Opini
Pendidikan Aceh: Bangkit Atau Terhimpit?
Tanggal 2 September diperingati sebagai Hari Pendidikan Aceh. Peringatan hari Pendidikan Aceh tahun ini relatif sederhana
Pertanyaan serius yang harus kita jawab adalah bagaimana merancang Pendidikan Aceh ke depan? Skenario pendidikan fase new normal. Pendidikan bukan perkara awam dan normatif semata. Tetapi ia adalah masalah emperik yang harus dijawab secara ilmiah.
Di negara-negara maju, pemecahan masalah pendidikan selalu didasarkan atas kajian ilmiah. Sudah tiba saatnya untuk kita meniru praktik baik di negeri lain.
Oleh karena itu, untuk memahami krisis pendidikan Aceh sekarang dan akan datang, maka perlu dilakukan suatu survei yang komprehensif. Melalui survei itu diharapkan dapat diidentifikasi “social facts” pendidikan di seluruh Aceh, dari tingkat dasar, menengah, jika mungkin sampai perguruan tinggi.
Memperkuat otonomi
Pendidikan di Indonesia selalu terjebak dalam pusaran tarik menarik kepentingan pusat vs daerah. Walau sejak masa Presiden Soekarno Aceh sudah mendapat status keismewaan pendidikan , selain dua bonus keismewaan lainnya (agama dan kebudayaan), tetapi sampai saat ini pendidikan Aceh masih belum sepenuhnya otonom.
Pada awal masa reformasi ada kebijakan otonomi daerah dan desentrasilasi pendidikan. Namun, sekarang otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan itu bagaikan pelangi yang hilang samar samar. Tidak jelas lagi kewenangannnya.
Terakhir ini saat pendidikan sedang sekarat karena pandemi, Mendikbudristek memberlakukan kebijakan “Merdeka Belajar” untuk pendidikan dasar dan menengah, dan “Kampus Medeka” untuk perguruan tinggi. Kebijakan itu secara filosofi adalah baru dan progresif, tetapi apakah ia mampu dieksekusi oleh pihak sekolah yang sedang panik? Tampaknya, tangan-tangan pusat di hulu tidak cukup panjang untuk menjangkau semua persoalan sekolah di hilir.
Dari turunan “merdeka belajar” itu sedang dan akan dilakukan penguatan kurikulum pada dua inti (core) mata pelajaran, yaitu literasi dan numerasi. Konon sebentar lagi akan dilakukan asesmen kompetensi minimum.
Berkelindan dengan itu juga akan dilakukan survei karakter dan pemetaan lingkungan (ekosistem) pendidikan. Kebijakan baru itu mungkin bagus, tetapi apakah sekolah dan para pihak siap?
Mari kita menyambut apapun kebijakan pendidikan pusat dengan menyesuaikan dengan kondisi sosio-kultural-psikis keacehan. Otonomi daerah perlu dicari ruang untuk diperkuat. Selain menyokong operasional peadagogik di sekolah, otonomi pendidikan ini juga berdimensi politis: memperjelas realisasi peran daerah dalam spektrum pendidikan Aceh sebagaimana tersurat dalam UUPA dan MoU Helsinki.
Dalam konteks revitalisasi otonomi daerah tentu banyak hal yang perlu dikaji kembali seraya mengevaluasi apa yang terjadi. Salah satu hal yang penting adalah merajut kembali “mata rantai” pendidikan Aceh yang selama ini cendrung terputus-putus. Misalnya, pemisahan kewenangan pendidikan antara propinsi dan kabupaten/kota (menengah dan dasar) juga punya potensi masalah sosiologis yang serius. Sungguh pun hal ini jarang terdeteksi oleh pengamatan awam.
Pada sisi lain, akibat kaburnya otonomi pendidikan, partisipasi publik dalam pendidikan juga menjadi absurd. Ambil contoh, peran perguruan tinggi dalam memajukan pendidikan Aceh tidak jelas. Jika perguruan tinggi sebagai sarang pemikir tidak terlibat secara strategis dalam pendidikan Aceh, dapat dibayangkan apa yang terjadi?
Apakah para birokrat pendidikan Aceh sudah tidak disangsikan lagi kepakarannya dalam mengatasi semua persoalan pendidikan? Nyatanya tidak.
Para cendikiawan Aceh, termasuk juga pihak swasta dan LSM/NGO yang propendidikan sulit mencari pintu masuk ke sekolah dan birokrasi pendidikan. Tidak aneh jika di ruang publik dan sosmed tiap hari kita mendengar “ratapan” pendidikan.
Mungkin ratapan ini kurang terdengar oleh pengambil keputusan. Beda dengan tahun terdahulu komunikasi antara pemerintah dengan kampus dan swasta berjalan baik, terakhir ini nyaris tidak kelihatan.