Kisah Inspiratif
Kisah Pria Lhokseumawe Sukses Berkarir di RS Australia, Sempat Gagal ke Belanda dan Jual Semua Aset
Setelah berhasil bangkit, dia pun harus mengorbankan semua aset yang sudah dia kumpulkan dari nol, untuk bisa berangkat ke Australia.
Penulis: Yeni Hardika | Editor: Zaenal
Laporan Yeni Hardika | Banda Aceh
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - "Ridhallahi fii ridhal wa lidain", yang berarti ridha Allah terletak pada ridha kedua orang tua.
Itulah prinsip yang selalu dipegang teguh oleh Ridwan Amin RN (41), pria asal Lhokseumawe yang sukses menjajaki karirnya sebagai perawat di rumah sakit ternama di Australia.
Pria kelahiran 13 Mei 1979 dari Desa Alue Awee, Kecamatan Muara Dua ini begitu yakin, bahwa kesuksesan yang dia raih saat ini tak terlepas dari restu dan ridha kedua orang tuanya.
Ridwan kini bekerja sebagai seorang perawat di salah satu rumah sakit ternama di Melbourne, kota dengan populasi penduduk terbanyak kedua di Australia, setelah Sydney.
Sebelum bekerja di Werribee Mercy Hospital, yakni rumah sakit umum yang berada di pinggiran Kota Melbourne, Ridwan juga pernah bekerja di beberapa rumah sakit di lain di Australia.
Ayah dari tiga anak ini sempat bekerja di Royal Prince Alfred Hospital, Sydney pada tahun 2007-2016 dan The Alfred Hospital, Melbourne pada tahun 2017-2018.
Ia juga menjadi pengurus di beberapa organisasi, yaitu Indonesian Moeslem Nurses Association (IMNA) Australia, Ashabul Kahfi Islamic Centre (AKIC) Sydney, Seuramoe Aceh Victoria (SAV), serta penanggung jawab Jamboe Charity Australia.
Baca juga: Perkenalkan, Ini Jamboe Charity Australia, Wadah Kemanusiaan Warga Aceh di Negeri Kanguru
Baca juga: Viral Kisah Pemulung Cilik Ingin Air Mineral saat Diajak ke Minimarket, Pengunggah: Ambil Apa Aja
Pada tahun 2014 hingga 2017, ia sempat dipercayakan sebagai Ketua Aceh Australia Society (AAS) 2014-2017.
Ridwan kini merasa bangga atas semua yang telah dia raih.
Keinginannya untuk bisa bekerja di luar negeri tercapai sudah.
Tentu saja, kesuksesan yang dia peroleh saat ini bukan semudah membalikkan telapak tangan serta ada pengorbanannya.
Di awal perjalanan karirnya, Ridwan gagal berangkat ke Belanda setelah sekian bulan menghabiskan biaya dan waktu mengikuti berbagai training di Jakarta.
Dia juga sampai hidup 'luntang-lantung' di perantauan, karena kehabisan biaya.
Setelah berhasil bangkit, dia pun harus mengorbankan semua aset yang sudah dia kumpulkan dari nol, untuk bisa berangkat ke Australia.
"Sekitar tiga bulanan lah saya sempat luntang-lantung hidup di Jakarta. Itu cerita sedih," kata Ridwan mengawali kisahnya saat dihubungi Serambinews.com melalui panggilan telepon via WhatsApp beberapa waktu lalu.
Baca juga: Kisah Muhammad Yusni, Dulu Bandar Narkoba, Kini Kades di Deliserdang Ini Diserang Pengedar Narkotika
Baca juga: Kisah Mahasiswa Negara Afrika Memilih Kuliah ke Aceh dan Takjub Melihat Banyaknya Masjid
"Dari segi intelektual, saya tidak pinter-pinter banget. Nilai akademis saya itu biasa-biasa aja. IPK saya pas-pasan,"
"Saya juga bukan berasal dari keluarga kaya. Saya dari keluarga miskin. Orang tua saya cuma penjual ikan, mama juga tidak bekerja, jadi ya memang tidak ada," lanjutnya.
Ridwan yang merupakan alumni MTS dan MAS Dayah Ulumuddin, Cunda, Kota Lhokseumawe awalnya tidak memiliki keinginan untuk masuk ke bidang keperawatan.
Dia mengaku memiliki cita-cita menjadi seorang dokter.
Namun karena keterbatasan ekonomi, untuk tetap menjaga cita-cita anaknya tak jauh dari bidang kesehatan, orang tua Ridwan mengarahkan anaknya untuk masuk ke bidang keperawatan.
"Jadi orang tua dalam tanda kutip ya, udah lah akper yang lebih mudah dapat kerja, kemudian dekat rumah," cerita Ridwan soal orang tuanya yang sempat memintanya masuk ke salah satu akademi keperawatan yang berada di sekitar tempat tinggalnya.
"Tapi saya ga lulus. Karena saya ga suka jadi saya ga baca soal (ujian). Itu langsung jawab asal, 5 menit langsung selesai saya jawab," ungkapnya.
Dia pun mendapat tawaran masuk di salah satu akademi keperawatan swasta di Medan, yang saat itu baru-baru saja dibuka.
Baca juga: Kisah Gadis Suku Kreung, Bermalam di Gubuk, Berhubungan Badan dengan Banyak Pria Demi Dapat Jodoh
Belum pernah menginjakkan kaki di Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara, bermodal nekat dan pegangan uang 200 ribu, dia pun berangkat ke Medan.
"Jadi saya ke Medan itu bukan untuk kuliah, tapi karena ingin merantau," sebutnya.
Setelah lulus dari Akper HarMa, Medan, Ridwan yang bekerja di rumah sakit yang dikelola oleh akademi keperawatan itu mendapat informasi adanya pelatihan yang diadakan oleh perusahaan penyedia tenaga kerja profesional untuk berangkat ke Belanda.
"Sebenarnya saya ga tertarik ke luar negeri dulu, tapi tertarik ke Belanda, karena saya ingin mempelajari sejarah tentang Aceh. Yang saya tau sejarah Aceh paling lengkap ada di perpustakaan Belanda. Itu motivasi saya ingin berangkat ke sana," kata Ridwan.
Sayangnya, setelah membuat pelatihan selama 6 bulan yang berbasis di Jakarta, perusahaan itu gagal mengikat kerjasama dengan Belanda.
Alhasil, Ridwan serta teman-temannya seperti digantung oleh harapan hingga pada akhirnya gagal berangkat.
"Setelah itu ada kawan-kawan saya yang berhasil berangkat (ke Belanda) lewat perusahaan lain, ada yang ngajak saya. Tapi karena khawatir dan takut gagal kedua kali, saya bilang mereka aja dulu yang berangkat,"
"Waktu itu saya bilang, saya mau cari kerja dulu. Karena saya udah ga ada uang sama sekali, mau ngelapor ke Aceh ga berani, malu. Jadi saya mau berjuang dulu di Jakarta, cari kerja untuk bertahan hidup," jelasnya.
Ridwan yang saat itu berusia sekitar 22 tahun menjalani kehidupan dengan biaya pas-pasan, hingga akhirnya berhasil mendapat pekerjaan di salah satu klinik tiga bulan setelahnya.
Baca juga: Kisah Mantan Juru Masak Hasan Tiro Dipuji Istri Mantan Presiden Amerika Serikat
Sembari bekerja dia melanjutkan pendidikannya ke jenjang S1 di Stikes Binawan, Jakarta, yang sekaligus merupakan jembatan karirnya di Australia.
Pada tahun 2004, dia mengikuti program kursus Bahasa Inggris yang diadakan oleh kampus tersebut untuk diberangkatkan ke Australia.
Tapi, dia dihadapkan dengan pilihan yang sulit, bukan soal biaya kursus, tapi karena permasalahan jadwal.
"Diterima kursus Bahasa Inggris untuk ke Australia itu dilema bagi saya, saya harus buat pilihan. Pertama saya keluar dari pekerjaan dan fokus ke Bahasa Inggris. Kedua, tidak usah ikut program ini, lanjutkan bekerja. Program kuliahnya mulai jam 7 pagi sampai jam 6 sore. Jadi tidak ada waktu bekerja,"
"Waktu itu saya sudah punya motor dan sanggup sewa rumah sendiri. Kalau saya gagal saya harus mulai dari nol lagi. Ikut program ini, saya harus jual semuanya untuk biaya hidup. Karena program itu masanya 4 bulan tanpa berhenti" paparnya.
Dikatakannya, saat berdiskusi soal pilihan itu pada orang tuanya, mereka hanya bisa memberi dukungan serta doa.
Begitupun kakak kandungnya yang mengembalikan keputusan itu pada dirinya, terlebih setelah sempat gagal berangkat ke luar negeri sebelumnya.
"Kata kakak saya, kalau saya yakin, jual aja semua yang saya punya dan fokus ikut kuliah. Kalau seandainya gagal, uang maharnya akan dia jual supaya saya bisa mulai kehidupan lagi di Jakarta," ujar Ridwan dengan nada sedihnya.
Baca juga: VIDEO Semarak Idul Fitri di Australia Barat, Tim Meunasah Aceh Shalat Ied di Mills Park Center
Berkat dukungan sang kakak, Ridwan akhirnya memutuskan menjual semua aset yang dia miliki di Jakarta, termasuk barang-barang isi rumahnya seperti televisi, kulkas, kompor hingga kasur.
Total penjualannya dia gunakan untuk menopang kehidupannya selagi fokus mengikuti kursus Bahasa Inggris secara gratis di kampusnya selama 4 bulan.
"Saya masih ingat totalnya (jual aset) Rp 5.400.000. Kalau dengan nilai uang sekarang mungkin sekitar Rp 15 juta. Sudah saya target cukup untuk hidup 4 bulan. Tapi setelah putuskan itu, ada teman yang ngajak tinggal di rumahnya. Uang saya disuruh simpan," ceritanya.
Pada tahun 2006, dia pun berhasil lulus dan berangkat ke Australia.
Diakui Ridwan, dia begitu ingin bekerja di Australia agar bisa menghasilkan uang dengan cepat.
Menurut dia, penghasilan yang diperoleh di negara itu lebih besar, sehingga bisa segera mungkin terkumpul dan digunakan untuk membahagiakan kedua orang tuanya.
Dia juga menambahkan rintangan lainnya saat berangkat ke Australia pada awal Januari 2006.
Ridwan sempat ditahan dan diperiksa secara ketat di Bandara selama 3 Jam, yang ketika itu sedang dalam penjagaan ketat usai heboh kasus bom Bali.
"Dulu itu lagi panas-panasnya kasus bob Bali. Kebetulan nama saya waktu itu Ridwan Muhammad Amin, ada Muhammad-nya. Saya juga berjenggot,"
"Saya sempat ditahan di bandara, diperiksa sampai ditelpon ke intelkom, ke mabes. Ditanya riwayat hidup saya di Jakarta, di Indonesia itu gimana," tambahnya.
Tapi dibalik semua rintangan yang dia hadapi, Ridwan percaya bahwa jika sudah rezeki, apapun masalahnya tetap akan sampai.
Dan terlebih penting lagi, katanya, segala bentuk kesuksesan yang diraih tak lepas dari kekuatan doa dari orang tua.
"Saya punya prinsip dari dulu sampai sekarang, sama keluarga dan adik-adik saya juga selalu bilang ini: Ridhallahi fii ridhal wa lidain. Kalau ibumu bapakmu ga ridha sama kamu, kamu tu ga pernah tentram dengan hidupmu," ujarnya.
"Setiap saya mau ujian kerja atau apapun, saya pasti telpon mama, minta didoain supaya lulus. Alhamdulillah setiap saya ikut tes sejak dari Medan, saya ga pernah gagal. Walaupun lulusnya itu pas-pasan," sambungnya.
Kini, dia sudah bahagia dan bangga menjalani pekerjaan sebagai seorang perawat.
Dia pun sudah mengambil gelar profesi di University Technology of Sydney (UTS) yang berlangsung selama 9 bulan.
Ridwan juga tak lupa membagikan kalimat semangat serta motivasinya untuk bisa sukses berkarir di luar negeri sebagai penutup ceritanya.
"Pertama minta restu pada orang tua. Kedua siapa yang bersungguh-sungguh pasti bisa. Orang yang ke Australia itu ada dua, orang paling pintar atau orang paling kaya. Karena kuliah di sana mahal sekali,"
"Tapi kenapa si Ridwan yang orang bodoh dan orang miskin ini bisa kesana. Menurut saya karena saya suka bergaul dan kalau bekerja ya ikhlas saja. Intinya jangan bersaing untuk menggapai cita-cita, tapi kolaborasi untuk bisa capai satu tujuan. Kompetitif itu imagenya kan saling menjatuhkan," pungkasnya.(Serambinews.com/Yenni Hardika)