Kupi Beungoh
Ekonomi Gampong: Bakongan, Barsela, Reaganomics, dan Kekeliruan Sri Mulyani (I)
Soalnya sangat sederhana. Reagan dipermalukan oleh Carter, karena dia salah dalam menguraikan terminologi resesi dan depresi ekonomi AS.
Presiden, para Menteri, Anggota Dewan, Gubernur, Bupati, dan jajaran birokrasi setiap hari melaporkan tentang keadaan yang belum membaik, dan belum tahu lagi kapan akan membaik.
Baca juga: Indonesia Masuki Fase Resesi Ekonomi, Penjualan Sepeda Motor Hanya 3,6-3,7 Juta Unit
Ilusi Sri Mulyani dan Janet Yellen
Keadaan lapangan di Bakongan, Aceh Selatan ternyata 100 persen terbalik dengan apa yang hampir setiap hari keluar dari ucapan Sri Mulyani, atau Rizal Ramli, atau Profesor ekonomi ternama dari kampus hebat nasional sekalipun.
Ternyata, cerita rakyat Bakongan juga tidak sama dengan apa yang dikuliahkan oleh Janet Yellen, Gubernur Bank Sentral AS kepada mitra kerjanya, petinggi ekonomi, baik dari negara-negara G7, maupun dari negara-negara G 20, tentang keparahan ekonomi dunia.
Pendek kata, melihat kenyataan rakyat Bakongan hari ini membuat kita-paling kurang saya-, yakin, untuk kasus Bakongan dan yang sejenisnya, berbagai ungkapan Sri Mulyani, Rizal Ramli, Paul Krugman, bahkan Janet Yellen sekalipun itu hanya cerita pergantar tidur, hanya ada di benak dan kepala mereka.
Berbagai cerita tentang kontraksi ekonomi, pemutusan hubungan kerja, pengangguran, hilangnya pendapatan, tak ada, dan tak berlaku di Bakongan.
Apa alasan Bakongan tidak punya cerita krisis ekonomi seperti yang dialami di hampir semua tempat di dunia akibat Covid-19?
Hari ini semua orang tahu, mulai dari orang awam, akademisi, profesional, para politisi, dan para pemimpin, bahwa Covid-19 telah membawa kerusakan besar dunia.
Covid-19 telah menimbulkan pandemi ekonomi yang menghajar apa saja dan siapa saja yang berurusan dengan uang dan sumber daya.
Dan itu adalah kiamat ekonomi, yang butuh waktu tahunan untuk menyembuhkannya.
Apa yang membuat Bakongan menjadi lain adalah komoditi yang ditanam dan yang menghasilkan pada hari ini.
Komoditi itu adalah kelapa sawit.
Memang benar, pada semester pertama Covid-19 pada tahun 2020, keadaan agak parah, karena harga tandan buah segar sekitar 1.000 rupiah atau lebih rendah pada saat itu.
Harga TBS itu kini sudah mencapai 1.500 rupiah atau lebih, dan itu terjadi semenjak tahun 2021.
Itulah yang membuat kondisi ekonomi Bakongan menjadi sangat berbeda dengan uraian Sri Mulyani, mantan direktur pelaksana Bank Dunia, dan Menteri Keuangan saat ini.
Baca juga: Harga TBS Kelapa Sawit Masih Stabil