Jurnalisme Warga
Meudrah Naskah Kuno di Rumoh Manuskrip Aceh
Apa pentingnya mempelajari manuskrip kuno di zaman modern?” Kalimat tersebut terbersit di pikiran saat saya melihat sebuah poste

OLEH AYU ‘ULYA, Tim Research and Development (R&D) The Leader dan Anggota Forum Aceh Menulis (FAMe) Banda Aceh, melaporkan dari Banda Aceh
“Apa pentingnya mempelajari manuskrip kuno di zaman modern?” Kalimat tersebut terbersit di pikiran saat saya melihat sebuah poster virtual dari akun Instagram @tarmiziabdulhamid—sang kolektor Manuskrip Kuno Aceh—yang mencuat di beranda media sosial. Penasaran, saya pun memutuskan untuk hadir di acara tersebut. Toh, acaranya juga terbuka untuk umum.
Selasa siang, 9 Maret 2021, tampak belasan sepeda motor terparkir rapi di beranda Rumoh Manuskrip Aceh. Lokasinya dekat dari Masjid An-Nur, Ie Masen Kayee Adang, Banda Aceh. Tepatnya di Jalan Seroja Nomor 8 A. Andai tersesat, langsung saja minta bantuan Google map.
Kemudian, di dalam rumah bercat putih yang cukup luas itu, terlihat puluhan anak muda bermasker duduk bersila. Kebanyakan peserta merupakan mahasiswa UIN Ar-Raniry dan Universitas Syiah Kuala. Mereka tampak khusyuk mengikuti meudrah naskah kuno, dipandu oleh sang kolektor yang akrab disapa Cek Midi.
Meudrah merupakan pola komunikasi tradisional masyarakat Aceh—terutama antara seorang pemimpin dengan masyarakat—dengan saling bertemu langsung untuk mendengarkan informasi autentik. Jika dalam istilah populer, meudrah dapat disetarakan dengan blusukan. Dengan kata lain, melalui program ini, masyarakat Aceh, terutama anak muda, diajak untuk melihat, menyentuh, dan mendiskusikan secara langsung koleksi naskah kuno Aceh di tempat tersebut.
“Ini semua untuk anak cucu kita. Kalau tidak ada (manuskrip) ini, kita tidak ada acuan pembelajaran untuk masyarakat ke depan. Jadi, saya memfokuskan diri untuk keselamatan, melindungi manuskrip,” ujar Cek Midi.
Lelaki kelahiran Pidie, 56 tahun silam ini sudah melakukan upaya penyelamatan naskah kuno Aceh sejak tahun 2000. Dia bahkan rela menjual sebidang tanah warisan dari orang tuanya agar manuskrip Aceh tidak jatuh ke tangan orang asing.
“Berbicara tentang manuskrip, tuan rumahnya itu di Aceh. Tapi, orang-orang seperti tidak peduli. Saya mengumpulkan sekitar 590 naskah, lebih banyak yang saya beli, bukan dikasih gratis. Daripada dibawa orang ke luar negeri, ya lebih baik saya beli,” kenang Tarmizi Abdul Hamid.
Menurut Cek Midi, kalau naskah kuno itu dibawa ke luar negeri, kita tidak tahu bagaimana tata cara orang asing menerjemahkan dan mengkaji isi kandungan naskah-naskah tersebut. Sebab, kebanyakan naskah dituliskan dalam bahasa Aceh dan Melayu.
Sejalan dengan itu, Tgk Syukri Rizki—ahli filologi naskah kuno lulusan Jerman—yang ikut hadir sebagai salah satu pembicara meudrah menambahkan, “Banyak kemajuan pemikiran Islam yang sumbernya dari sini (Aceh), cuma kita saja yang tidak sadar. Dosen saya pernah menyebutkan, ‘Naskah-naskah Islam dari Dunia Melayu yang tersimpan di perpustakaan orang kulit putih—Berlin, London, Leiden, Amsterdam—ibarat bibit yang akan tumbuh subur jika dipakai di tanah aslinya’.”
Bagi Syukri, banyak sekali hal yang bisa dikaji dari manuskrip kuno Aceh, terutama terkait kontennya. Menurut dia, salah satu manuskrip yang cukup mendunia berasal karya Hamzah Fansuri. Ulama sufi sekaligus sastrawan yang sempat berdiam di Aceh ini terkenal dengan syairnya, ‘Perjalanan Mencari Tuhan’. Ini merupakan syair tentang perjalanan beliau berkeliling dunia untuk mencari ilmu pengetahuan.
“Kita mungkin hanya melantunkan syair-syair Hamzah Fansuri sebab terkesan indah. Tapi beliau sendiri menyatakan, ‘Karya saya jangan hanya disenandungkan untuk suka cita, tapi untuk didalami.’ Kita ini kurang menekuninya. Malah ditekuni oleh orang-orang luar,” jelasnya.
Kembali mengenal diri
“Siapa sebenarnya kita?”
Pertanyaan itu berdentum keras di pikiran seiring saya mendengarkan penjelasan demi penjelasan terkait isi manuskrip dari para pakar. Seperti seseorang yang baru terbangun dari lelap yang panjang, saya linglung. Tidak sedikit kata ‘oh’ dan ‘wah’ terdengar bergantian dari mulut para peserta. Berkali-kali anggukan dan gelengan mewakili ekspresi kekaguman dan rasa sesal secara bersamaan. Kagum akan betapa banyak manuskrip berisi pengetahuan yang patut dipelajari. Sesal kala merefleksikan betapa berjaraknya masyarakat Aceh kini dari mengenal diri mereka sendiri.
“Kita kuliah di universitas bergelar nama dua ulama besar; Abdurrauf as-Singkili (Syiah Kuala) dan Nuruddin ar-Raniry. Tapi sejauh mana kita mengenal kedua sosok tersebut? Pernahkah kita menelaah karya-karya mereka?” tanya Hermansyah, filolog yang cukup masyhur di kalangan anak muda Aceh.
Belum selesai tercengang oleh pertanyaan tersebut, Cek Midi pun menambahkan kejutan baru. Dia menyebutkan bahwa walau belum banyak disadari, nyatanya Aceh tak hanya memiliki sulthanah (ratu), tetapi juga ulama perempuan yang menuliskan karya yang luar biasa. “Pocut di Beutong. Dialah yang menuliskan ‘Nazam Aceh’ (Syair Perempuan Tasawuf Aceh). Naskahnya sudah kita terjemahkan, ‘Munajat Sufi Para Perempuan Aceh’. Luar biasa beliau,” ujar Cek Midi.
Lantas, Nabhani AS, budayawan Aceh ikut memperkuat pernyataan akan pentingnya peran manuskrip kuno Aceh. “Untuk Aceh, jangan tanyakan di mana sisa bangunan bekas-bekas sejarah? Namun tanyakan, mana karya-karya yang dilahirkan oleh pemikir-pemikir Aceh zaman dahulu? Itulah kemajuan sebuah peradaban yang diukur lewat kemajuan pengetahuan. Aceh pelopor pengetahuan dari segi kemajuan peradaban,” kata mantan pengurus Majelis Adat Aceh itu.
Fadhlan Amini, seorang professional tour guide Aceh yang ikut menggaungkan wisata religi sebagai opsi istimewa bagi perkembangan pariwisata di Aceh, turut mengamini pernyataan tersebut. Menurutnya, masyarakat Aceh tidak akan percaya diri untuk maju dan berkembang, terutama secara ekonomi, selama belum mampu mengenal diri mereka sendiri.
“Kita kerap terjebak dalam inferiority complex dikarenakan kehilangan jati diri (lossing identity). Kita minder. Sebab, merasa budaya dan orang luar negeri itu lebih keren daripada kita. Makanya penting untuk memahami sejarah kita sendiri, agar tidak tergerus globalisasi,” ucapnya.
Di akhir acara, Dr Teuku Zulkhairi MA—yang tampak antusias melibatkan anak muda dalam Meudrah Naskah Kuno Aceh tersebut—memberikan wejangan mendalam. “Saat kita mulai meninggalkan khazanah di masa lalu, orang luar justru sangat antusias dengan hal yang kita tinggalkan. Saya berpikir, tugas kita sebagai generasi muda Islam adalah bagaimana merevitalisasi kembali karya-karya ulama kita terdahulu. Apa yang telah ditulis, kita pelajari kembali. Bukan berarti kita kembali ke masa lalu, tapi bagaimana menjadikan masa lalu sebagai batu loncatan kita di masa depan. Jadi, kita tidak bergerak ke depan dengan melupakan masa lalu.” Nah, poin ini yang saya anggap sangat penting.