Jurnalisme Warga
‘Bullying’ dan Fenomena Teman Sebaya
Sekolah merupakan rumah kedua bagi pelajar. Sebagian besar waktu yang mereka punya dihabiskan di sekolah bersama teman-teman dan guru

OLEH NELLIANI, M.Pd., Guru SMA Negeri 3 Seulimeum, Aceh Besar, melaporkan dari Desa Seuleu, Darussalam, Aceh Besar
Sekolah merupakan rumah kedua bagi pelajar. Sebagian besar waktu yang mereka punya dihabiskan di sekolah bersama teman-teman dan guru. Sebagai tempat berkumpulnya siswa dengan ragam karakteristik dan latar belakang, lingkungan sekolah menjadi ruang pembelajaran mental dan karakter peserta didik. Segala interaksi yang terjadi pun senantiasa mewarnai kehidupan belajar mereka.
Namun, ada kalanya interaksi itu tidak selamanya rukun dan harmonis. Perbedaan karakter dan latar belakang peserta didik kerap memicu konflik yang mengarah pada perilaku bullying (perundungan). Baik itu dilakukan antarteman, senior terhadap junior, atau siswa membully gurunya. Sebagaimana berita beberapa waktu lalu, seorang santri asal Aceh Tamiang meninggal dunia diduga akibat dianiaya senior di sebuah pesantren di Sumatera Utara (Serambinews.com, 7/6/2021).
Para ahli berpendapat, bullying merupakan suatu tindakan atau perilaku agresif yang dilakukan seorang atau sekelompok orang dengan tujuan menyakiti fisik maupun mental. Perilaku bullying melibatkan kekuatan atau kekuasaan yang tidak seimbang, sehingga korban tidak mampu mempertahankan diri untuk melawan tindakan negatif yang diterimanya.
Ada semacam kepuasan bagi pelaku ketika bisa melampiaskan kekesalannya sehingga membuat korban menderita. Pada kasus-kasus ekstrem, tindakan tersebut menyebabkan trauma psikis berkepanjangan di pihak korban, bahkan berujung pada kematian.
Penyebab
Dalam dunia pendidikan, penyebab siswa terlibat sebagai pelaku bullying dapat diidentifikasi dari banyak faktor. Antara lain, kondisi keluarga sering bermasalah, media sosial, dan peran lingkungan pertemanan. Faktor-faktor tersebut memengaruhi perilaku dan mental anak yang membuat mereka mudah terjerumus dalam tindak perundungan.
Namun, saya membatasi bahasan ini hanya pada lingkungan pertemanan saja. Di mana hal tersebut sering terabaikan dari perhatian guru dan para orang tua.
Usia remaja merupakan masa pencarian jati diri. Pada fase ini, anak lebih tertarik menghabiskan banyak waktu di luar rumah bersama teman-temannya. Terlebih bagi remaja dengan keluarga “broken home” atau suasana rumah yang tidak ramah, anak akan berusaha mencari kenyamanan dari lingkungan pergaulannya. Tempat yang dianggap bersimpati padanya, senasib, serta mampu memberikan solusi atas masalah yang dihadapi yaitu kelompok pertemanan sebaya.
Menurut Santrock, teman sebaya adalah sekelompok anak yang memiliki kematangan usia dan kedewasaan yang hampir sama. Pada tingkat jenjang menengah atas (SMA), anak-anak ini berada pada rentang usia remaja awal antara 15-18 tahun. Komunitas sebaya terbentuk karena adanya kesamaan karakteristik setiap anggotanya baik hobi, status sosial, tingkatan kelas, pengalaman hidup, ataupun kesamaan tujuan. Perasaan senasib membuat keterikatan emosional antaranggota kelompok ini erat dan solid.
Lalu, bagaimana hubungan pertemanan ini dengan tindakan bullying?
Lingkungan pergaulan sebaya (peer group) memiliki pengaruh dominan terhadap perkembangan kepribadian peserta didik. Dari sinilah berawal munculnya kelompok-kelompok (genk) teman sebaya. Dalam satu kelas saja bisa terbentuk lebih dari satu genk, tidak jarang antargenk saling berkompetisi dan unjuk kekuatan. Kekuatan dan dukungan dari kelompok genk inilah yang kemudian digunakan untuk merundung siswa lain yang berbeda dengan mereka.
Uniknya, peserta didik yang gemar membentuk komunitas genk adalah mereka yang secara akademik maupun perilaku “bermasalah” di sekolah. Biasanya ketua genk adalah siswa paling populer dalam kelompok tersebut, dari sisi kenakalan maupun dari kekuasaannya. Dengan dominasinya, sosok ini memberi pengaruh negatif terhadap komunitas dalam bentuk ide, ajakan, maupun contoh perbuatan bahwa bullying merupakan gaya hidup remaja serta menjadi hal biasa dilakukan dalam pergaulan antarteman. Akibatnya, saat melakukan perundungan anak-anak ini cenderung menunjukkan superioritas, bahkan terkadang di luar batas kewajaran.
Cara para remaja ini membully pun beragam, dari bullyan dengan kata-kata (verbal) sampai mengarah pada kekerasan fisik. Sebenarnya, bullyan verbal sudah menjadi fenomena yang tidak asing lagi dalam pergaulan remaja masa kini. Disadari atau tidak, dalam setiap interaksi yang dilakukan, bisa jadi mengarah pada perilaku perundungan. Hal tersebut akibat dari gaya komunikasi yang cenderung agresif dan terkesan mengintimidasi lawan bicara.
Bullying verbal sering terjadi dalam lingkungan pertemanan sebaya dan mudah ditemukan di mana saja. Saat peserta didik berinteraksi di ruang kelas, di kantin sekolah bahkan terkadang di hadapan guru sekalipun, baik dalam kondisi serius maupun bercanda, sengaja atau tidak sengaja.