Berita Banda Aceh
HIMPASAY Gelar Diskusi Publik Demokrasi Sebagai Pilar Pembangunan Aceh
"Tujuannya untuk mencerdaskan publik. Agar memberi pemahaman kepada masyarakat terkait etika komunikasi dalam kehidupan berdemokrasi
Sementara dalam konteks demokrasi di Aceh sebagai daerah yang secara undang-undang menerapkan syariat Islam, menurut Wira juga tidak mungkin bertentangan dengan syariat Islam.
Wira menyebutkan, orang-orang sering terjebak dengan pemahaman bahwa demokrasi itu adalah kebebasan yang tidak ada batas. Hal itu membuat sejumlah orang kerap bertindak di luar koridor konstitusi dan hukum.
"Misalnya menggunakan pendekatan ujaran kebencian, hoax, fitnah dan bentuk lain yang tak sesuai dengan adab dan akhlak.
Apalagi berdampak pada perpecahan di tengah masyarakat, maka tidak bisa digunakan di Aceh," ujar Wira.
Bentuk demokrasi yang paling tepat diterapkan di Aceh, menurut Wira, adalah demokrasi yang sesuai dengan adab dan akhlak yang diajarkan dalam Islam.
"Kalau kita detailkan lagi dalam adab penyampaian pendapat dalam konteks Aceh, maka tidak boleh bertentangan dengan tata krama, sopan santun, bahasa yang baik. Karena agama kita mengajarkan demikian."
Pentingnya peran mengawal demokrasi
Sementara itu pemateri lainnya, Guru Besar UIN Ar-Raniry Banda Aceh Prof. Drs. Yusny Saby, MA., Ph.D, dalam pemaparannya menyebutkan macam-macam demokrasi yang dianut negara-negara di dunia. Semua itu memiliki karakteristiknya tersendiri.
Namun, kata Yusny Saby, yang juga terpenting bagi generasi muda adalah mengawal para pelaku demokrasi yang merupakan politisi agar tidak melenceng dari garis yang seharusnya.
Porf. Yusny mengatakan, politik bukanlah segala-galanya. Di atas politik ada agama, akhlak, moral, adab, etika, hingga kepatutan.
Namun Prof. Yusny juga mengingatkan para mahasiswa untuk tidak membenci politik. Para mahasiswa dituntut untuk paham politik agar tidak menjadi korban politik.
"Disinilah peran anda. Melihat pelaku demokrasi ini, sudahkah mereka itu berada di perannya masing-masing," ujar Prof. Yusny.
Menurut Prof. Yusny, boleh saja para pelaku demokrasi yang merupakan politisi menjadi kader partai. Namun kemudian seharusnya menjadi kader bangsa dan menjadi negarawan.
"Jangan sampai pelaku demokrasi sampai meninggalkan khittahnya sebagai pemegang demokrasi," pungkasnya. (*)