Pilkada 2022 Wajib. Syekh Fadhil: 'Meunyoe Han, Hana Yum Geutanyoe Bak Jakarta Nyan'

"Meuhan, kakeuh gadeh saboh-saboh... hana yum geutanyoe bak Jakarta nyan"

Penulis: Yocerizal | Editor: Yocerizal
For Serambinews.com
Anggota DPD RI asal Aceh, Fadhil Rahmi. 

Pilkada Aceh Bergeser ke 2023, KIP Tetap Ingin di 2022

Diberitakan sebelumnya, meski Pemerintah Aceh dan DPRA telah sepakat melaksanakan Pilkada serentak pada tahun 2022, tetapi hingga kini masih belum ada kepastian apakah pemilihan kepala daerah bisa dilaksanakan pada tahun itu.

Di Komisi II DPR RI saat ini, ada pemikiran agar Pilkada Aceh diserentakkan pada 2023 karena ada tiga kabupaten/kota yang masa pemerintahannya berakhir di tahun tersebut. Yaitu Kabupaten Pidie Jaya (Pijay), Aceh Selatan, dan Kota Subulussalam.

"Pusat dalam hal ini Kemendagri tentu juga melihat hal ini, jangan sampai tiga kabupaten itu untuk seterusnya selalu tidak sama,” ujar Anggota Komisi II DPR RI, Nasir Djamil, kepada Serambi, Minggu (10/1/2021).

Meski demikian, lanjut Nasir Djamil, Aceh masih memiliki peluang untuk memperjuangkan agar Pilkada tetap dilaksanakan pada 2022.

Tetapi hal itu akan sangat tergantung pada upaya Pemerintah Aceh dan DPRA dalam memainkan posisi tawarnya melalui norma yang diatur di dalam Undang Undang Pemerintah Aceh (UUPA).

Dalam UUPA ia sebutkan, ada pasal yang mengatur bahwa kebijakan-kebijakan yang terkait dengan Aceh itu harus meminta pertimbangan dari DPRA.

“Jadi Aceh masih punya peluang besar, karena adanya ketentuan Pusat harus meminta pertimbangan Aceh,” timpal Nasir Djamil.

Namun yang jadi persoalan, Pusat terkadang luput meminta pertimbangan itu. Karenanya, Pemerintah Aceh dan DPRA harus mengingatkan Pemerintah Pusat bahwa di Aceh ada norma meminta pertimbangan.

“Aceh harus kukuh mempertahankan itu. Pusat juga harus konsisten dengan norma ini,” tegas Nasir Djamil.

Hal lain yang juga perlu dipahami, karena norma itu sifatnya adalah meminta pertimbangan, maka Pusat bisa saja memakai pertimbangan Aceh dan bisa juga tidak. Ini kembali lagi kepada Pemerintah Aceh dan DPRA dalam menyampaikan argumentasi dengan pertimbangan-pertimbangan sesuai dengan yang diatur dalam UUPA.

Untuk itu, Nasir Djamil menyarankan DPRA dan Pemerintah Aceh agar ikut menghadiri sidang pembahasan Undang Undang Pilkada di Komisi II DPR-RI yang rencananya dimulai akhir Januari ini. “Masa sidang nanti sangat singkat, hanya 30 hari kerja. Pemerintah dan DPRA nanti bisa datang untuk menyampaikan pertimbangan,” ujar Nasir Djamil.

Tetapi dia mengingatkan, jika pertimbangan yang disampaikan Pemerintah Aceh dan DPRA adalah kekhususan sesuai dengan UUPA, Nasir Djamil mengatakan bahwa menurut Mahkamah Konstitusi, Pilkada bukanlah kekhususan bagi Aceh karena daerah lain juga melaksanakannya. “Disebut khusus jika tidak ada di tempat lain, seperti wali nanggroe, dana otonoomi khusus, dan lain-lain,” imbuh dia.

Jika ternyata kemudian Aceh tetap ingin memaksakan diri bertahan di 2022, Nasir Djamil juga yakin nanti akan ada titik kompromi. “Pusat ingin di 2024, Aceh ingin 2022, maka jalan tengahnya di 2023. Alasan empirisnya karena ada tiga kabupaten kota yang berakhir 2023,” jelas Nasir Djamil.

“Itulah mengapa saya katakan peluang Pilkada 50:50, antara 2022 dengan 2023. Kalau 2024 itu sudah tidak ada cerita lagi,” imbuh Ketua Forum Bersama (Forbes) Anggota DPR dan DPD RI asal Aceh ini.

Halaman
123
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved