Konservasi Perairan
Upaya Konservasi Perairan Menunjukkan Hasil, Nelayan Butuh Inovasi Alat Tangkap Ramah Lingkungan
Perlu kerja keras dan dukungan dari Pemerintah Aceh bahkan Kementerian Kelautan untuk mengatasi persoalan alat bantu penangkapan ikan di Simeulue ini.
Penulis: Taufik Hidayat | Editor: Taufik Hidayat
SERAMBINEWS.COM, SINABANG – Pelanggaran oleh nelayan yang menggunakan alat tangkap maupun alat bantu penangkapan ikan yang dilarang, masih saja terus terjadi.
Pada Senin (14/12/2020) malam lalu, Satpol Air Polres Simeulue menangkap enam nelayan yang menggunakan mesin kompressor sebagai alat bantu penangkapan ikan di perairan sekitar Pulau Simanaha, yang masuk dalam Kawasan Konservasi Perairan Pulau Pinang, Pulai Siumat dan Pulau Simanaha (KKP PiSiSi).
Di malam yang sama, tiga nelayan lainnya juga ditangkap karena menggunakan kompressor sebagai alat bantu penangkapan ikan yang dilarang oleh pemerintah dan aturan adat laut setempat
Beberapa minggu sebelumnya, yakni pada Minggu (29/11/2020) dini hari, nelayan yang tergabung dalam Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Air Pinang, bahkan terlibat bentrok fisik dengan nelayan dari desa tetangga yang melakukan pelanggaran karena menggunakan kompressor.
Beberapa dari mereka mengalami luka serius di bagian mata, wajah dan kepala, akibat dugaan penganiayaan yang dilakukan nelayan anggota Pokmaswas Air Pinang. Kasus ini pun kemudian berlanjut ke ranah hukum.
Sahmal, Panglima Laot Lhok Air Pinang, Kecamatan Simeulue Timur, Kabupaten Simeulue, mengungkapkan pada periode 2017 hingga 2020, tercatat 349 kali terjadi pelanggaran berupa penangkapan ikan/tripang/lobster menggunakan alat bantu kompressor.
Dalam periode yang sama, juga dilakukan delapan kali patroli bersama oleh sejumlah Pokmaswas di sekeliling kawasan, dan ditemukan 8 kali pelanggaran yang kemudian ditindaklanjuti dengan kegiatan penindakan.
Namun, meski upaya penindakan gencar dilakukan, pelanggaran masih saja terjadi, khususnya terkait penggunaan kompressor oleh nelayan, di wilayah kawasan konservasi perairan (KKP PiSiSi) yang ditetapkan berdasarkan KepMen KP Nomor 78 tahun 2020.
Kompressor ini sebenarnya bukan alat tangkap ikan seperti pukat harimau atau semacamnya. Mesin kompres udara yang biasa digunakan oleh penambal ban ini, lebih digunakan sebagai alat bantu pernapasan, karena fungsinya mengisap dan menyimpan udara ke dalam tabung.
Udara bertekanan di dalam tabung kemudian disalurkan melalui selang untuk menyuplai oksigen kepada penyelam yang mencari tripang dan lobster di dasar laut.
Para pencari tripang dan lobster di Simeulue, senang menggunakan alat ini. Karena selain murah dan mudah didapat, mereka juga bisa bertahan berjam-jam di dasar laut.
Padahal, alat bantu penangkapan ikan ini sudah dilarang oleh pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan yang diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009. Dimana Pasal 9 Ayat (2) mengatur ketentuan alat penangkapan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumberdaya ikan.
Pada penjelasan Pasal 9 UU tersebut, dirincikan bahwa; alat penangkapan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumberdaya ikan, termasuk di antaranya jaring trawl atau pukat harimau, dan kompressor.
Pemerintah Kabupaten Simeulue melalui Dinas Kelautan dan Perikanan bersama Panglima Laot setempat juga sering melakukan sosialisasi dan membangun kerja sama dengan berbagai pihak untuk menertibkan penggunaan kompressor ini.
Tapi sepertinya masih perlu kerja keras dan dukungan dari Pemerintah Aceh bahkan Kementerian KKP untuk mengatasi persoalan ini.
“Upaya penegakan hukum perlu dilakukan dengan lebih tegas, agar memberi efek jera,” ungkap Edi Saputra, Penasehat Panglima Laot Lhok Air Pinang, kepada Serambinews.com, Jumat (25/12/2020).
Baca juga: Konflik Antarnelayan di Simeulue, Dipicu Soal Penggunaan Kompressor di Kawasan Konservasi Perairan
Baca juga: Mediasi Gagal, Polres Simeulue Lanjutkan Proses Hukum Dugaan Penganiayaan Nelayan
Baca juga: Tim Patroli Polairud, DKP dan Pokmaswas Tertibkan Penggunaan Kompressor, 9 Nelayan Ditangkap
Baca juga: DKP Aceh Dukung Penertiban Kompressor, Perlu Perlakuan Khusus untuk Lindungi Kawasan Konservasi
Keberhasilan Konservasi Perairan
Pihak Panglima Laot Lhok Air Pinang bersama sejumlah Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokwasmas) setempat yang rutin melakukan pemantauan di perairan yang masuk dalam wilayah KKP PiSiSi, mengungkapkan bahwa sejak upaya perlindungan (konservasi) ekosistem laut dilakukan sekitar lima tahun lalu, sudah banyak bukti keberhasilan yang terlihat.
