Salam

KPK Mengusut, Ada Korupsi Lagi di Aceh?

Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pekan ini kembali memeriksa beberapa pejabat di lingkungan Pemerintah Aceh

Editor: bakri
(KOMPAS.com/Ardito Ramadhan D)
Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri 

Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pekan ini kembali memeriksa beberapa pejabat di lingkungan Pemerintah Aceh. 

Sumber‑sumber menyebutkan, pejabat yang diperiksa sebanyak enam orang.

Dari jumlah itu, lima pejabat di Dinas Perhubungan Aceh dan satu lagi mantan pejabat eselon dua di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Aceh.

Pelaksana tugas (Plt) Juru Bicara (Jubir) KPK, Ali Fikri, yang mengakui adanya pemeriksaan itu, tidak menjelaskan kasus apa yang sedang diusut.

"Benar, sebagaimana yang pernah kami sampaikan bahwa sejak beberapa waktu lalu ada kegiatan penyelidikan KPK di Aceh. Antara lain melakukan permintaan keterangan dan klarifikasi terhadap beberapa pihak terkait," tulis Ali Fikri.

Namun, Ali Fikri tidak menjelaskan secara detail tentang pemeriksaan tersebut.

"Karena saat ini masih proses penyelidikan, kami belum bisa menyampaikan lebih lanjut mengenai materi kegiatan dimaksud. Perkembangannya nanti kami akan informasikan lebih lanjut," jelasnya.

Tapi, sebelumnya tersiar kabar bahwa KPK memeriksa beberapa pejabat Pemerintah Aceh untuk dimintai keterangan atas dugaan korupsi terkait pengadaan tiga unit Kapal Aceh Hebat 1, 2, 3, dan kasus‑kasus lain yang didanai dengan skema tahun jamak atau multiyears contract (MYC).

Penyelidikan dugaan kasus korupsi di Aceh yang dilakukan KPK sejak awal Juni lalu, sudah menimbulkan banyak pertanyaan berbagai kalangan masyarakat di Aceh.

Publik di Aceh bertambah heboh ketika KPK memanggil Sekda Aceh, dr Taqwallah MKes, dan Kadis Perhubungan Aceh, Junaidi, ke Jakarta pada 4 Juni 2021.

Keduanya dipanggil KPK atas dugaan kasus korupsi yang sedang diselidiki lembaga antirasuah itu.

Disebut‑sebut terkait pengadaan Kapal Aceh Hebat.

Sesungguhnya, publik di Aceh sudah sejak lama berharap tidak ada lagi kasus korupsi di Aceh.

Dan, karenanya, kasus yang sedang diselidiki KPK ini hendaknya berhasil negatif. Artinya tidak ada unsur korupsi di dalamnya.

Jika, kemudian terbukti memang ada unsur korupsi, maka kita berharap ini menjadi kasus korupsi terakhir dalam pemerintahan Aceh.

Kepada KPK, kita juga memohon untuk secara serius memonitor kegiatan pemerintah di Aceh agar kelak para eksekutif di provinsi maupun di kabupaten/kota di Aceh tak ada lagi yang terjerat korupsi.

Kita mencatat, sejak kehadirannya, KPK sudah menciduk dua Gubernur Aceh, serta beberapa bupati, pejabat, dan pengusaha.

Kita shampir setiap kesempatan mengelorakan semangat untuk memberantas korupsi.

Para aktivis antikorupsi juga tak pernah bosan berteriak “tangkap koruptor, hukum gantung koruptor”, dan banyak lagi eskpresi kemarahan lain yang pada intinya mengecam bahwa korupsi itu sadis, tidak bermoral, membunuh, dan lainnya.

Memang, melihat fenomena korupsi yang berkembang selama ini mengindikasikan betapa budaya korupsi di daerah tercinta ini sangat mengkawatirkan dan meresahkah masyarakat.

Entah itu karena memang benar‑benar terbukti korupsi atau faktor‑faktor lainya.

Korupsi adalah ada pada wilayah hukum dan moral.

Namun, kiranya bicara moral tidak lepas dari budaya dan agama.

Untuk bisa memahami budaya dan agama diperlukan pengetahuan dan cara yang baik tentang hal tersebut. Terutama pendidikan yang berkaitan dengan akhlak dan moral.

Ketika Aceh akhirnya memilih sebagai daerah yang menjalankan syariat Islam, kita berharap status daerah yang religius ini berkorelasi dengan perbaikan sikap moral pejabat pemerintah dan mitra-mitranya.

Kita berharap kasus korupsi akan tidak ada lagi di negeri syariah ini.

Namun, ketika kemudian ternyata di Aceh masih ditemukan kasus-kasus korupsi, termasuk yang besar, maka dapat kita bayangkan apa yang terjadi jika negeri tak memilih menerapkan syariat Islam?

Mungkin kasus korupsi bisa jadi sangat merajalela di sini.

Sekali lagi, kita berharap semoga tak ada lagi kasus korupsi di negeri ini.

Dana otsus, dana bagi hasil migas yang hanya tinggal sedikit tahun lagi, hendaknya benar-benar dapat dinikmati masyarakat melalui berbagai program dan proyek pembangunan perekonomian.

Jadi, tidak lagi jatuh ke rekening-rekening oknum pejabat dan oknum pengusaha!

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Geng dan Gagalnya Pembinaan Sosial

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved