Berita Banda Aceh

Bencana Ekologi di Aceh Masif, Pemulihan DAS Mendesak, 2 Daerah Ini Paling Rawan Banjir Bandang

Taksiran kerugian akibat bencana tersebut mencapai Rp 874,1 miliar. Salah satu penyebab karena kerusakan daerah aliran sungai atau DAS. 

Penulis: Masrizal Bin Zairi | Editor: Mursal Ismail
YOUTUBE SERAMBI ON TV
Menyapu Sejumlah Kios di Lokasi Wisata Blang Leubu 

Taksiran kerugian akibat bencana tersebut mencapai Rp 874,1 miliar. Salah satu penyebab karena kerusakan daerah aliran sungai atau DAS

Laporan Masrizal | Banda Aceh

SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Kasus bencana ekologi di Aceh kian masif. Sejak 2018 hingga 2020 terjadi 423 kali banjir, longsor, dan bandang. 

Taksiran kerugian akibat bencana tersebut mencapai Rp 874,1 miliar. Salah satu penyebab karena kerusakan daerah aliran sungai atau DAS

Hal tersebut mengemuka dalam diskusi “Daerah Aliran Sungai Kritis, Menanti Bencana” yang digelar oleh  Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh, Selasa (7/9/2021).

Adapun pembicara dalam diskusi tersebut Kepala Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDASHL) Krueng Aceh, perwakilan Badan Penanggulangan Bencana Aceh.

Kemudian perwakilan Kepala Balai Wilayah Sungai Sumatera I, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh, dan dosen Ilmu Geologi Universitas Syiah Kuala.

Baca juga: Dua Alquran Berusia 600 Tahun dan Dinar Emas di Kampung Aceh Malaysia Selamat dalam Banjir Bandang

Kepala BPDASHL Krueng Aceh, Eko Nurwijayanto mengatakan, untuk saat ini di Aceh terdapat 954 DAS dan 20 di antaranya terjadi kerusakan.

Di Aceh, kawasan DAS, 60 persen berada dalam kawasan hutan dan 30 persen berada di kawasan penggunaan lain.

Namun, faktanya DAS yang berada di kawasan hutan pun kini rusak karena alih fungsi lahan jadi ladang perkebunan dan aktivitas tambang illegal. 

Eko mengatakan kerusakan hutan di hulu membuat DAS semakin cepat tergredasi. Eko mengajak para pihak untuk terlibat dalam usaha perbaikan DAS

Eko menambahkan BPDASHL Krueng Aceh setiap tahun melakukan penanaman pohon di DAS yang kritis. Namun, laju kerusakan tidak sebanding dengan upaya pemulihan.

Baca juga: Personel Kodim Pidie Evakuasi Warga Padang Tiji dari Banjir Bandang

"Kalau tutupan hutan ada areal sungai masih baik, tentu potensi bencana juga bisa diminimalisir, begitupun sebaliknya," sebut EKo.

Sementara Teknik Pengairan Madya Balai Wilayah Sungai (BWS) Sumatera I Banda Aceh, Agustian menyebutkan, untuk saat ini daerah paling rawan bencana banjir bandang di Aceh itu meliputi Aceh Singkil dan Aceh Utara.

Di Aceh Utara, terdapat Sungai Jambo Aye dan di Singkil terdapat Sungai Alas. Kondisi sungai ini dalam keadaan tidak sehat sehingga berpotensi mendatangkan bencana banjir bandang. 

“Itu karena perambahan hutan, ilegal logging, dan pengrusakan aliran sungai," ucap Agustian.

Agustian menambahkan beberapa sungai telah direhab dengan dibangun tanggul. Langkah ini untuk mencegah banjir luapan ke permukiman warga. 

Akan tetapi, jika kawasan hulu tidak dipulihkan usaha itu tidak akan memberikan dampak besar terhadap mitigasi.  

Baca juga: Erosi, Rumah di DAS Krueng Baro Pidie Amblas, DPRK dan BPBD Tinjau, Sekda Sebut Sudah Didata PUPR

Kepala Seksi Pencegahan, Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA), Yudhie Satria, mengatakan, bencana ekologi seperti banjir dan longsor adalah dampak dari kerusakan daerah hulu sungai. 

BPBA hanya bisa membangun kesiapsiagaan pada warga dalam menghadapi bencana. 

“Sebab di Aceh sendiri saat ini bencana alam berupa banjir dan tanah longsor sudah menjadi langganan,” kata Yudhie.

Dosen Teknik Geologi Universitas Syiah Kuala (USK), Ibnu Rusidy mengatakan beberapa faktor memicu bencana ekologi, yakni curah hujan tinggi, pembangunan di daerah rawan longsor, kawasan rawan gempa, dan kondisi lereng yang curam. 

Untuk mencegah terjadi longsor dan banjir perlu diperkuat daya tahan tanah dengan menanam pohon. 

“Potensi longsor dan banjir bisa dihindari kalau kawasan hulu, hutan lindung ditanami berakar kuat,” ujar Ibnu.

Sementara Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh, Muhammad Nur menerangkan, penyebab lain tingginya bencana alam di Aceh ialah, maraknya pertambangan ilegal di hulu sungai dan galian C secara serampangan.

Dia mencontohkan jembatan di Kabupaten Bireuen, ambruk karena dampak galian C di sungai tersebut. 

"Pertambangan di kawasan hutan harus ditindak. Selama ini seperti ada pembiaran. Tambang ilegal maupun legal itu berdampak pada kerusakan sungai dan airnya tercemar,” ujar Nur. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved