Kupi Beungoh
Penyakit Aceh: Imbuhan “Ter” yang Permanen
Ceritanya sangat sederhana, temuan ladang gas alam di Belanda pada tahun 1959 yang seharusnya membuat negara itu sejahtera, tidak terwujud.
Oleh: Ahmad Humam Hamid*)
KHAZANAH ilmu-ilmu sosial, termasuk ilmu ekonomi seringkali mampu mengambarkan kerumitan berbagai realitas, dalam konstruksi yang seringkali dapat dipahami oleh mereka yang mau belajar.
Banyak para pemikir besar seperti Adam Smith, John Maynard Keynes, Max Weber, dan Sigmund Freud, mampu menulis teori dengan berbagai abstraksi dari berbagai fenomena makro dan mikro.
Tak heran, hampir tidak ada bidang kehidupan manusia modern pada hari ini yang tidak dapat diterangkan dengan berbagai teori.
Setidaknya teori yang digunakan mampu memberi jalan untuk melihat keadaan yang sebenarnya, baik yang telah, sedang, maupun yang akan terjadi.
Teori yang mereka tulis dalam banyak hal mampu memberi jalan kepada pencari ilmu pengetahuan, konsep, dan wawasan untuk dapat membuka dan menerangkan berbagai tabir dan teka teki ekonomi, sosial, perilaku, politik, dan lain-lain.
Tidak jarang pula, berbagai kejadian fenomenal yang dapat memberikan penjelasan terhadap hal yang serupa yang lebih universal dapat dijadikan teori, atau sekadar alat untuk menerangkan realitas.
Young Turk dan Negara Turki Moderen
Dalam kajian politik dan kekuasan domestik, dikenal istilah “Young Turk” yakni sebuah ungkapan tentang seorang atau sekelompok orang, biasanya anak muda, yang tidak setuju dengan sebuah keadaan yang sedang terjadi dan berjalan.
Sering berasosiasi dengan gerakan mengambil alih, menggulingkan, atau mengganti situasi itu dengan berbagai cara.
Istilah “Young Turk” sangat terkait dengan sekelompok mahasiswa dan para kadet tentara Turki Usmaniah, pascakekalahan imperium Ottoman sebelum Perang Dunia I.
Mereka digelar dengan Turki Muda, yang pada tahun 1908 melawan Sultan Hamid, dan baru mampu membangun negara Turki baru yang berbentuk republik.
Ada serangkaian kejadian yang dijalani oleh gerakan Turki Muda itu yang oleh pemerhati dijuluki dengan fenomena “Young Turk”.
Semenjak itu dimanapun di dunia, setiap terjadi pergolakan internal, terutama dalam sebuah partai, golongan, atau negara antara kelompok muda dengan kelompok tua seringkali penjelasannya ditarik ke dalam kerangka analisa Turki Muda itu.
Itu yang terjadi ketika Muammar Khadafy mengkudeta raja Idris, di Libya, Kolonel Grigorio, Gringgo, Honasan dkk mengkudeta Marcos Filipina, dan kejadian serupa berbagai tempat lainnya di dunia.
Akhir-akhir ini tak jarang perselisihan antara kelompok pembaharu dan kelompok konservatif dalam berbagai organisasi dan perusahaan juga sering dijelaskan dengan kerangka “Young Turk” itu.
Baca juga: Kisah Film Ottoman Bantu Kerajaan Aceh, Pria Turki Ini Penasaran Hingga Jatuh Cinta Pada Gadis Aceh
Baca juga: Erdogan Marah Besar, Joe Biden Sebut Kekaisaran Ottoman Genosida Armenia
Penyakit Belanda: Kutukan Sumber Daya
Pada tahun 1977, majalah the Economist, memperkenalkan istilah “dutch desease”, penyakit Belanda, yang kemudian dikembangkan dengan lebih detail oleh Max Corden dan Peter Neary (Oomes,Kalcheva1982).
Yang dimaksud adalah kontradiksi antara melimpahnya sumber daya alam Belanda dengan kegagalan pembangunan.
Ceritanya sangat sederhana, temuan ladang gas alam di Belanda pada tahun 1959 yang seharusnya membuat negara itu sejahtera, tidak terwujud.
Yang terjadi justeru sebaliknya.
Alih-alih negara itu berpegang pada prinsip keunggulan komparatif, yang terjadi justru mereka terfokus pada sektor ekstraktif migas semata.
Sebagai akibatnya, ekonomi Belanda anjlok, terjadi penurunan pembangunan dan pertumbuhan dalam sektor pertanian dan manufaktur, pengangguran meningkat, dan negara itu menjadi contoh besar dalam teori pembangunan “kutukan sumber daya”- resource curce.
Dalam perkembangannya, fenomena “dutch desease” juga dialami oleh negara penghasil dan kaya sumber daya alam di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, namun juga gagal dalam pembangunan.
Kegagalan itu dalam kenyataannya lebih banyak berurusan dengan konflik dan instabilitas, korupsi, dan lemahnya kelembagaan.
Baca juga: Sifan Hassan Atlet Belanda Sebut Minum Kopi Jadi Kunci Menangi Medali Emas Olimpiade Tokyo
Baca juga: VIDEO Melihat Jembatan Bekas Rel Kereta Api Jaman Belanda di Pedalaman Pidie
Imbuhan “Ter” yang Permanen
Jika kasus penyakit Belanda menjadi fenomenal dan mendapat perhatian besar dalam diskursus ekonomi pembangunan, maka apa yang sedang terjadi di Aceh hari ini walaupun sama sekali tidak sama, namun adalah sesuatu yang juga tidak biasa.
Mulai dari era otonomi khusus semenjak 14 tahun yang lalu Aceh setidaknya telah menerima 88,4 triliun Rupiah, dan semenjak itu apa yang semestinya di dapatkan oleh masyarakat Aceh sangat tidak setimpal dengan apa yang terjadi.
Seperti yang telah menjadi pengetahuan umum, rahmat yang telah dialirkan begitu banyak belum menjelma menjadi “nikmat” yang berarti untuk rakyat Aceh.
Anugerah keuangan dan kewenangan otonomi, berikut dengan perhatian besar dari masyarakat internasional pada lima tahun awal belum mampu membuat Aceh lebih sejahtera, apalagi berprestasi.
Setiap tahun ketika hitungan triwulan terjadi, persoalan perobahan status kemiskinan atau rendahnya pertumbuhan ekonomi sesungguhnya sama sekali tidak menjadi isu di Aceh.
Persoalan Aceh miskin atau Aceh rendah pertumbuhan ekonomi itu bukan masalah lagi, karena itu sudah menjadi sesuatu yang biasa saja.
Yang diharapkan oleh publik Aceh sebenarnya tidak terlalu banyak.
Hanya satu ekspektasi publik yang sangat tinggi setiap tahun, yakni bukan terhapus atau hilangnya kemiskinan, melainkan berkurangnya kemiskinan.
Yang diimpikan paling kurang hilangnya imbuhan “ter” pada kata kemiskinan, dan juga hilangnya “ter” pada rangkaian kata, rendah pertumbuhan ekonomi saja.
Kehilangan imbuhan “ter” setelah berjalan beberapa tahun baru diharapkan untuk naik ke kelas yang lebih tinggi lagi.
Publik Aceh tidak berharap terlalu banyak.
Ibarat istilah roda kehidupan yang berputar sekali ke atas sekali ke bawah, namun ketika kereta behenti hendaknya Aceh tidak berada pada bagian roda yang bertindihan langsung dengan tanah.
Kalaupun bertindihan dengan tanah, sebaiknya roda bergerak, walau sangat lambat, pokoknya bergerak.
Maksudnya, bila indikatornya adalah kemiskinan, maka predikat yang ditunggu oleh publik, tidak banyak.
Kata termiskin diimpikan oleh publik berubah menjadi miskin saja, termasuk masih dalam kelompok provinsi miskin masih oke, tetapi tidak menjadi “pang ulee” alias tidak menjadi mbahnya kemiskinan regional secara berkelanjutan.
Selanjutnya ketika indikatornya adalah pertumbuhan ekonomi, maka publik juga mengharapkan jika Aceh masuk dalam kelompok provinsi yang rendah pertumbuhan ekonominya, maka Aceh, idealnya tidak menjadi juara, sehingga mendapat julukan terendah pertumbuhan ekonominya.
Pokoknya asa publik Aceh tetap saja ingin melihat perobahan, tak peduli sekecil apapun, yang penting bergerak, dan berobah.
Baca juga: Jadi Negara Termiskin di Dunia, Xanana Gusmao Prediksi Timor Leste Bakal Mati 10 Tahun Lagi
Baca juga: Ustaz Masrul Aidi Ceramah di Pidie, Ajak Warga Bisa Keluar dari Klaim Termiskin di Sumatera
Menjadi termiskin dan terendah pertumbuhan ekonominya yang terus menerus setiap tahun adalah sesuatu yang bukan hanya sangat serius, tetapi juga sebuah aib besar.
Tidak berlebihan cerita “kegagalan” pembangunan Aceh yang berlanjut akhirnya akan menjadikan Aceh sebagai sebuah contoh tentang kegagalan pembangunan sebuah kawasan pascakonflik dengan anggaran pembangunan yang melimpah.
Jika penyakit Belanda, “dutch desease” ditabalkan karena kegagalan Belanda memanfaatkan sumber daya gas alam pada akhir tahun limapuluhan untuk membangun ekonominya, mungkinkah kasus Aceh hari ini dapat dijadikan sebagai contoh fenomenal tentang kegagalan sebuah provinsi otonomi khusus pascakonflik.
Mungkinkah fenomena keterpurukan Aceh yang terus berlanjut membuat Aceh berkualifikasi untuk mendapat gelar penyakit Aceh, “aceh disease”?
Diakui atau tidak, proses perdamaian Aceh telah menguras tidak hanya energi domestik Aceh dan nasional, akan tetapi juga telah melibatkan masyarakat internasional yang tidak biasa.
Paling kurang dua kekuatan besar dunia, AS dan Uni Eropa telah memberi perhatian khusus untuk Aceh, baik sumber daya material, diplomatik maupun profesional keilmuan.
Baca juga: VIDEO Heboh Papan Bunga Ucapan Selamat Aceh Termiskin di Sumatera Depan Kantor Gubernur Aceh
Ada beberapa kawasan konflik lain di dunia paling tidak pernah menyebut ingin belajar sesuatu dari perdamaian Aceh, baik dari pemberontak, maupun dari pemerintah masing-masing.
Mindanao, Patani, dan kawasan pemberontakan Sahara di Maroko adalah kawasan yang disebut ingin menjadikan Aceh sebagai salah satu referensi mereka.
Sayangnya, dalam zaman digital seperti hari ini, apapun yang terjadi di belahan bumi manapun, segera akan diketahui dimanapun juga.
Secara umum apa yang telah dialami oleh Aceh pascadamai, terekam dengan baik dan dapat diakses setiap saat oleh siapapun.
Apapun itu, termasuk berbagai centang perenang pemerintahan, pembangunan, kemiskinan, kelemahan kelembagaan, bahkan korupsi sekalipun.
Jikapun mereka akan menjadikan Aceh sebagai kasus untuk belajar, akan ada alenia dan huruf tebal yang hati-hati setelah deskripsi era pascadamai dengan uang yang berlimpah dan kewenangan yang memadai.
Hanya ada lima kata dalam satu kalimat. Hati-hati dengan “aceh desease”.
*) PENULIS adalah Sosiolog, Guru Besar Universitas Syiah Kuala.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.