Kilas Balik Tsunami Aceh 2004

16 Tahun Berlalu, Ini Data dan Fakta Dahsyatnya Gempa dan Tsunami Aceh Tahun 2004

Ratusan ribu jiwa melayang, jutaan rumah serta bangunan perkantoran hancur akibat gempa dan hempasan gelombang tsunami Aceh 26 Desember 2004.

Penulis: Yeni Hardika | Editor: Safriadi Syahbuddin
SERAMBINEWS.COM/M ANSHAR
Satu-satunya rumah yang tersisa di Desa Lambung, Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh setelah tsunami 26 Desember 2004 itu. Jelang dewasa, kawasan ini adalah rumah keduaku. Terlalu banyak kenangan di sini. Tempat belajar, bermain, tertawa, dan ...I Love You, Lambung. Foto ini saya rekam, Rabu (14 hari setelah tsunami) Pukul 16:58 Wib, dari depan lorong Merpati itu. 

Dikutip dari Kompas.com yang melansir data Bank Dunia, jumlah korban akibat tsunami Aceh mencapai 167.000 orang, baik itu yang meninggal dunia maupun hilang.

Selain itu, tak kurang dari 500.000 orang kehilangan tempat tinggal.

Jumlah korban jiwa itu belum termasuk korban tsunami di wilayah lain.

Seperti diketahui, tsunami yang terjadi di Aceh diakibatkan gempa dangkal di laut bermagnitudo 9,0, yang jaraknya sekitar 149 kilometer dari Meulaboh.

Secara keseluruhan ada 14 negara yang terkena dampak tsunami dengan jumlah korban mencapai 230.000 jiwa.

6. Kerugian meteril hingga triliunan

Pemerintah saat itu menaksir kerugian akibat tsunami mencapai puluhan triliun.

Hal itu lantaran porak-porandanya ratusan ribu rumah serta fasilitas umum dan sosial masyarakat.

Berdasarkan data yang pernah dikutip Serambinews.com dari Buku Tsunami dan Kisah Mereka, diterbitkan oleh Badan Arsip dan Perpustakaan Provinsi Aceh, menurut cacatan lembaga United Nation Informasion Center, kerugian terbesar akibat impasan gelombang tsunami adalah di sektor perikanan.

Di sejumlah negara yang terkena tsunami, kerugiannya mencapai US$500 juta (kira-kira 4,6 triliun rupiah).

Angka itu termasuk sebanyak 111 ribu kapal hancur atau rusak, 36.000 mesin hilang, dan 1,7 juta peralatan perikanan rusak dan kerusakan terparah dialami oleh Aceh, Indonesia.

Di luar catatan itu, fakta di lapangan menunjukkan banyak kerugian material lain yang tak terhitung jumlahnya diakibatkan hantaman tsunami.

Dalam waktu tujuh menit, kota-kota di sepanjang pesisir Aceh, termasuk Banda Aceh sebagai ibukota provinsi, menjadi lautan yang dihiasi mayat dan puing-puing bangunan.

Sejauh mata memandang, yang tersisa di kawasan pesisir hanyalah bekas-bekas reruntuhan, hampir semua bangunan rata dengan tanah.

Areal tambak dan persawahan binasa, jaringan infrastruktur seperti jalan dan jembatan hancur total.

Begitu pula dengan sarana telekomunikasi dan listrik yang seketika itu padam.

Kerusakan di kawasan pesisir Aceh saat itu sangat menyedihkan.

Akibat dorongan ombak yang begitu kuat dan dahsyat, Kota Banda Aceh, Kota Meulaboh, Kota Calang, dipenuhi bermacam sampah, puing-puing reruntuhan, kayu, pepohonan, dan sampah material lainnya.

7. Ribuan masyarakat kehilangan mata pencaharian

Bukan cuma itu, berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan Departemen Kelautan dan Perikanan RI, tak kurang dari 7000 nelayan di Aceh kehilangan mata pencaharian.

Bahkan, 90 persen komunitas masyarakat pesisir dan prasarana perikanan di lokasi bencana hancur porak poranda.

Semua perkampungan nelayan seperti Uleelheu, Deah Raya, Lamteungoh, Lampuuk, Kahju, Alue Naga, dan Lampulo di Banda Aceh; Padang Seurahet di Meulaboh; Krueng Mane di Aceh Utara; Pante Raja di Pidie, tak lagi punya wujud.

Di sini tak ada bangunan yang tersisa. Semua rata dengan tanah. Para nasib pembudidaya tambak juga tak kalah memprihatinkan.

Sekitar 500 hektare tambak udang dan ikan hancur binasa.

Selain tambak, fasilitas perikanan lain yang berada di berbagai pesisir Aceh juga rusak diterjang tsunami.

8. Keberangkatan jamaah haji tertunda

Tepat pada hari terjadinya Tsunami, yaitu tanggal 26 Desember 2004, harusnya calon jamaah haji (Calhaj) Aceh kloter 8 sesuai jadwal diberangkatkan ke Mekkah.

Tak sedikit dari para jamaah calhaj yang menjadi korban Tsunami ketika itu.

Data yang dihimpun dari Arsip Harian Serambi Indonesia edisi 14 Januari 2005, jumlah calhaj asal Aceh untuk tahun 2004 sebanyak 5.541, ditambah petugas haji sebanyak 85 orang, yang akan diberangkatkan dalam 16 kloter.

Usai bencana alam Tsunami, para jamaah calon haji diminta untuk melakukan daftar ulang kembali bagi yang ingin tetap melaksanakan ibadahnya ke tanah suci, hingga batas tanggal 14 Januari 2005.

Sementara itu, pelaksanaan wukuf di Arafah ketika itu dilaksanakan pada tanggal 20 Januari 2005.

Calhaj yang tergabung dalam kloter 12 hingga 16 ditunda keberangkatannya, untuk dialihkan ke embarkasi Polonia Medan, akibat musiab gempa dan Tsunami.

9. Krisis Gula hampir seluruh Aceh pasca Tsunami

Pasca Tsunami, hampir seluruh wilayah Aceh mengalami krisis gula.

Bahan sembako ini menjadi barang yang langka di Aceh, akibat tidak adanya pasokan gula dari luar.

Jikapun ada, harganya terus melambung tinggi.

Dari pemberitaan dokumen Harian Serambi Indonesia, krisis gula tak hanya terjadi di wilayah amukan gelombang tsunami, yakni Kota Banda Aceh dan Aceh Besar, tapi juga berdampak di wilayah lain seperti Pidie, Bireuen, Sabang.

Krisis ini terus terjadi hingga beberapa minggu pasca terjadinya tsunami.

Akibat dampak itu, sejumlah pengusaha warung kopi di Aceh ada yang terpaksa menutup usaha mereka.

10. Pemerintahan Aceh diambil alih pusat

Pasca-kejadian, kendali pemerintahan di Aceh diambil alih pemerintah pusat.

Hal itu berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 2004 tentang Langkah-langkah Penanganan Bencana Alam Gempa Bumi dan Tsunami di Provinsi NAD dan Sumatera Utara.

Melansir Kompas.com dari dokumentasi Harian Kompas, dalam instruksi itu disebutkan seluruh pejabat eselon I Departemen Dalam Negeri (Depdagri) harus melakukan dukungan langkah-langkah komprehensif untuk bencana alam di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara (Sumut).

Langkah itu meliputi penanganan darurat, pemulihan mental, rehabilitasi, serta dukungan penyelenggaraan pemerintah daerah (pemda) terutama di NAD.

Untuk itu dibentuk Tim Asistensi Pemulihan Pemda NAD dan Sumut yang beranggotakan pejabat eselon I dan II.

Dalam pelaksanaannya, tim asistensi dibantu para praja tingkat III (nindya praja) dari Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN).

11. Tiga hari berkabung

Tsunami Aceh 2004 menjadi bencana alam terbesar di Indonesia sejak meletusnya Gunung Krakatau pada tahun 1883.

Kepedihan akibat bencana dahsyat itu dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia, termasuk dunia.

Pasca Tsunami Aceh pada 26 Desember 2004 silam, Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono pun menetapkan tiga hari masa berkabung.(Serambinews.com/Yeni Hardika)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved