Lembaga Keuangan Syariah
BI: Biaya Transfer di Aceh Bisa Dikurangi, Terkait Keluhan Dunia Usaha dalam Penerapan Qanun LKS
Manajer Pengembangan dan Pelaksana Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) Bank Indonesia (BI) Aceh, Yason Taufik Akbar.
Pakar hukum ini juga mengatakan bahwa penundaan penerapan Qanun LKS di Aceh juga dimungkinkan, jika memang penerapannya dianggap menimbulkan masalah.
"Tetapi penundaan qanun harus dilakukan dengan qanun juga, karena itu yang paling memungkinkan adalah revisi," imbuhnya.
Menanggapi hal itu, Manajer Pengembangan dan Pelaksana UMKM BI Aceh, Yason Taufik Akbar, mengatakan, biaya transfer antarbank untuk masyarakat Aceh dimungkinkan untuk dikurangi.
"Kalau ditiadakan tidak mungkin juga, tetapi kalau dikurangi setengahnya dimungkinkan," ujar Yason.
Dalam kesempatan itu juga ia meminta Kepala Bank Syariah Indonesia (BSI), Nana Hendriana untuk memikirkan upaya mengurangi biaya transfer antarbank ini.
"Di BSI itu banyak dana murah dalam tanda kutip. Saya kira mengurangi biaya administrasi ini bukan suatu masalah," ujarnya.
Terkait dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi Aceh pasca-penerapan Qanun LKS, Manajer Pengembangan dan Pelaksana Usaha Mikro Kecil dan Menengan (UMKM) Bank Indonesia (BI) Aceh, Yason Taufik Akbar, mengatakan bahwa peran perbankan dalam menopang perekonomian Aceh tidak terlalu besar.
Sektor perbankan disebutkan hanya menyumbang sekitar 30 persen dari perekonomian Aceh.
Selain itu, penerapan Qanun LKS ia katakan juga tidak berdampak terhadap aliran keluar masuk uang di Aceh.
"Pengamatan kami, jumlah uang di Aceh masih normal-normal saja, tidak ada uang yang keluar dalam jumlah besar seperti yang banyak dikhawatirkan selama ini," imbuhnya.
Dalam diskusi itu juga hadir Wakil Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Aceh, Adi Surahmat, Kepala Biro Perekonomian Setda Aceh, Amirullah, Pakar Ekonomi Syariah, Hafas Furqani, dan Sekretaris HIPMI Aceh, Ridha Mafdhul.
Acara diskusi kemarin merupakan rangkaian dari peluncuran lembaga Lingkar Publik Strategis.
Koordinator Lingkar Publik Strategis, Rizki Ardial mengatakan, lembaga tersebut dibentuk untuk mengontrol sejumlah kebijakan pemerintah yang tidak prorakyat.
Lembaga ini merupakan wadah perkumpulan mantan aktivis kampus.
"Ini adalah sebuah wadah perkumpulan aktivis mahasiswa, aktivis jalanan, kita kumpulkan lagi yang sebelumnya mereka sempat aktif di kampus. Setelah lulus dari kampus mereka kehilangan wadah, jadi kita bentuk lagi wadah tersebut," ujar Rizki.(yos)