Luar Negeri

Israel Buka Pariwisata di Yerusalem, Palestina Tercabik-cabik, Disebut Penghalang Utama Perdamaian

 Para pemimpin Palestina dengan tajam menolak keputusan baru-baru ini oleh UEA, Bahrain dan Sudan untuk menjalin hubungan dengan Israel.

Editor: Faisal Zamzami
AP/Mahmoud Illean
Seorang wanita Muslim mengambil foto selfie di samping Masjid Kubah Batu di kompleks Masjid Al Aqsa, Haram Asy-Syarif di kota tua Yerusalem, Jumat, 6 November 2020. (AP/Mahmoud Illean) 

Lebih dari belasan pemilik toko Palestina di Kota Tua Yerusalem, yang sebagian besar ditutup karena virus corona, menolak mengomentari potensi pariwisata Teluk, dengan mengatakan bahwa hal itu terlalu sensitif secara politik.

Selain itu, ada juga kekhawatiran bahwa dorongan Israel untuk mempromosikan pariwisata di kompleks Haram Asy-Syarif akan meningkatkan ketegangan.

Kompleks Haram Asy-Syarif dengan masjid Al Aqsa dan masjid Kubah Batu yang ikonik adalah bangunan suci dalam agama Islam. 

Namun, bangunan Kubah Batu juga menjadi tempat suci bagi umat Yahudi yang menyebutnya sebagai Dome of The Rock dan kompleksnya disebut Temple Mount (atau Palestina menyebutnya juga dengan Haram Asy-Syarif).

Baca juga: Israel Tembakkan Bom ke Gaza Timur Palestina

Baca juga: Ribuan Warga Palestina Hadiri Pemakaman Negosiator Ulung Saeb Erekat

Palestina: UEA Tidak Berhak Ikut Campur Urusan Masjid Al Aqsa

Pejabat Palestina mengatakan Uni emirat Arab ( UEA) tidak memiliki hak untuk ikut campur dalam urusan Masjid Al Aqsa.

Hal itu diungkapkan oleh Ajudan Presiden Palestina Mahmoud Abbas, Nabeel Shaath, pada Senin (14/9/2020) sebagaimana dilaporkan Arabi21.

Pernyataan itu datang ketika ada bocoran bahwa UEA memberikan izin kepada orang Yahudi untuk melakukan ritual mereka di dalam Masjid Al Aqsa dan mengizinkan Israel untuk membagi situs suci umat Islam tersebut.

Dilansir dari Middle East Monitor, Selasa (15/9/2020), Shaath menekankan bahwa UEA tidak berhak berbicara mengenai urusan Masjid Al Aqsa.

"UEA berusaha untuk menenangkan Amerika Serikat ( AS), bukan sebagai imbalan atas tanah yang diduduki seperti yang terjadi di Sinai atau Dataran Tinggi Golan," kata Shaath dalam sesi wawancara dengan Arabi21.

Sebagai negara merdeka, dia menambahkan UEA tidak memiliki hak untuk melanggar hak-hak rakyat Palestina, Beirut, atau hukum internasional.

Shaath juga menekankan bahwa UEA tidak memiliki hak untuk menafsirkan hukum internasional sesuai dengan keinginannya.

"Ini benar-benar tidak bisa diterima,” tegas Saath.

Pada 13 Agustus, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan kesepakatan normalisasi hubungan antara UEA dan Israel yang ditengahi oleh Washington.

Para pakar mengatakan pernyataan yang terkandung dalam kesepakatan tersebut dapat mengarah pada pembagian kompleks Al Aqsa sebagaimana dilaporkan Al Jazeera.

Sumber: Kompas.com
Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved