Kupi Beungoh
Ekonomi Gampong Bakongan: Pasar dan Adab Baru Global Agribisnis Sawit (X)
Tidak dapat dibantah fenomena produksi kelapa sawit dalam 20 tahun terakhir telah menyita cukup banyak perhatian.
Oleh: Ahmad Humam Hamid*)
MENGGUNAKAN kata-kata adab dalam konteks konsumsi pangan Aceh sebenarnya lebih berkonotasi kepada cara menyajikan dan cara makan makanan.
Yang paling sering disebut misalnya ketika makan, jangan menggunakan tangan kiri, atau ketika mengunyah makanan jangan keluar bunyi yang besar dari mulut, atau jangan bicara ketika makan.
Semua adab makan Aceh itu tidak ada urusannya dengan adab konsumsi minyak nabati global, khususnya minyak sawit, yang kini telah menjadi bagian terbesar dari konsumsi minyak nabati terbesar di dunia.
Yang dimaksud dengan adab dalam konteks minyak nabati global adalah serangkaian perilaku produksi dan konsumsi yang berpedoman kepada prinsip berkelanjutan.
Pesan intinya adalah motto global kehidupan berkelanjutan manusia.
Hal ini cukup beralasan, karena dunia semakin mengakui tentang ancaman kehidupan saat ini yang digempur dari berbagai kegiatan ekonomi yang merusak lingkungan, dan budidaya sawit, termasuk salah satunya.
Motto itu berpijak kepada keselamatan planet, keuntungan ekonomi dan keuangan, dan kesejahteraan manusia.
Dengan demikian, apa yang hendak dicapai adalah sebuah rambu-rambu yang mampu membendung, paling kurang meminimalisir, potensi destruktif lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat dari agribisnis kelapa sawit.
Baca juga: Ekonomi Gampong: Bakongan, Barsela, Reaganomics, dan Kekeliruan Sri Mulyani (I)
Baca juga: Ekonomi Gampong Bakongan: Menanam Jagung di Kebun Sawit, Tesis Denys Lombard Benar di Trumon (IX)
Kompleksitas Dilema Sawit
Tidak dapat dibantah fenomena produksi kelapa sawit dalam 20 tahun terakhir telah menyita cukup banyak perhatian, terutama di kawasan episentrum budidayanya, di Asia Tenggara.
Headline berbagai media, dan tulisan ilmiah di berbagai jurnal akademik mengambarkan keparahan di dua negara ASEAN, Indonesia dan Malaysia, dalam hal deforestrasi, kabul asap lintas negara, dan kepunahan keanekaragaman hayati.
Tidak berhenti dengan ancaman lingkungan, agribisnis sawit oleh perusahaan juga telah membuat perlakuan tidak adil terhadap penduduk lokal, perambahan tanah komunal dan konflik agraria.
Disamping itu juga, sangat sering diberitakan tentang praktek ketenagakerjaan perusahaan sawit yang tidak patuh terhadap standar perburuhan formal yang berlaku.
Tidak hanya protes dan berbagai perlakuan yang diberikan terhadap agribisnis ini baik oleh negara pengimpor produk sawit, ilmuwan, masyarakat konsumen, LSM lingkungan internasional, dan saingan yang terdesak dari keluarga minyak nabati itu sendiri.