Kupi Beungoh
Ekonomi Gampong Bakongan: Pasar dan Adab Baru Global Agribisnis Sawit (X)
Tidak dapat dibantah fenomena produksi kelapa sawit dalam 20 tahun terakhir telah menyita cukup banyak perhatian.
Acuan yang dijadikan itu adalah prinsip pertanian dan industri keberlanjutan. Pedoman tentang keberlanjutan di rumuskan dengan berbagai alat ukur yang mesti dipenuhi, sehingga layak di sebut sebagai adab baru komoditi kelapa sawit.
Baca juga: Kelapa Sawit ‘Penyelamat’ Perekonomian Warga Subulussalam Saat Pandemi, Begini Penjelasan Apkasindo
Adab Baru Budi Daya dan Agribisnis Sawit
Apa yang membuat unik tentang adab baru itu adalah ide itu awalnya datang dari produsen raksasa barang-barang kebutuhan rumah tangga global, Unilever pada tahun 2004.
Inisiatif itu kemudian juga mendapat dukungan dari LSM lingkungan internasional WWF, dan sebagaian ilmuwan.
Kepeloporan Unilever yang juga didukung oleh WWF dan sejumlah perusahaan kelapa sawit Malaysia bagaimanapun adalah sebuah keberuntungan untuk negara-negara produsen sawit yang sangat terganggu dengan kampanye buruk sawit itu.
Bayangkan saja LSM sekelas Green Peace, Rainforest, Friend of the Earth, dan cukup banyak lagi yang menentang budidaya kelapa sawit, dengan segala alasan lingkungan dan sosial ekonomi yang buruk.
Tanpa kehadiran RSPO- dengan segala kelebihan dan kelemahannya, dipastikan negara-negara produsen sawit, seperti Indonesia dan Malaysia akan sangat kelabakan melayani kampanye hitam itu.
Untuk diketahui Unilever adalah salah satu dari 10 produsen terbesar barang kebutuhan sehari-hari global setelah Nestle, Procter&Gamble, dan PepsiCo, dengan penjualan lebih dari 50 miliar US dollar per tahun.
Selanjutnya sekitar 50 persen dari barang-barang kebutuhan sehari-hari rumah tangga dijual di supermarket adalah produk yang menggunakan minyak sawit.
Di tengah gempuran boikot konsumen akibat kampanye tentang sisi buruk agribisnis sawit terhadap lingkungan, dan sosial ekonomi petani dan kondisi lokal, jika hal itu berlanjut akan mengancam tidak hanya petani, akan tetapi juga perusahaan-perusahaan besar sekelas Unilever.
Dengan laba kotor perusahaan besar produsen kebutuhan sehari-hari seperti Unilever, sekitar 66 persen (Chain Reaction Research 2021), dapatlah dibayangkan berapa besar kerugian atau kehilangan peluang laba yang akan diperoleh, seandainya tidak dilakukan langkah-langkah balasan untuk mengimbangi kampanye buruk tentang produk sawit di negara-negara Eropa dan AS.
Parahnya lagi kampanye itu bukan hanya berhubungan dengan alasan-alasan ilmiah yang dapat dicari solusinya.
Kampanye buruk tentang sawit itu juga telah bercampur dengan perang dagang yang dilancarkan oleh kelompok minyak nabati lain yang diproduksi di AS dan Eropa yang semakin kalah bersaing harga dengan minyak sawit.
Komitmen sertifikası sawit yang diajukan oleh RSPO, kemudian disambut oleh negara-negara produsen.
Indonesia mengajukan ISPO, dan Malaysia mengajukan MSPO, yang prinsip intinya tetap saja sawit yang berkelanjutan, dengan keragaman di sana-sini.