Kupi Beungoh

Ekonomi Gampong Bakongan: Pasar dan Adab Baru Global  Agribisnis Sawit (X)

Tidak dapat dibantah fenomena produksi kelapa sawit dalam 20 tahun terakhir telah menyita cukup banyak perhatian.

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/Handover
Prof. Dr. Ahmad Human Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

Terhadap semua realitas itu, sampai tingkat tentu saja benar adanya.

Berbagai tuduhan ada yang benar dan tidak kurang pula berlebihan, dan itu sudah dan sedang terjadi.

Baca juga: Dasar Hukum Potong Timbangan Kelapa Sawit di Pabrik Rugikan Petani Rp 54 Miliar Setahun

Baca juga: Perusahaan Kelapa Sawit di Nagan Bantu Bangun Rumah Warga Kurang Mampu

Pilihan Realistis dan Kompromi

Fakta yang ada saat ini menunjukkan bahwa dalam 25 tahun terakhir ini, 5 persen hutan tropis dunia telah dikonversi menjadi kebun sawit.

Kegiatan itu dikerjakan  oleh perusahaan maupun petani yang tersebar di paling kurang 7 negara, dimana Indonesia dan Malaysia berada pada ranking tertinggi.

Dalam perjalanannya, tidak kurang sejumlah ilmuwan memberi label sawit sebagai kejahatan, bahkan kriminal kemanusiaan.

Mereka lupa bahwa tanaman ini adalah anugerah Tuhan terbesar untuk mayarakat kawasan tropis yang jika dikerjakan dengan benar akan memberikan banyak sekali manfaat.

Kelapa sawit dapat peningkatan pendapatan, penciptaan lapangan kerja, pertumbuhan industri pengolahan dan lanjutannya, dan berbagai ikutan lainnya yang mempercepat pembangunan.

Kalimat kunci yang mesti dipertanyakan terhadap semua protes keras terhadap sawit adalah, peluang apa yang terbuka kepada masyarakat kawasan tropis yang umumnya berstatus negara berkembang, seandainya budidaya sawit dihentikan?

Jika sawit dilihat  sebagai anugerah Tuhan kepada masyarakat tropis, apa yang mesti dilakukan sehingga peluang sawit untuk menjadi punca bala kemanusiaan dapat dicegah?

Sebuah strategi alternatif yang kemudian muncul terhadap polarisasi itu adalah mencari strategi dan teknik budidaya sawit yang dapat memberikan manfaat optimal, dengan sangat sedikit memberikan kerugian lingkungan, ekonomi, dan nonekonomi.

Strategi itu adalah rumusan kompromi aspirasi dan ekspektasi yang membawa sebanyak mungkin pemangku kepentingan terhadap sawit mulai dan konsumen rumah individu dan tangga, sampai dengan petani dan masyarakat lokal, dengan kata kunci “keberlanjutan”.

Ada banyak penjelasan tentang kata keberlanjutan, namun yang paling awal memulai konsep ini datang dari sebuah organisasi nirlaba RSPO- Roundtable on Sustainable Palm Oil.

Lembaga menyatukan berbagai aktor pemangku kepentingan yang berurusan dengan kelapa sawit.

Lembaga ini berfungsi sebagai pemberi sertifikat kepada produk sawit dalam perdagangan internasional.

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved