Kupi Beungoh
Quo Vadis Mahkamah Syar’iyah di Aceh
Di daerah lain, lembaga peradilan ini dikenal dengan sebutan Pengadilan Agama, sedangkan di Provinsi Aceh telah bermetamorfosis ke Mahkamah Syar’iyah.
Oleh: Dra. Hj. Rosmawardani, S.H., M.H*)
MAHKAMAH Syar’iyah Aceh bukan saja lembaga yang bernilai (value) istimewa di Provinsi Aceh, tapi juga memiliki keistimewaan dalam pandangan dunia peradilan di Indonesia bahkan dunia peradilan internasional.
Di daerah lain, lembaga peradilan ini dikenal dengan sebutan Pengadilan Agama, sedangkan di Provinsi Aceh telah bermetamorfosis ke Mahkamah Syar’iyah.
Metamorfosis ini tentu tidak mutatis mutandis (otomatis), melainkan diawali dengan aturan regulasi Undang-undang Nomor 44 tahun 1999 tentang keistimewaan Aceh, kemudian dipertegas dalam Undang-undang Nomor 18 tahun 2001 tentang otonomi khusus dan dijabarkan khusus dalam Qanun Nomor 10 tahun 2002 tentang Peradilan Islam.
Perubahan nama dari sebutan Pengadilan Agama menjadi Mahkamah Syar’iyah adalah Kepala Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang dimaktub dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2003 tentang Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang pasca Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006, menjadi sebutan Provinsi Aceh.
Kekuasaan kehakiman yang menjadi legal standing dari Mahkamah Syar’iyah Aceh diatur dalam aturan khusus, yaitu Keputusan Ketua Mahkamah Agung (KMA) Nomor 70 tahun 2004 tentang Pelimpahan sebahagian Kewenangan dari Peradilan Umum Kepada Mahkamah Syar’iyah Provinsi Aceh Nomor KMA/070/SK/X/2004 oleh Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia yang pada saat itu dijabat oleh Prof. Dr. Bagir Manan, SH, MCL.
Tidak hanya sekedar cukup dengan aturan legal yuridis itu saja, eksistensi Mahkamah Syar’iyah Aceh dipertegas lagi dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang merupakan penjabaran dari Memorandum Of Understanding (MoU) di Helsinki 15 Agustus 2006 antara Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka.
Artinya eksistensi Mahkamah Syar’iyah di Provinsi Aceh sebagai salah satu lembaga wadah yang merupakan serta mengakomodir keistimewaan provinsi Aceh harus mendapat dukungan moril dan materil dari pemerintah Aceh secara holistik dan komperehensif.
Kalau tidak, untuk apa susah-susah melahirkannya yang dengan lika liku perjuangan panjang, jika kemudian dinegasi sendiri secara pelan pelan oleh stakeholders Aceh sendiri.
Ibarat kata pepatah Aceh “lagei buya tambue, leuh dikap ka han eik dihue (buaya di Tambue (sungai Samalanga), setelah menggigit tidak mampu menyeret).”
Baca juga: Mahkamah Syariyah Aceh Pacu Predikat Zona Integritas
Baca juga: Tim Komisi 3 DPR RI Kunker Ke Mahkamah Syariyah Aceh
Lembaga Vertikal Juga Horizontal
Bahwa benar secara struktural, Mahkamah Syar’iyah Aceh adalah lembaga vertikal di dalam strata salah satu elemen yudikatif dalam skema struktur pemerintah Indonesia.
Tapi secara subtansial, Mahkamah Syar’iyah lebih banyak mengurus tentang hal-hal yang terkait dengan keistimewaan Aceh, yang tidak ada di provinsi lain di Indonesia.
Karenanya, mencakup kewenangan yurisdiksi, Pemerintah Aceh harus mendukung penganggaran sarana dan prasarana peningkatan sumber daya manusia (SDM).
Berupa pelatihan yang berbasis pada kestimewaan dan isu-isu kontemporer keislaman.
Kenapa?
Qanun tentang aturan hukum pidana (jinayat) Islam yang merupakan produk dari eksekutif maupun legislatif Pemerintah Aceh, seperti Qanun Nomor 7 tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat, Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat semuanya bermuara penyelesaian konflik hukum, tidak ada tawar menawar, melainkan menjadi yurisdiksi kompetensi absolute dari Mahkamah Syar’iyah Aceh.
Teranyar Qanun Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah yang baru saja diterapkan, juga akan segera menambah tugas Mahkamah Syar’iyah Aceh.
Dengan demikian, pengembangan sumber daya manusia, baik itu kategori hakim dan panitera serta juru sita atau dalam ruang lingkup kerja lembaga Mahkamah Syar’iyah Aceh, bukan saja tanggung jawab pemerintah pusat, akan tetapi menjadi hak dan tanggung jawab Pemerintah Aceh.
Karenanya Pemerintah Aceh juga harus memberi porsi segenap perhatian yang serius bagi perkembangan eksistensi lembaga Mahkamah Syar’iyah kedepan dan dalam hal-hal nonteknis untuk menjalankan role dan rule lembaga istimewa ini (Mahkamah Syar’iyah) ke depan secara berkesinambungan dan tanpa batasan.
Hal ini ditambah dengan jargon kampanye dalam semua pasangan gubernur dan wakil gubernur serta Bupati dan wakil bupati serta Wali kota dan wakil wali kota, semuanya di dalam kampanye serta visi misi selalu mementaskan dengan tegas bahwa jika terpilih dan menjabat akan menegaskan untuk menegakkan Pemerintahan yang Islami dengan jargon Islam Kaffah rahmatan lil alamin.

Kami Merasa Was-was
Coba kita memahami kembali serta membumikan di Provinsi Aceh maksud dan tujuan dari Pasal 136 ayat (2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang pemerintah Aceh yang menyebutkan bahwa penyediaan sarana dan prasarana serta penyelenggaraan kegiatan Mahkamah Syar’iyah dibiayai oleh APBN, APBA dan APBK.
Ini Artinya apa? dapat dipahami bahwa gubernur, bupati dan wali kota secara hierarki pemimpin pemerintahan di Provinsi Aceh dalam hal nonteknis, terutama menyangkut penyediaan sarana serta prasarana yang dapat menunjang kegiatan serta memelihara dan meningkatkan eksistensi dari Mahkamah Syar’iyah dapat dibebankan pada APBA/APBK, demi terwujudnya masyarakat Aceh yang damai, madani, serta religius.
Kami sebagai yang mendapat amanah sebagai Pimpinan Mahkamah Syar’iyah di Aceh, merasa was - was dan kecemasan yang dengan dalam hal dukungan pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten kota di Aceh.
Kenapa beban ini terasa sangat berat kami memikulnya hal ini dikarenakan semata bahwa kami adalah bagian yang tak terpisahkan dari sebahagian pelaku sejarah metamorfosis peradilan agama menjadi Mahkamah Syar’iyah di Provinsi Aceh
Kami termasuk menjadi bagian saksi sejarah yang terlibat dalam antusiasme pembentukan lembaga-lembaga keistimewaan Aceh lainnya kala itu, seperti Dinas Syariat Islam, Mahkamah Syar’iyah Aceh dan Wilayatul Hisbah serta Majelis Permusyarawatan Ulama (MPU), lembaga Majelis Adat Aceh (MAA) serta lembaga Fenomenal yaitu Lembaga Wali Nanggroe (LWN) di Provinsi Aceh.
Eksistensi subtansi Mahkamah Syar’iyah sekarang menjadi pertaruhan sebagai lembaga istimewa di Provinsi Aceh.
Karena lahirnya lembaga ini sebagai salah satu bentuk unsur win win solution dari Pemerintah Pusat dalam menyelesaikan konflik berdarah di Provinsi Aceh yang telah berjalan selama 30 tahun peperangan yang telah meninggalkan ribuan pusara syuhada serta janda dan anak yatim, tak terkecuali stagnansi dari pembangunan dan kemerosotan perekonomian Aceh.
Kewenangan Mahkamah Syar’iyah yang dulu mengadili sengketa keluarga, perkara perdata, ditambah dengan kewenangan beban dari Pemerintah Aceh yaitu perkara jinayat (pidana Islam), serta teranyar menjadi lembaga tunggal penyelesaian perkara ekonomi Syariah yang salah satu efek dari Qanun Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah yang mutatis mutandis (otomatis) semua akad (perjanjian) perbankan adalah Skema Ekonomi Syariah.
Janganlah lembaga ini (Mahkamah Syar’iyah) hanya menjadi model dari upaya penyelesaian konflik Aceh yang bermartabat, tetapi tak mampu dimodali dan menjadi modal kepada generasi Aceh kedepan tentang wujud dari eksistensi yang sudah diperjuangkan tapi tak mampu dijaga dan dirawat serta dilestarikan oleh kita generasi dalam menjaga eksistensi pembangunan hukum Islam di Aceh.
Ditambah lagi malah kita menegasi lembaga ini dengan bentuk nyata yaitu pengabaian dari wujud dukungan Pemerintah Aceh dan dukungan kabupaten kota.
Sebagai bagian dari saksi sejarah dari perencanaan hingga implimentasi lahirnya Mahkamah Syar’iyah Aceh.
Perlu kiranya membagi ingatan dan peringatan bagi semuanya stake holders di provinsi Aceh. Supaya setiap gagasan sejarah tidak berulang menjadi dongeng untuk gerasi Aceh kedepan.
Bahwa sejarah ihwal lahirnya Mahkamah Syar’iyah Aceh bermula dari cita-cita integrasi holistik implementasi Syariat Islam.
Syariat Islam tidak jauh berbeda dengan sistem hukum lainnya.
Penegakan syariat Islam dapat menentramkan dan memberi kenyamanan tenta sebuah rasa bagi hukum terhadap masyarakat di Provinsi Aceh.
Baca juga: Mahkamah Konstitusi Percayakan UIN Ar-Raniry untuk Evaluasi Putusan UU Perkawinan dan Otonomi Daerah
Baca juga: Peneliti Restorative Justice Working Group (RJWG) Kunjungi Mahkamah Syar’iyah Jantho, Ada Apa?
Solusi Konflik
Harus disadari oleh generasi saat ini bahwa kehadiran Mahkamah Syar’iyah Aceh adalah perjuangan berdarah-darah dan penuh peluh dan air mata.
Mahkamah Syar’iyah Aceh menjadi lembaga keistimewaan solusi dari dari salah bentuk dan wujud penyelesaian konflik Aceh terkhusus dalam persoalan yudikatif.
Nah, untuk itu, Pemerintah Aceh dan DPR Aceh sudah sepatutnya bangun dari tidur yang berkepanjangan.
Sejak dibentuk dari tahun 2003 hingga sekarang, kami belum melihat bentuk nyata dan tegas dari Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota, tentu harus ikut serta menyanggupi kebutuhan anggaran yang diperlukan dalam upaya optimalisasi tugas dan fungsi serta menjaga eksistensi Mahkamah Syar’iyah dan menyenangkan masyarakat.
Tak elok lah bila beban tugas pemerintah Aceh dibebankan kepada DIPA (daftar isian pelaksaaan anggaran) dibebankan pada DIPA Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Hal ini berbeda dengan Provinsi Papua, dimana dana otomatis menyertai dari setiap lembaga keistimewaannya dalam otonomi Provinsi Papua.
Apakah kita Aceh mau kalah dengan Papua?
Tentu tidak bukan?
Untuk itu mari gisa bak punca (mulai dari awal) dan bangkit dari ketertinggalan setelah membiarkan lembaga istimewa ini (Mahkamah Syar’iyah) selama 18 tahun berjuang sendiri tanpa dukungan nyata dari stakeholders Pemerintahan Aceh.
Adakalanya jika hanya mengandalkan pemerintah pusat menjadi tentu tidak sangat tidak etis dan relevan.
Karena Mahkamah Syar’iyah Aceh memiliki kewenangan berbeda dengan pengadilan agama di daerah lain di Indonesia yang menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.
Oleh karena itu, kami secara pribadi telah melakukan langkah-langkah strategis yang dapat dilakukan untuk mewujudkan peningkatan kualitas, integritas dan profesionalisme hakim Mahkamah Syar’iyah Aceh.
Perlu diketahui yang paling fatal dari salah satu eksistensi Mahkamah Syar’iyah dalam sistem protokoler kenegaraan apabila kami Level Provinsi kemudian kabupaten Kota absen dari Pelantikan Gubernur wakil gubernur, bupati- wakil bupati dan wali kota – wali kota adalah tidak sah pelantikannya, itu sudah wajib diperhatikan dengan seksama kedepan.
Mahkamah Syar’iyah Aceh sedang berupanya mengenai kuantitas jumlah hakim yang ideal dengan jumlah kasus yang terus meningkat. Keberadaan jumlah hakim di Mahkamah Syar’iyah Aceh terus kami upayakan kepada pemerintah pusat.
Tapi pada sisi lain, penganggaran kebutuhan sarana dan prasarana di bidang perdata dan pidana (jinayah), perlu mendapat dukungan di eksekutif dan legislatif di Aceh secara berjenjang dari Provinsi hingga kabupaten/kota secara hirearki.
Terutama dalam melakukan rekrutmen hakim, panitera serta juru sita setiap tahunnya, karena permasalahan minimnya jumlah hakim sudah menjadi permasalahan nasional pengadilan di seluruh Indonesia.
Mahkamah Syar’iyah Aceh sebagai lembaga solusi atas konflik Aceh, harus terus mendapat dukungan untuk infrastuktur dan suprastrukturnya.
Kalau semua pihak di Aceh tidak peduli atas keberadaannya, maka kita menjadi generasi yang melupakan sejarah masa lalu.
Pelaksanaan Syariat Islam Kaffah di Aceh sangat ditentukan oleh keberadaan Mahkamah Syar’iyah Aceh.
Baru kemudian disusul Dinas Syariat Islam dan Wilayatul Hisbah.
Pembagian tugas dan kewenangan telah sukses dilakukan pada awal-awal pembentukan.
Saya menjadi saksi sejarah dari gagasan pembentukan ketiga lembaga tersebut.
Makanya lembaga-lembaga keistimewaan Aceh ini perlu dirawat dan dijaga eksistensinya.
Baca juga: Diresmikan Presiden, BSI Bertekad Jadikan Indonesia Pusat Gravitasi Ekonomi Syariah Dunia
Baca juga: Dewan Syariah Aceh Dikukuhkan, Bakal Awasi Kinerja Seluruh Lembaga Keuangan Syariah
Ekonomi Syar’iyah
Aceh telah memberlakukan ekonomi Syariah dalam sistem perekonomiannya.
Melalui Qanun Nomor 11 tahun 2018 tentang LKS (lembaga keuangan syariah).
Perkara-perkara ekonomi syariah nantinya akan diadili di Mahkamah Syar’iyah Aceh.
Secara internal-vertikal, Mahkamah Syar’iyah telah mempersiapkan kompetensi hakim berbasis pengadilan ekonomi Syariah.
Hal ini, persis seperti mempersiapkan hakim di Mahkamah Syar’iyah dalam mengadili persoalan pidana anak.
Dimana hakim-hakim Mahkamah Syar’iyah telah mengikuti diklat dari Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Lahirnya Mahkamah Syar’iyah Aceh, tidak terlepas dari sejarah dan cita-cita pelaksanaan Syariat Islam kaffah.
Syariat Islam menjadi identitas dan pedoman hidup masyarakat Aceh.
Mahkamah Syar’iyah memiliki komitmen dalam upaya menyukseskan qanun LKS.
Para pihak yang berselisih dalam sengketa Ekonomi Syariah di Mahkmah Syar’iyah akan ditangani dengan baik.
Sesuai dengan asas hukum Mahkamah Syar’iyah, salah satunya adalah asas wajib mendamaikan, asas fleksibilitas cepat dan biaya ringan, dan asas perlindungan HAM.
Tingkat kepercayaan masyarakat Aceh terhadap Mahkamah Syar’iyah sangat tinggi dalam pelaksanaan Syariat Islam.
Ini ikut memberi optimisme bahwa perkara-perkara ekonomi Syariah nantinya akan diselenggarakan sesuai dengan prinsip peradilan.
Masyarakat Aceh merasa puas dengan pelayanan yang diberikan pengadilan dan proses penyelesaian perkara juga juga sangat sederhana dan berbiaya ringan di Mahkamah Syar’iyah.
Apalagi ditengah keterbukaan informasi Publik, Mahkamah Syar’iyah sudah sangat terbuka dan meja informasi (PTSP) sudah difungsikan setiap saat.
Sehingga kalau ada masyarakat yang ingin mendapat informasi segera dapat dilanjutkan tahapannya.
Namun demikian, sebuah pertanyaan patut diajukan, qua vadis Mahkamah Syar’iyah di Aceh?
Wallahualam.
*) PENULIS adalah Ketua Mahkamah Syar’iyah Provinsi Aceh. Email: saya.nyak-ross@yahoo.com
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.