Terumbu-terumbu karang yang sebelumnya rusak, kini mulai pulih, khususnya di sub zona rehabilitasi seluas 66 Hektare. Ikan karang hasil tangkapan nelayan pun meningkat baik dari segi jumlah maupun bobotnya.
Produksi lobster dan teripang juga meningkat pesat.
Dari pencatatan yang dilakukan secara swadaya oleh nelayan dan Pokmaswas Air Pinang menunjukkan bahwa pada tahun 2017, bobot teripang yang ditangkap nelayan Air Pinang hanya mencapai 87,2 Kg. Tahun 2018 meningkat drastis menjadi 229,86 Kg.
Kemudian, tahun 2019, produksi teripang nelayan Air Pinang 204,4 Kg, dan terus meningkat di tahun 2020 dengan bobot mencapai 392, 21 Kg.
“Bahkan teripang gajah yang sebelumnya sangat langka, kini sudah mulai banyak ditemukan. Ini menandakan bahwa pemulihan habitat ekosistem laut yang dilakukan selama ini, telah membuat perkembangbiakan teripang di perairan ini semakin baik,” kata Edi Saputra, Penasehat Panglima Laot Lhok Air Pinang.
Selain itu, daya lenting terumbu karang juga terpantau sangat baik. Khususnya di lokasi Gosong Sambay 3, Gosong Jawi-Jawi, Gosong Putih, Pulau Simanaha, dan Pulau Talam, yang memang masuk dalam kategori daya lenting tinggi.
Untuk diketahui, daya lenting terumbu karang merupakan kemampuan suatu ekosistem untuk menjaga fungsi-fungsi ekologis dalam menghadapi tekanan, dengan cara bertahan maupun beradaptasi terhadap perubahan. Terumbu karang yang memiliki kemapuan daya lenting yang tinggi akan membutuhkan waktu lebih cepat dalam proses pemulihan suatu kawasan.
Perairan yang memiliki daya lenting tinggi, akan memiliki kemampuan yang lebih baik dalam bertahan terhadap tekanan yang disebabkan oleh iklim maupun aktivitas manusia.
Sehingga, lima lokasi di wilayah KKP PiSiSi ini pun memiliki peran yang sangat penting karena memiliki karakteristik fisik lingkungan yang mendukung dalam meredam dampak kenaikan suhu yang menyebabkan pemutihan karang terjadi.
Bukti keberhasilan lainnya dari upaya konservasi yang telah dilakukan, perairan ini pun mulai sering dikunjungi hewan-hewan kharismatik seperti paus, lumba-lumba, penyu, dugong, hiu paus dan pari manta, yang sebelumnya jarang terlihat.
Padahal, kemunculan beberapa spesies mega fauna dan hewan kharismatik lainnya di Perairan Simeulue ini seharusnya bukan hal yang aneh. Karena, sesuai dengan letak geografisnya yang berada di Samudera Hindia, perairan yang masuk dalam KKP PiSiSi ini merupakan salah satu daerah lintasan mamalia laut.
Dalam periode 2017-2019, nelayan Desa Air Pinang dan Pulau Siumat melaporkan bahwa mereka melihat 4 kali kemunculan Paus (Baleen Whale) yang melintas di perairan Pulau Siumat.
Pada periode tersebut nelayan juga melaporkan 7 kali kemunculan Hiu Paus (Rhincodon typus) di sekitar Pulau Talam dan Pulau Limau.
Penasehat Panglima Laot Lhok Air Pinang, Edi Saputra menambahkan, saat ini, hampir setiap hari nelayan melihat berbagai spesies lumba-lumba, seperti lumba-lumba paruh panjang/Spinner dolphin (Stenella longirostris), Spotted dolphin (Stenella attenuate), lumba-lumba hidung botol/Bottlenose dolphin (Tursiops truncatus), lumba-lumba abu-abu/Risso dolphin (Grampus griseus).
“Kawanan lumba-lumba itu sering ditemukan di dalam kawasan KKP PiSiSi,” katanya.
Karena itu, ia berharap adanya kesadaran bersama untuk menjaga keanekaragaman hayati di perairan ini (KKP PiSiSi).
Menurutnya, tantangan terberat saat ini adalah menertibkan nelayan yang menggunakan alat tangkap atau alat bantu penangkapan ikan/lobster/teripang yang dilarang, seperti kompressor.
“Untuk mengatasi persoalan itu, disamping perlunya upaya penegakan hukum secara tegas oleh pihak kepolisian, Pemerintah melalui KKP dan DKP tingkat provinsi maupun kabupaten juga hendaknya mengupayakan penyediaan alat-alat tangkap yang inovatif. Sehingga nelayan yang selama ini menggunakan kompressor, bisa beralih menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan,” saran Edi Saputra.(*)
Baca juga: Tak Dapat Suami, Milisi Houthi Pukul Mati Seorang Ibu di Depan Anak-anaknya
Baca juga: Arab Saudi Tuduh Houthi Serang Kapal Kargo di Laut Merah
Baca juga: VIDEO - Pelaminan Tanpa Pengantin, Calon Suami Hanyut Jelang Resepsi Pernikahan