Opini

Menjadi Guru yang Profesional

Setiap tanggal 25 November, Indonesia akan memperingati Hari Guru Nasional (HGN). Moment ini merupakan bentuk penghargaan terhadap sosok seorang guru

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Menjadi Guru yang Profesional
IST
Muhadi Khalidi, M.Ag., Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Islam UIN Ar-RAniry, Anggota Komunitas Menulis Pematik Chapter Aceh Tenggara

Oleh Muhadi Khalidi, M.Ag., Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Islam UIN Ar-RAniry, Anggota Komunitas Menulis Pematik Chapter Aceh Tenggara.

Setiap tanggal 25 November, Indonesia akan memperingati Hari Guru Nasional (HGN). Moment ini merupakan bentuk penghargaan terhadap sosok seorang guru di tanah air. Guru merupakan agen transport ilmu bagi murid-muridnya, selain itu guru juga berperan penting dalam pembentukan karakter peserta didik.

Oleh karenanya profesionalitas seorang guru dalam mengajar baik dalam kelas maupun di luar kelas, terlebih pada masa pandemi saat ini, patutlah diapresiasi. Meskipun ia dikenal sebagai `pahlawan tanpa tanda jasa', namun bukan berarti segala dedikasinya dianggap sebelah mata. Guru adalah pelita bangsa, mencerdaskan masyarakat sehingga suatu negeri lebih bermoral dan berperadaban.

Berbicara profesionalitas guru, setidaknya ada tiga hal yang harus diperhatikan. Pertama, guru harus memiliki ahklak dan kepribadian yang baik. Sebab, guru merupakan orangtua siswa ketika berada di lingkungan sekolah atau suatu lembaga pendidikan.

Secara otomatis, guru harus bisa menjaga sikap dan etika bagi murid-muridnya. Dalam Islam sendiri Rasulullah Saw diutus ke dunia, dengan misi utama untuk memperbaiki akhlak manusia. Sebagaimana dalam hadisnya; "Sesungguhnya aku diutus ke muka bumi untuk menyempurnakan akhlak manusia." (HR. Bukhari).

Guru adalah model berfikir dan model bersikap para siswanya. Meskipun watak dan karakter guru saat mengajar tidak dimaksudkan menjadi bagian dari bahan ajar, siswa tetap akan menyerap itu secara bertahap.

Sebagai contoh, jika seorang guru berkomunikasi dengan bahasa yang buruk serta berperilaku kasar, maka itu akan menjadi kebiasaan dan diikuti oleh peserta didik. Siswa akan menganggap bahwa apa yang dilakukan guru adalah sebuah kebenaran, dan itu akan menjadi mind frame siswa yang sulit untuk diubah kembali.

Kedua, guru professional adalah mereka yang mengusai ilmu sesuai dengan keahliannya. Tentu saja ini menjadi poin penting bagi seorang guru, agar ilmu yang disampaikan tepat dan tidak salah dalam penyampaian. Oleh karenanya, dalam hadis Nabi bersabda; "Sesungguhnya Allah Swt mencintai seseorang yang apabila bekerja, mengerjakannya secara professional." (HR. Tabrani).

Maka jangan heran, jika saat ini, suatu instansi tertentu melakukan perekrutan tenaga pendidik sesuai dengan ijazah dan keterampilan yang dibutuhkan. Tujuannya hanya satu, agar seorang guru benar-benar layak dan menguasai bidang yang dimaksud.

Ketiga, guru harus memiliki kapasitas dalam mentrasfer ilmu terhadap peserta didik. Dalam arti, ilmu yang ia sampaikan dapat dipahami dan dicerna dengan baik oleh murid-murid yang dia ajarkan. Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya aku telah diutus oleh Allah Swt sebagai seorang pengajar."(HR. Ibnu Majah).

Pada hadis yang lain; "Sungguh Allah Swt, para Malaikat-Nya, serta semua penghuni langit dan bumi termasuk semut dalam lubangnya dan ikan-ikan, sungguh semuanya mendoakan kebaikan bagi orang-orang yang mengajari manusia." (HR. Tirmidzi).

Dari hadits di atas, dapat kita pahami bahwa pengajar adalah sosok yang mulia. Setiap pengajar akan mendapat keberkahan dari Allah Swt serta mendapat doa dari berbagai mahkluk-Nya.

Selain tiga poin di atas, menjadi guru profesional tidak lengkap jika tidak diiringi dengan dukungan oleh wali murid atau orangtua siswa di rumah. Dalam hal ini, orangtua diharapkan selalu aktif dalam melihat dan mengontrol perkembangan anaknya. Jika orangtua di sekolah adalah guru, maka guru di rumah adalah orangtua.

Keduanya memainkan peran vital guna mencetak pribadi anak yang berahklakul kharimah. Selain itu, model kedisiplinan, etika, moral dan wawasan anak sangat dipengaruhi oleh dedikasi orangtua.

Dalam beberapa kasus, ketika oknum orang tua mengalami broken home misalnya, secara umum kondisi mental anak akan terganggu. Dalam kondisi seperti ini anak tersebut bisa melakukan tindakan-tindakan yang negatif, seperti hilangnya moral, etika, dan lain sebagainya. Semua itu adalah manifestasi dari batinnya yang meronta (tidak siap) atas perceraian orangtua.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved