Kilas Balik Tsunami Aceh 2004
16 Tahun Tsunami Aceh - Saat Kawanan Burung Hitam Terbang dari Arah Laut
sekelompok burung warna hitam terbang dari arah laut sesaat setelah gempa mengguncang Aceh hingga kemudian terjadi bencana tsunami
Penulis: Firdha Ustin | Editor: Muhammad Hadi
Hanya bisa bertawakkal.
Setelah keadaan sedikit reda, suami mengajak saya untuk turun.
Keramaian di atas gedung itu sangat mengkhawatirkan.
Belum kami turun, ternyata gelombang ketiga datang.
Baca juga: 16 Tahun Tsunami Aceh | Teungku Sofyan Terkubur Tujuh Hari, Tergulung Ombak dan Tertimpa Reruntuhan
Kali ini air hitam menggenangi penuh 1 lantai gedung setinggi 4 meter yang berada di depan tempat kami berada.
Sementara gedung di bagian belakang, tempat kami berlindung hanya satu lantai.
Sehingga air kali ini hanya merendam hingga leher orang dewasa.
Masih dalam kepanikan, pagar tembok belakang Asrama Haji roboh.
Menimpa orang-orang yang berlindung di baliknya.
Terdengar teriakan, tapi tidak ada yang berani memberi pertolongan, karena airnya sangat deras dan cepat membawa apa yang ada.
Setelah keadaan benar-benar tenang, pada pukul 11 siang, kami turun pelan-pelan dari tiang gedung yang kami tumpangi.
Kini kami pindah ke rumah orang di belakang gedung Asrama Haji.
Dengan memanjat tembok yang roboh, kami naik ke atap rumah lantai 1.
Tiba-tiba bumi kembali berguncang hebat.
Baca juga: 16 Tahun Tsunami Aceh | Kisah Maisarah Gendong Puteri Semata Wayang Mencari Keberadaan Suami
Gempa lagi, kami yang berada di atap harus berpegangan kuat agar tidak jatuh.
Kala itu saya sedang mengandung anak pertama.
Kemudian karena di atap itu sudah penuh dengan orang, dengan alat seadanya kami pindah lagi ke rumah berlantai 3.
Sampai di lantai 3 rumah itu, ternyata ada beberapa orang yang sudah lebih duluan di sana.
Kami sangat kaget karena ternyata ada seorang tunanetra yang sudah duluan berada di sana, di atas lantai 3.
Padahal, tidak ada tangga permanen di sana, hanya ada tangga kayu.
Ini sungguh di luar nalar. Secara logika yang sehat saja sulit naik, bagiamaina pula dengan beliau yang tunanetra.
Baca juga: Kisah Wanita Melahirkan Saat Tsunami Menerjang, Hingga Anak Diberi Nama Tsunami
Tapi begitulah rahasia Allah kepada hambaNYA.
Akhirnya, pukul 12 siang air benar-benar surut.
Kami kembali turun dari rumah lantai 3.
Di sepanjang jalan kaki bersentuhan dengan mayat yang tidak sanggup lagi diangkat, karena lebih banyak meninggal dibanding yang selamat.
Di dalam masjid juga sudah penuh dengan mayat.
Karena kami sudah sangat lelah, kami pulang.
Baca juga: Kisah Fotografer Serambi Indonesia, Rekam Bencana Tsunami Aceh Hingga Nyaris Lupa Anak Istri
Kali ini tidak lagi dengan sepeda motor yang sudah tak tahu rimbanya.
Kami hanya berjalan kaki.
Di sepanjang jalan, tak henti-hentinya kami bersyukur pada kepada Allah.
Di pintu ke luar Asrama Haji, kami berjumpa dengan adik saya, paman, sepupu, dan anggota keluarga yang lain.
Alhamdulillah, Allah masih memberi waktu kepada kami untuk beribadah kepadaNYA.
Sangat mengagetkan sampai di jalan besar, tumpukan sampah dan mayat menggunung, mayat berserakan di jalan jalan menghalangi jalan.
Sedih, takut, cemas bercampur aduk.
Lebih kaget lagi waktu melihat laut yang tadinya jauh tidak nampak, hari ini nampak begitu dekat di depan mata. MasyaAllah.
Kami lelah, kami ingin pulang mau istirahat.
Baca juga: Kilas Balik Tsunami Aceh | Kisah Pria Cacat Tidur Bersama Mayat Korban Tsunami di Bubungan
Meski sudah tidak punya apa-apa lagi.
Baju di badan pun sudah hitam terkena air tsunami.
Sebuah catatan yang tak akan pernah terbayangkan ngerinya.
Banda Aceh, 26 Desember 2020.
*) PENULIS adalah Dosen Tetap Fakultas Tarbiyah Dan Keguruan UIN Ar Raniry Banda Aceh.
BERITA KILAS BALIK TSUNAMI ACEH LAINNYA KLIK DI SINI
Baca juga: Kilas Balik Tsunami Aceh 2004 - Tong Sampah Selamatkan Dihra Dari Ganasnya Tsunami
Baca juga: Zikir dan Shalawat Awali Peringatan 16 Tahun Tsunami di Stadion Harapan Bangsa
Baca juga: Shalat Jumat Pertama di Masjid Raya setelah Tsunami Aceh 2004, Sejumlah Jamaah Menangis
