Jurnalisme Warga
Lezatnya ‘Timphan’ Labu Kuning
KETIKA mendengar kata timphan, sudah terbayang dalam benak saya ini merupakan makanan yang dibungkus dengan daun pisang, berisi serikaya

OLEH WARDATUL FAJRIAH, Guru SDN 1 Klieng, melaporkan dari Gampong Kajhu, Kecamatan Baitussalam, Aceh Besar
KETIKA mendengar kata timphan, sudah terbayang dalam benak saya ini merupakan makanan yang dibungkus dengan daun pisang, berisi serikaya atau kelapa parut. Bentuknya lebih kurang 2 cm x 8 cm, rasanya manis, sehingga membuat penikmatnya terpikat.
Timphan, salah satu makanan tradisional khas Aceh yang sudah ada sejak masa Kerajaan Aceh. Kue ini masih dilestarikan hingga sekarang. Biasanya, timphan dihidangkan pada saat acara penting dalam kehidupan masyarakat Aceh seperti hari raya, sunat rasul, walimatul ‘urs, maulid, arisan, dan acara-acara kenduri lainnya.
Kue unik ini selalu tersedia untuk dicicipi oleh tamu undangan yang hadir. Dalam adat perkawinan di Aceh ada bawaan yang disebut hantaran yang diserahkan oleh pihak mempelai laki-laki dan wanita (dara baro dan linto baro). Pihak wanita biasanya membawa berbagai macam kue khas Aceh seperti bhoi, meuseukat, dodoi, dan wajik. Timphan menjadi menu utama di antara bawaan hantaran tersebut, jumlahnya bisa mencapai 100-200 potong yang disusun rapi dan cantik dalam sebuah talam, sehingga tampak lebih berkesan. Kemudian, ditutup dengan kain pembungkus talam khas Aceh berwarna kuning, dalam bahasa Aceh disebut seuhab. Biasanya kain ini diberi bordir dengan benang emas agar tampilannya lebih menarik.
Pada acara resmi pemerintahan, timphan menjadi menu populer yang wajib ada untuk dihidangkan kepada para undangan, baik tamu dalam negeri maupun mancanegara. Momen kedatangan warga asing kerap dimanfaatkan oleh pemerintah untuk promosi aneka keunggulan Aceh, baik wisata bahari maupun kulinernya yang menggugah selera, termasuk timphan, guna menarik wisatawan saat menikmati panorama Aceh dan lezatnya kuliner yang disajikan.
Pendatang asing, terkadang bingung saat disuguhkan timphan. Bingung bukan karena lelah perjalanan atau belum minum Paramex, tetapi justru karena kesulitan makan timphan. Maklum, makanan ini dilapisi daun yang sangat tipis, plus licin karena berminyak.
Untuk menyantap timphan, bule atau bangsa Arab harus mengikuti teknik makan yang diperagakan masyarakat Aceh, supaya tidak ribet dan belepotan. Namun, bagi tamu asal Malaysia, tidak kesulitan lagi makan timphan, sebab mereka sering melihat dan makan di negerinya aneka jenis lepat. Apalagi keturunan Aceh yang sudah menjadi warga negeri jiran, tentu sering membuat timphan pada momen tertentu.
Timphan merupakan jenis kue basah, rasanya sangat enak, apalagi disajikan dengan secangkir kopi hangat pada pagi hari.
Soal kopi, bukanlah hal sulit. Di Aceh terdapat banyak warung kopi dengan berbagai citarasa, sesuai selera. Uniknya, di Aceh sangat mudah mendapatkan kopi, dengan harga yang masih aman di kantong. Bahkan, mereka yang tak punya uang sepeser pun bisa menikmati kopi, karena nilai sosial masyarakat Aceh untuk berbagi tergolong tinggi. Jadi, jangan khawatir bila tidak memiliki rupiah, asalkan punya teman, pasti mereka ikhlas berbagi untuk secangkir kopi.
Sejak dahulu, Aceh dikenal sebagai negeri penghasil kopi, terutama kopi dari Dataran Tinggi Gayo yang sudah terkenal seantero dunia. Banyak wisatawan yang ke Aceh untuk mencari kopi, bahkan langsung mengunjungi kebun-kebun yang terbentang luas di daerah Gayo, meliputi Bener Meriah, Aceh Tengah, dan Gayo Lues.
Kembali lagi ke pembahasan timphan. Makanan khas ini biasanya terbuat dari pisang dan tepung ketan. Namun, kali ini ada varian rasa baru dari timphan, yaitu rasa labu kuning, karena terbuat dari bahan baku labu kuning. Di Tanah Rencong, labu kuning sangat mudah ditemukan di pasar-pasar, dengan harga yang terjangkau, apalagi di daerah Laweung, Kabupaten Pidie, di pinggir jalan Medan-Banda Aceh, sangat banyak dijual labu kuning dan menjadi ciri khas daerah ini. Andai pembaca melintasi kawasan itu, jangan lupa mampir, beli labu, karena bisa membantu untuk menghidupkan ekonomi petani labu.
Siapa pun yang ingin membuat timphan, jika sulit mendapatkan pisang atau harganya mahal maka labu kuning bisa menjadi alternatif sebagai pengganti pisang. Yang penting, timphan tersedia pada momen penting, seperti pada saat hari raya atau kenduri.
Timphan yang bahan dasarnya labu kuning memberi rasa baru bagi penikmat kue ini. Warnanya kuning dan menggiurkan, ditambah isi serikaya ataupun kelapa parut yang manis nan legit, dibungkus dengan daun pisang muda. Lebih nikmat lagi jika dibalut dengan daun pisang monyet alias pisang wak. Jika menggunakan daun pisang lain yang usianya lebih tua, justru akan mengurangi citarasa kue ini dan akan mengubah warnanya sehingga tidak menggiurkan untuk dicicipi.
Pada hari Lebaran, khususnya Idulfitri, rasanya tidak istimewa jika tiada menu yang satu ini. Timphan kerap menjadi incaran pertama para tamu yang hadir, selain lontong. Terutama saudara-saudara yang sudah tua, mereka lebih mencari makanan yang lengket ini, karena selain khas saat Lebaran, lepat berdaun pisang ini mudah disantap, meskipun oleh orang yang tak punya gigi lagi. Jadi, meskipun ompong, tak perlu resah, masih bisa kok menyantap timphan. Cukup dikunyah dengan gusi ke kanan sekali, ke kiri sekali langsung bisa ditelan sambil ketawa riang dengan para tamu.
Bukan hanya kaum lansia, anak muda pun kepincut dengan timphan Aceh, karena teksturnya yang lembut dan rasanya manis. Keberadaan kue yang satu ini akan menambah keindahan hari raya dan mempererat silaturahmi antarkeluarga.
Nah, saya juga ingin berbagi bahan-bahan yang harus disiapkan untuk membuat timphan labu kuning dengan dua varian rasa. Bagi yang doyan timphan asoe kaya, bahannya cukup lima butir telur, 250 ml santan kental, 250 gram gula pasir, 50 gram tepung maizena, garam secukupnya, tiga lembar daun pandan, dan pewarna sesuai selera. Semua bahan ini diaduk hingga merata. Tak perlu saya jelaskan secara detail, toh hampir seluruh perempuan Aceh bisa memasak timphan.
Sedangkan mereka yang doyan timphan isi kelapa parut, bahannya terdiri atas satu buah kelapa parut (agak muda), 200 gram gula merah, dua lembar daun pandan, gula merah secukupnya, garam secukupnya, 50 gram air. Selanjutnya, 600 gram labu kuning, 500 gram tepung ketan, garam secukupnya, minyak untuk oles, dan daun pisang muda sebagai pembungkus.
Setelah bahan-bahan disiapkan, tiba saatnya untuk mengeksekusi bahan-bahan tersebut menjadi timphan, dan jangan lupa baca basmalah sebelum memulai agar makanan tersebut berkah dan bermanfaat bagi tubuh.
Langkah pertama adalah membuat isi, baik isi kelapa maupun isi serikaya. Isi kelapa parut dimasak hingga merah. Untuk isi serikaya, campurkan semua bahan hingga matang. Lalu, kupas labu kuning, cincang halus, cuci yang bersih kemudian dikukus selama lebih kurang 30 menit. Kemudian, tumbuk labu kuning hingga halus, boleh juga menggunakan blender agar lebih praktis.
Selanjutnya, campurkan labu kuning yang sudah dihaluskan dengan tepung ketan, bentuk adonan tersebut bulat-bulat kemudian pipihkan adonan di atas daun yang sudah diolesi minyak. Jika tidak diolesi minyak akan sulit nanti ketika dimakan karena lengket tepung pada daun. Kemudian, masukkan isi yang telah disediakan, terakhir kukus timphan yang sudah dibentuk selama 30 menit. Setelah matang, timphan siap disantap. Tapi jangan buru-buru, tunggu hingga dingin. (*)