Covid-19 Belum Terkendali, IDI Usulkan Pembatasan Sosial Berskala Besar yang Superketat

Jika PPKM tahap kedua tidak juga menurunkan jumlah infeksi baru dan kasus kematian akibat Covid-19, maka solusinya adalah PSBB superketat.

ANTARA FOTO/HO/SETPRES/MUCHLIS J
Presiden Joko Widodo disuntik dosis kedua vaksin Covid-19 produksi Sinovac oleh vaksinator Wakil Ketua Dokter Kepresidenan Prof Abdul Mutalib di halaman tengah Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (27/1/2021). ANTARA FOTO/HO/SETPRES/MUCHLIS J 

SERAMBINEWS.COM, JAKARTA - Angka kasus harian positif Covid-19 di Indonesia belum menunjukan arah terkendali, meski kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKKM) diperpanjang hingga 8 Februari mendatang.

Wakil Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Slamet Budiarto mengatakan, jika angka kasus harian positif Covid-19 masih menunjukkan peningkatan, maka pemerintah sebaiknya menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) secara ketat.

Saat ini PB IDI masih terus melihat dan akan melakukan evaluasi terhadap pemberlakuan PPKM tahap kedua yang berlangsung pada 26 Januari lalu hingga 8 Februari mendatang.

Jika PPKM tahap kedua tidak juga menurunkan jumlah infeksi baru dan kasus kematian akibat Covid-19, maka solusinya adalah PSBB superketat.

Baca juga: Indonesia Salip India, Kasus Aktif Covid-19 RI Tertinggi di Asia

Baca juga: Di Banda Aceh, 593 Tenaga Kesehatan Disuntik Vaksin Sinovac Covid-19

Baca juga: Soraya Abdullah Meninggal Karena Covid-19, Umi Pipik Sebut Soal Wanita Surga

"Jalan terakhir ya PSBB superketat. Mobilisasi masyarakat disetop. Enggak ada jalan lagi, apa lagi jalannya? Vaksin (untuk masyarakat) belum tersedia," kata Slamet saat dihubungi Tribunnews.com, Senin (1/2/2021).

Slamet juga mengatakan bahwa ketentuan swab PCR tidak menjamin seseorang tidak terjangkit virus corona dalam sebuah perjalanan.

Sebab, jika swab PCR dilakukan hari ini dan hasilnya negatif, seseorang masih bisa terinfeksi virus corona keesokan harinya.

"Ini kan penyakit kerumunan, penyakit mobilitas. Kalau itu (mobilitas) dihentikan, otomatis (jumlah penyebaran Covid-19) turun. Simple-nya begitu," tambah Slamet.

Jika angka kematian dan infeksi Covid-19 masih tinggi, Slamet menyarankan PSBB superketat dilakukan setidaknya selama satu bulan. Meski begitu, ia menyebut bahwa risiko terbesarnya ada pada sektor ekonomi.

Baca juga: PKK Harus Jadi Pelopor Bantu Pemerintah Tanggulangi Covid-19

Baca juga: Uang Rp 150 Juta Dimasukkan ke Dalam Gitar, Transaksi Suap Bansos di Ruang Karaoke

Baca juga: Ini Pembersih Wajah Alami Bisa Dibuat di Rumah, Lulur Tomat hingga Almond dan Mayones

Namun, tidak ada jalan lain lagi untuk benar-benar menekan laju pertambahan kasus kematian dan infeksi baru virus corona.

"Tinggal Presiden mau memilih yang mana. Kalau mau menurunkan (angka kematian dan infeksi Covid-19) betul-betul turun, risikonya ekonomi," ungkapnya.

Presiden Joko Widodo sendiri sebelumnya mengakui bahwa pelaksanaan PPKM belum mampu menekan laju penularan Covid-19.

Hal itu disebabkan oleh implementasi kebijakan tersebut belum dilaksanakan secara konsisten.

Selain itu, Jokowi juga tidak mempermasalahkan jika ekonomi turun pada masa PPKM ini asalkan diiringi oleh penurunan kasus Covid-19.

"Yang kedua, menurut saya, hati-hati ini turun, ekonomi turun, ada PPKM, ekonomi turun. Sebetulnya enggak apa-apa (ekonomi turun), asal Covid-nya juga turun. Tapi, ini kan enggak," terang Jokowi melalui kanal YouTube Sekretariat Presiden, Minggu (31/1).(tribun network/rin/dod)

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved