai harus ke Jakarta hanya untuk mengurus akta tersebut untuk keperluan asransi yang tinggal beberapa hari lagi.
Yaidah menceritakan, setelah anaknya meninggal pada Juli 2020, dia mencoba untuk mengurus akta kematian anaknya ke kelurahan pada awal Agustus.
Namun, sebulan berlalu tak ada kabar dari kelurahan.
Yaidah memerlukan akta itu untuk mengurus asuransi sang anak dan di beri waktu selama 60 hari, jika tidak ada surat kematian maka asuransi itu akan hangus.
Karena belum mendapat kepastian, pada 21 September 2020, Yaidah mencoba untuk langsung bertanya ke Mall pelayanan publik Dispendukcapil Kota Surabaya di Gedung Siola.
Saat berada di dispendukcapil, ia pun mengaku dipersulit oleh petugas.
Yaidah disuruh balik ke kelurahan dan naik turun dari lantai satu ke lantai tiga.
Dia pun merasa mendapat perlakuan kurang baik saat di Dispendukcapil Surabaya.
“Setelah dilihat berkas saya, dia langsung ngomong, 'Bu, sekarang ndak melayani tatap muka, ibu harus kembali ke kelurahan',"
Saya marah-marah, ini berkas sudah berminggu-minggu di kelurahan,” ungkap Yaidah dikutip dari Kompas TV, Kamis (29/10/2020).
Baca juga: Viral Pria Rusak Sepeda Motor dengan Batu, Ternyata Milik Orang, Kapolres: Tidak Bawa SIM dan STNK
Baca juga: Viral Istri Malu-malu Salaman dengan Suami Seusai Menikah, Sempat Seperti Salaman dengan Teman
Saat berada di Dispendukcapil, ia mengaku sempat dioper-oper oleh petugas, hingga pada akhirnya ia mendapatkan nomor akta kematian anaknya.
Masalah tak lantas berhenti sampai di situ.
Yaidah kemudian diberi tahu oleh petugas bahwa surat kematian anaknya tak bisa diakses karena nama anaknya memiliki tanda petik.
Petugas itu menyebut bahwa kesalahan nama tersebut harus menunggu konsul dari Kemendagri.
"Saya tanya berapa lama. Dia bilang dikirim bulan Juli aja belum jadi apalagi barusan, bingung saya," ujar Yaidah.
Akhirnya setelah berdiskusi dengan keluarga, Yaidah berangkat seorang diri menuju ke Kementerian Dalam Negeri di Jakarta Pusat.
Ia berangkat pada 22 September 2020, dengan menggunakan transportasi kereta api.
Ternyata, pengurusan bukan di Kemendagri pusat, tapi di Direktorat Kependudukan dan Pencatatan Sipil di Jakarta Selatan.
Yaidah pun bergegas menuju ke Dirjendukcapil Jaksel untuk memberitahukan tujuan kedatangannya.
Petugas menjelaskan kepada Yaidah bahwa pengurusan akta kematian dilakukan di wilayah masing-masing.
Baca juga: Kabar Gembira, Disdukcapil Aceh Tengah Tetap Layani Masyarakat di Hari Libur
Baca juga: Kadisdukcapil Langsa Minta Warga jangan Percaya Calo Urus e-KTP dan Data Kependudukan
Namun, petugas tetap mencoba membantu dengan menghubungi petugas di Surabaya dan memastikan terkait akta kematian anaknya.
“Akta kematian ini diterbitkan di wilayah masing-masing. Langsung ditelepon Pak Erlangga (dispenduk Surabaya). 'Pak, ini kok ada warga bapak yang urus akta kematian ke Jakarta?” ungkap Yaidah menirukan suara petugas.
Setelah dibantu oleh petugas tersebut, barulah surat kematian anaknya bisa langsung diterbikan pada hari itu juga.
Pemkot Surabaya Minta Maaf
Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Kadispendukcapil) Kota Surabaya, Agus Imam Sonhaji, bersama jajarannya menyambangi kediaman Yaidah.
"Kemarin kami sudah bersilaturahim ke rumah Bu Yaidah. Kami sudah meminta maaf atas nama Pemkot Surabaya dan mengganti uang transportasi saat beliau ke Jakarta," kata Imam saat dikonfirmasi Kompas.com, Rabu (28/10/2020).
Kemendagri Angkat Bicara: Sanksi Belaku
Dirjen Dukcapil Kemendagrai, Zudan Arif Fakrulloh mengaku bersedih hati dengan kesulitan yang dialami Ibu Yaidah.
Lantaran miskomunikasi dan salah pemahaman membuat Yaidah sampai harus berangkat ke kantor Kemendagri di Jakarta.
"Saya berduka karena ada masyarakat yang dipimpong dan misinformasi sehingga si ibu mengurus hingga Jakarta,” katanya dalam pernyataan, yang diterima serambinews.com, Kamis (29/10/2020).
“Terkesan birokrasi buruk sekali. Dukcapil sedang dihukum masyarakat. Gara-gara satu kasus saja, 514 Dinas Dukcapil Kab/Kota terkena dampaknya," sambung Zudan.
Zudan menegaskan, kasus Yaidah sudah selesai pada 23 September 2020.
"Beritanya baru digoreng sekarang. Hal seperti ini berawal dari mis informasi dan handling yang tidak tepat," kata Dirjen Dukcapil.

Maka ia mengingatkan bahwa Dukcapil harus selalu berbenah.
"Mengurus akta kematian cukup di kelurahan. Bila tidak selesai, pihak kelurahan mesti proaktif. Jangan dibiarkan masyarakat bergerak sendiri," ujarnya.
Sementara kepada masyarakat, Zudan menyarankan, agar bertanya atau berkonsultasi dulu lewat layanan Whatsapp atau konsultasikan langsung ke Dinas Dukcapil terdekat.
Sebagai penanggung jawab akhir layanan Adminduk, Zudan langsung mengambil alih tanggung jawab dan tidak menyalahkan siapa pun.
Baca juga: Kini Cetak KK dan Akta Kelahiran tidak Perlu lagi ke Disdukcapil, Cukup Print di ADM
Baca juga: Ditjen Dukcapil Kemendagri Terus Upayakan Integrasi Pelayanan Publik Berbasis NIK
"Fenomena yang tidak boleh terjadi lagi. Petugas Dukcapil dari atas sampai bawah harus aware dan care. Para Kadis Dukcapil yang lebih tinggi saya minta turun sampai ke level terendah," pintanya.
Bila ada petugas Dukcapil yang sengaja memperlambat layanan dokumen kependudukan bakal kena sanksi.
Berdasarkan Pasal 92 UU No. 23 Tahun 2006 yang mengatur layanan Adminduk, sanksi yang diberikan yaitu berupa denda paling banyak Rp.10 juta.
Namun, Zudan mengatakan bahwa, sanksi terberat bagi aparatur Dukcapil bukan sanksi yang dijatuhkan oleh negara.
"Sanksi terberat bagi institusi itu justru dari masyarakat," ujarnya. (Serambinews.com/Agus Ramadhan)
Baca juga: Lapas Tolak Tahanan Polisi & Jaksa Selama Pandemi Covid-19, Hanya Terima Tahanan Hakim, Mengapa?
Baca juga: PM Pakistan Serukan Pemimpin Muslim Lawan Islamofobia, Prancis Bersikukuh Atas Hak Ejek Agama Islam
Baca juga: Pucok Krueng, Destinasi Wisata di Aceh Besar Tempat Pemandian Para Raja