Opini

BRA; Peran dan Penguatan Perdamaian

Pertama-tama kita mengucap Selamat Hari Damai Aceh (HAD) yang diperingati pada setiap 15 Agustus, tahun ini yang ke-16

Editor: bakri
zoom-inlihat foto BRA; Peran dan Penguatan Perdamaian
FOR SERAMBINEWS.COM
Dr. Ilyas Wahab Gam, Dekan FKIP UNIKI Bireuen

Oleh Dr. Ilyas Wahab Gam, Dekan FKIP UNIKI Bireuen

Pertama-tama kita mengucap Selamat Hari Damai Aceh (HAD) yang diperingati pada setiap 15 Agustus, tahun ini yang ke-16. HDA merupakan sebuah keputusan pemerintah melalui Pergub Nomor 21 Tahun 2016 tentang Hari Damai Aceh. Tema tahun 2021 ini adalah “HAD Menjadi Bingkai Perdamaian Dunia.”

Fakta sejarah bahwa perdamaian Aceh tercipta atas kebesaran dan keikhlasan dari semua pihak, baik Pemerintah Republik Indonesia maupun Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dalam mengakhiri konflik berkepanjangan yang ditandai lahirnya MOU Helsinki pada tahun 2005. Implementasi butir-butir MOU Helsinki dituangkan dalam UU-RI Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh, yang lebih dikenal dengan UU-PA.

Perjalanan UU-PA berorientasi pada penyelesaian imbas konflik, baik dari sisi politik, keamanan, ekonomi, sosial serta penguatan perdamaian di tanah Aceh masa depan. Penetapan UU No. 11 Tahun 2006 tersebut merupakan transformasi dari MoU yang telah disepakati  GAM  dengan perwakilan pemerintah di Helsinki. Adapun kelebihan Aceh menurut UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yaitu penguatan kelembagaan adat melalui Lembaga Wali Nanggroe, kewenangan dalam pengelolaan sumber daya alam, penetapan syariat Islam, dan penentuan lagu daerah dan lambang daerah.

Juga kelembagaan peradilan adat, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh dan Mahkamah Syar’iyah kabupaten/kota dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi, dan bidang politik adanya partai politik lokal dan calon independen dalam Pemilukada.

Pengaturan tersebut merupakan pengejewantahan dari konsep otonomi khusus yang dikehendaki oleh MoU Helsinki. Dimana Aceh diberikan hak khusus dalam mengatur rumah tangganya sendiri. Kewenangan itu tidak termasuk bidang urusan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat, meliputi urusan pemerintahan yang bersifat nasional, politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan urusan tertentu dalam bidang agama.

 Dari itu pemerintah telah mengeluarkan berbagai landasan kebijakan regulasi, antara lain; Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2005 tentang pelaksanaan nota kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka.

Salah satu butir yang ditujukan kepada Pemerintah Aceh adalah merencanakan dan melaksanakan reintegrasi dan pemberdayaan setiap orang yang terlibat dalam Gerakan Aceh Merdeka ke dalam masyarakat mulai dari penerimaan, pembekalan, pemulangan ke kampung halaman, dan penyiapan pekerjaan.

Menindaklanjuti amanat Inpres tersebut Pemerintah Aceh telah mengambil langkah strategis melalui pembentukan lembaga khusus yang menangani proses reintegrasi secara nyata dan terpogram yaitu; Badan Re-Integrasi Aceh (BRA) melalui Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2015 tentang Badan Reintegrasi Aceh, yang merupakan lembaga nonstruktural pada Pemerintah Aceh.

BRA dipimpin seorang ketua yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur dan dilengkapi dengan satuan kerja setingkat

SKPA. Selanjutnya Gubernur Aceh mengeluarkan Pergub Aceh Nomor 138 Tahun 2016 tentang kedudukan, susunan organisasi, tugas, fungsi dan tata kerja Sekretariat BRA.

Dengan demikian badan ini bukanlah lembaga Ad.hoc sebagaimana pendapat beberapa orang yang juga pernah menjabat sebagai ketua BRA di masa lampau. Nyatanya sampai sekarang pemberian lahan bagi mantan pasukan GAM dan eks Napol/Napol yang sudah memperoleh amnesti belum selesai,  bahkan baru dalam dua tahun ini sebagian dapat diwujudkan.

Proses pembayaran reparasi mendesak bagi korban konflik dalam tahun ini baru akan dapat terlaksana, data yang telah divalidasi dan diverifikasi oleh KKR sedang menunggu proses pecairan dana. Kita apresiasi Gubernur Aceh yang telah mengambil kebijakan politik dan terus mendorong program reparasi tersebut.

Keberadaan BRA mempunyai peran yang sangat strategis mengingat sebagian besar implementasi MOU Helsinki, terutama proses reintegrasi, pemberdayaan, rehabilitasi kesehatan baik fisik maupun psikis, jaminan social bagi mantan pasukan Aceh merdeka maupun masyarakat korban konflik yang mengalami disabilitas/cacat permanen yang pada akhirnya menjadi kinerja penguatan perdamaian, belum dapat berjalan dengan sempurna.

Untuk melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 Qanun Aceh nomor 6 tahun 2015, BRA berwenang: a) melakukan pemberdayaan dan pengembangan ekonomi; b) menyelenggarakan pemberdayaan dan bantuan sosial; c) menyelenggarakan jaminan sosial bagi yang tidak mampu bekerja; d) menyelenggarakan rehabilitasi kesehatan fisik dan mental serta psikososial; e) menyelenggarakan fasilitasi penyediaan lahan pertanian, kelautan dan perikanan serta lapangan pekerjaan; dan f) menyelenggarakan fasilitasi pemulihan hak sipil, hak politik, hak ekonomi, dan hak sosial dan budaya.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Medium

    Large

    Larger

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved